[27]
Gue enggak tau mesti bagaimana bersikap kali ini. Di samping gue Hulk santai banget makan es campur lagi sementara di depan gue, Hekky kayak orang tegang mau disidang padahal dia sendiri yang mau bicara. Hulk mana mau meninggalkan gue cuma berdua sama Hekky.
"Arin ... apa kabar?"
Sejak Hekky ke rumah dan mendapat penolakan terang-terangan dan gue mengetahui pada akhirnya kenapa hubungan gue dijegal, komunikasi gue sama sekali enggak ada ke Hekky. Gue sendiri enggak berniat untuk menghubungi terlebih dahulu, sih. selain karena gue langsung sibuk menyiapkan pernikahan yang tinggal mengitung hari ini, gue memang sudah memantapkan hati.
Berdoa dengan amat kalau apa yang gue yakini ini enggak salah langkah. Semoga saja.
"Arin baik."
"Alhamdulillah kalau begitu. Tumben ada di sekitar sini, ada perlu?"
"Iya. Kami habis fitting baju pengantin." Ini suara Hulk. Entah sengaja atau enggak, gue enggak paham. Soalnya begitu gue melirik, dia santai banget menyuap kuah manis berwarna pink itu. malah menawarkan ke gue pula!
"Oh ... saya doakan lancar hingga harinya tiba."
"Terima kasih." Gue tau nada suara Hulk terdengar tulus di sini. Saat tadi berkenalan, gue enggak menutupi kalau yang ada di samping gue sekarang, memang calon suami gue. Toh, pada dasarnya Hekky pernah 'bersapa' di telepon. Jadi gue rasa sudah enggak ada masalah biarpun masih ada rasa enggak enak hati.
"Neng bawa undangan kosong? Enggak mau dikasih ke temannya?"
Gue gelagapan. Mata gue melirik tajam tapi saat beradu pandang, Hulk hanya mengedikkan bahu seolah bilang, "Benar, kan, teman Neng?"
Sial memang Hulk ini.
"Oh, bawa." Sudah lah ketimbang nanti gue berdebat, lebih baik gue turuti saja. gue enggak masalah kalau nanti Hekky mau datang atau enggak. Niat gue baik, mengundang dirinya di hari bahagia gue. Biarpun gue enggak tau, gue benar-benar bahagia atau enggak. "Untuk Mas." Gue sodorkan satu undangan tanpa nama karena memang hanya sebagai cadangan yang selalu gue bawa. untuk yang tertempel namanya, gue sudah minta tolong sama sepupu untuk menyebarkan ke semua kenalan Ayah dan Ibu.
Untuk teman-teman gue yang lainnya, gue minta bantuan juga. jadi sedikit banyak sudah meringankan penyebaran undangan. Hanya beberapa saja yang gue kirim secara khusus. Kalau di kantor, gue cukup tempel satu undangan di dekat mesin absen biar terlihat semua orang. Bukan karena hemat, tapi biasanya seperti itu yang jadi kebiasaan di kantor. Mereka sendiri malah bilang, biar hemat enggak banyak yang mesti dicetak kalau untuk rekan kantor.
Gue ikuti saja yang sudah menjadi kebiasaan di sini.
"InsyaAllah Mas datang." Hekky menatap gue dengan pandangan nelangsa. Mungkin pikirnya, seharusnya kami berdua yang sibuk mempersiapkan ini dan itu. Bukan gue sama orang lain yang repot menyongsong pernikahan. Tapi mau bagaimana lagi? Gue rasa, dia sudah menyadari kalau ada hal-hal yang enggak mungkin dihilangkan dalam masa lalu.
"Kita pamit? Bisa?" Hulk merapikan mangkuk es-nya. Berkata sembari membersihkan sudut bibirnya yang gue rasa masih tersisa kuah manis.
"Oh, silakan. Saya hanya ingin tau kabar Arin secara langsung dan kebetulan bertemu di sini."
"Maaf, ya, enggak bisa lama. Soalnya masih ada yang mesti kami urus. Ya, kan, Neng?" tanya Hulk sembari mengusap puncak kepala gue. Ini seperti dia mengikrarkan diri kalau gue sudah enggak boleh lagi diganggu orang lain. Ada dirinya yang eksistensinya memang ada. Padahal enggakperlu begitu juga gue yakin Hekky mengerti. Kenapa, sih, pria hobi banget membuat 'tanda' kepemiliksan sama gadisnya? Kesannya kayak enggak boleh banget diganggu. Seharusnya perempuan juga begitu, kan? Tapi kadang malah dibilang norak dan enggak berkelas. Ck!
"Iya. Saya mengerti dan terima kasih sudah diperbolehkan bicara walau sebentar."
Gue memilih menunduk saja. Mengimitasi gerak Hulk yang akan berdiri dari kursinya.
"Saya boleh titip pesan?"
Jelas ucapan itu membuat kami menoleh, terutama saat Hulk melirik ke arah gue. "Pada Arin?" tanyanya kemudian. Hulk sