Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[28]

Komunikasi gue sama Hulk balik lagi menjadi telepon atau video call. Semuanya sudah done dan tinggal dikerjakan sama orang-orang yang gue mintai bantuan. Gue hanya berharap semuanya dalam kendali dan enggak ada yang kurang. Semisal kurang pun, masih bisa segera ditanggulangi. Biar enggak terlalu bikin heboh dan kacau di hari H nanti.

Persiapan gue tinggal menungg hari itu akan datang. Akad di hari sabtu jam 9 pagi dan langsung diselenggarakan resepsi hingga jam 3 sore. Gue enggak mau sampai malam. G!la aja. Bisa lepas dengkul gue karena menerima tamu terus. Memang gue enggak mengundang banyak tamu, hanya saja, kayaknya gue mesti prepare tenaga soalnya Ibu dan Ayah kayak menambah undangan tanpa gue tau.

Sudah gitu, Ibu enggak mau bilang berapa totalnya. Bukan apa, gue juga harus mikirin untuk konsumsi, kan? Biarpun Ibu yang tangani semua enggak lantas gue diam aja, kan? Enggak lucu kalau tamu masih ada tapi enggak ada makanan cuma tersisa buah dan air mineral doang. Ya Allah, malu amat gue nantinya.

"Sudah, ah. Kamu tenang saja. Itu urusan Ibu."

Gue manyun. Enggak bisa dibantah kalau Ibu sudah bicara seperti itu. Belum apa-apa, Ibu sudah kembali menginterupsi gue yang bersantai di kamar. Pokoknya jelang pernikahan gue lebih menikmati banget hidup dengan status single.

"Rin, kamu ada janji dengan pihak salon jam berapa?"

Kening gue berkerut. Gue ingat semua jadwal, kok. Bukan hari ini, tapi besok. Kenapa malah ditanya sekarang, ya? "Besok, Bu. Kenapa?" tanya gue sembari membuka pintu kamar dan di depannya sudah ada Ibu yang sibuk dengan ponselnya.

Ibu gue luar biasa memang.

"Enggak ada apa-apa. Cuma takut kamu lupa. Paketnya kamu ambil yang bagus, kan, ya?"

Gue nyengir aja. Merasa enggak tau juga dan bertanya hanya sekilas-sekilas saja. Yang paling penting, paket yang gue ambil sama dengan saat gue beri kado spesial untuk Mae. "Enggak lupa, kok, Bu."

"Ya sudah kalau begitu."

Dan Ibu langsung pergi meninggalkan gue begitu saja. bikin gue mengerjap pelan atas tingkahnya. Gue rasa karena dirinya ini memang sudah banyak hal yang dipikirkan makanya enggak terlalu konsentrasi. Pasti Ibu capek banget mengurus ini semua.

Baru saja gue tutup pintu kamar untuk sekadar melanjutkan kegiatan santai yang tadi terjeda—sebenarnya, gue pribadi mau bantuin Ibu tapi dilarang. Benar-benar dilarang. Ibu bilang, calon pengantin enggak boleh capek sementara gue enggak menemukan korelasi yang tepat di mana capek yang dimaksud.

Rebahan seharian ini saja sudah bikin gue capek. Oh, bicara urusan kantor, Bu Ira memang yang terbaik. Beliau beri gue cuti dua minggu. Dan sebagai bos yang baik hati dan enggak sombong serta enggak melupakan jasa gue yang bikin Mae sadar keberadaan seorang Satria Diredja, gue dikasih bonus cuti seminggu lagi. Jadi total gue cuti ... tiga minggu.

Serius, deh. Saat gue diberi tahu pihak HRD, gue girang bukan main. Tapi sialnya, gue malah dibully saat hari terakhir kerja. Katanya gue kegirangan lantaran kelamaan cuti jadi bisa indehoy lama-lama. Ya g!la aja. Enggak gitu juga! Tapi terserah lah mereka mau bicara apa. Yang paling penting gue dapat izin cuti lama.

Bukan tanpa sebab, sih, gue dikasih izin cuti lama. Setelah gue minta dan bercerita lebih dulu mengenai situasi dan kondisi yang gue hadapi. Pernikahan gue dilangsungkan di dua tempat. Sabtu depan, akad dan resepsi di rumah gue. Minggu depannya lagi, pesta di kediaman asli seoragn Rasyid Ananta. Bisa terbayang betapa lelahnya gue jadi seorang pengantin.

Untuk urusan di sana, gue enggak terlalu tau banget, sih. Yang mengurus ibunya Hulk langsung. Dan gue tinggal terima beres. Lagian gue yakin banget enggak akan semabarang juga acara ini digelar di sana mengingat beberapa kali gue mendengar langsung kalau ibunya sendiri mengecek persiapan di sini. Artinya, di sana pun mendapat konsentrasi darinya lebih dari apa yang kami persiapkan di sini, kan?

Oh, ponsel gue masih minta atensi yang sempat gue lupakan. Saat mengambil dari meja rias, nama Hulk muncul di sana. Gue belum mau ubah namanya. Lagian kayaknya cocok, kok. Sumpah. Badannya yang besar tinggi tegap, juga jangan lupakan langkahnya yang kayak raksasa. Lebar-lebar gitu. gue enggak ada apa-apanya ketimbang badannya dia yang luar biasa itu.

Mungkin sekali ditekan, gue jadi rempeyek.

"Ya?"

"Kebiasaan Neng ini memang harus diubah, ya."

Gue terkekeh. "Maaf, Bang. Tadi dipanggil sama Ibu. Jadi buru-buru ambil ponsel. Arin ulang, deh. gimana?"

Di ujung sana gue dengar dia mendengkus. "Enggak usah. Lain kali diingat, kalau angkat telepon jawab atau ucap salam dulu."

"Beres, Bos." Cari cara paling aman adalah segera mengiakan apa keinginan lawan bicara, selama itu baik. Kalau enggak, bantah terus sampai ujung dunia. Itu prinsip gue.

Lagi-lagi gue masih mendengar dia mendengkus. Lama-lama dia mirip sama kerbau, ya? Eh ya Allah, Arin. jahat banget kata hatinya. Biar bagaimana pun itu calon suami yang sebentar lagi akan menjadi suami!

"Kamu lagi apa?"

"Santai di kamar. Niatnya mau maskeran biar kinclong mukanya."

Dia malah tertawa. "Kinclong kayak cermin, ya?"

"Bisa juga bercanda, Bang."

Lalu ada jeda gitu, gue atau dia sama sekali enggak bicara. Kalau gue sendiri enggak tau harus bicara apa. kalau Hulk? Mana gue tau kenapa dia malah diam begini.

"Rin, sebentar lagi kita sah menikah. Arin ... ada yang dirasa?"

Entah kenapa pertanyaan ini susah gue jawab. Biasanya gue selalu cepat menjawab segala pertanyaan dan ucapan Hulk. "Ehm ... maksudnya gimana, Bang? Arin enggak paham." Pada akhirnya cuma ini saja yang bisa gue kemukakan.

"Kita ini dua orang yang berbeda, yang akan disatukan sama ikatan sah, Rin. Mungkin di kemudian hari, Abang berbuat salah yang bikin Arin kesal dan sakit hati. Mungkin juga, sikap Arin bikin Abang jengah dan merasa lelah menghadapi kamu."

"Terus?" Ini ... arah bicaranya, kok, aneh. "Kalau terjadi hal-hal yang bikin kita bentrok, Abang mau nyerang atau gimana? Arin enggak paham maksdunya."

"Tuh ... kebiasaan. Senang sekali menyimpulkan sesuatu."

Gue dengar banget, kalau nada suaranya seperti orang yang berbeda jauh usianya. Yang sosok pembawaannya lebih dewasa dan bijaksana. Gue bisa merasakan itu. "Oke. Arin dengarkan."

"Maksud Abang, suatu saat nanti kita pasti merasakan hal itu. Abang kepengin, kalau badai itu datang, kita sama-sama hadapi. Jangan Arin sibuk dengan pemikiran sendiri, Abang sibuk dengan dunia sendiri."

Tanpa sadar gue mengangguk.

"Karena real kehidupan itu, akan kita mulai saat sudah menikah nanti. Susah senang, bahagia sedih, kurang lebih, baik buruk, kita berdua yang tanggung, Rin."

"Iya," kata gue pelan. Ucapannya bikin gue bergidik ngeri. Bukan karena enggak siap, tapi lebih ke arah, apa yang nantinya gue jalani bertahun-tahun lamanya bersama seorang Rasyid Ananta. Waktu itu bakalan lama gue habiskan, di mana gue enggak terlalu mengenal siapa suami gue nanti. Baru sekelumit, belum keseluruhan dan pastinya gue akan tau dirinya seperti apa kelak.

Dalam sujud yang selalu gue lakukan setiap hari, gue hanya berharap apa yang akan gue jalani ini memang yang terbaik bagi hidup gue. Gue enggak menuntut kesempurnaan. Gue punya banyak kekurangan bagaimana caranya gue menuntut seseorang untuk sempurna buat gue sementara gue sendiri kurangnya banyak. Ya, kan?

"Mungkin sosok Abang bukan pria yang diharapkan Arin untuk menjadi suami. Abang sadar diri."

Gue masih diam mendengarkan.

"Tapi takdir pada akhirnya memilih, kan? Pada siapa akhirnya kita menghabiskan waktu bersama nantinya. abang harap, jangan menjadikan pernikahan ini beban tersendiri untuk kamu."

"Iya, Bang."

"Sudah ikhlas lahir bathin, kan, kalau Abang yang jadi suami kamu seminggu lagi?"

Entah kenapa gue tertawa.

"Sampai ketemu di depan penghulu, Calon Istri."

***

Gue tegang. Banget. Padahal semuanya sudah siap dan enggak ada kekuarangan yang terlalu berarti. Masih bisa ditanggulangi tapi serius, jantung gue rasanya mau copot dari tempatnya. Pendingin di kamar gue—yang disulap menjadi kamar pengantin cantik nan indah dengan warna pink ini—sama sekali enggak mengurangi ketegangan juga keringat dingin yang terus menerus keluar dari sekitar dahi.

"Jangan tegang, Rin." Ini kata Ibu. Beliau enggak tau apa, ya? Enggak sampai lima menit lagi anaknya sudah jadi istri orang!

Gue memilih enggak menjawab apa-apa. dan saat sayup-sayup gue dengar beberapa orang dnegan kompaknya berkata 'sah', tegang yang gue punya mulai luntur. Lalu gue dikejutkan dengan pelukan Ibu yang demikian erat.

"Ya ampun, Rin. Alhamdulillah sudah sah jadi istri orang. Ibu antara mau nangis dan senang ini."

Sudah lah, Ibu terkadang memang ajaib. Lebih baik gue balas peluk Ibu juga tak kalah erat. Meresapi dengan amat pelukan yang bakalan jarang gue nikmati ini lagi. Enggak mungkin, kan, kalau gue galau larinya ke rumah Ibu? Cerita ini dan itu seperti biasanya?

Saat gue memutuskan untuk menerima biarpun terlambat, gue tau konsekuensi yang akan gue tanggung. Termasuk salah satunya kalau kami nanti bertengkar. Kalau sekiranya terlalu besar, baru gue melibatkan Ibu dan Ayah. KDRT misalnya. Aduh ... itu keterlaluan, sih. gue enggak pernah melihat Ayah sampai pukul Ibu. Kalau marah dengan nada tinggi, mungkin saat itu sama-sama emosi. Tapi setelahnya Ayah terutama, minta maaf ke Ibu. Peluk-peluk sambil nangis deh mereka berdua. Gue ingat banget, kok.

"Doain Arin, ya, Bu. Rumah tanggannya enggak ada gempa."

Bukannya didoakan atau apa, gue malah dapat jitakan. Untung hiasan di kepala gue aman dan damai. Kalau enggak, gue yakin banget Ibu disembur sama ibu tukang riasnya. Kayak gue tadi. Padahal gue pegel kalau kepalanya enggak miring sedikit. Harus tegak terus. Capek.

"Kalau ngomong suka sembarangan," celetuk Ibu.

"Ayo, pengantin perempuan dan ibunya. Sudah bisa memasuki area akad." Ada pembaca acara yang memang bertugas biar lebih terkondisikan selama jalannya acara. Pokoknya gue enggak mau pusing banget mengenai hal-hal remeh ini. ini urusan Tante Auri. Dan sosoknya juga belum gue lihat kecuali tadi datang jam empat subuh. Mungkin mengecek keperluan yang lainnya kali, ya.

Gue bangun dari duduk, dipastikan sekali lagi sama Mbak Rini (perias pengantin yang dipercaya Tante Auri) kalau make up gue enggak ada yang bermasalah. Jantung, kita kerja sama lagi, ya. Please. Jangan bikin ulah yang tambah bikin gue rasanya mau nyebur bareng sama Nemo. Sumpah, saat gue lihat hasil rias make up di wajah gue, gue enggak kedip. Merasa seperti bukan gue. Apa kata orang? Bikin pangling?

Bukan!

Gue merasa aneh pokoknya.

"Bismillah," kata Ibu sembari menggenggam tangan gue. Duh ... gue gugup banget. Pertama, jadi istri orang. Kedua, ini muka gue aneh banget karena make up. Ketiga, gue takut melakukan kesalahan saat melangkah. Gue enggak mau ada tragedi jatuh karena gue menginjak ujung kain ini. Keempat, sumpah demi apa pun gue pengin banget angkat kain ini tinggi-tinggi! Gue susah jalan!!!

Dan langkah gue menuju ruang tamu yang disulap menjadi tempat akad, rasanya lama banget langkah gue sampai ke sana. mungkin karena kain yang membelit gue bikin susah bergerak. Bisa jadi.

"Nah, ini dia pengantin perempuannya."

Sialan tuh MC. Jelas dia yang jemput gue tadi. Ini bikin gue jadi perhatian mendadak. Bagaimana enggak? Semua orang yang ada di sana, termasuk Ayah dan kedua orang tua Hulk: Tante Sofi dan Om Arya. Gue memang enggak terlalu banyak komunikasi dengan mereka, sih. tapi gue merasa mereka baik. Semoga saja.

Ah, jangan lupakan salah satu dari sekian banyak mata yang mengarah ke gue. Hulk.

Dia sampai enggak kedip melihat gue. apa gue bilang! Pasti make up gue aneh! Bahkan sampai gue sudah ada di dekatnya saja, dia enggak bicara sama sekali. Gue rasanya mau nangis. Pasti j*lek! Biarpun tadi gue lihat pantulan di cermin enggak jelek-jelek amat, tapi tetap saja!

"Coba Abang Rasyid, dibantu istrinya untuk duduk. Masa cuma dilihatin aja. Terpesonya, ya? Memang, sih, Neng Arin jadi cantik banget gini. Sudah sah. Boleh lah kalau cuma pegang-pegang tangannya. Cium kening juga boleh."

Dan tawa dari semua undangan yang ada bikin gue makin keki.

Sialan Hulk!

Lebih sialan lagi MC-nya! Siapa, sih, dia? Bibirnya enggak bisa dikondisikan, ya?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro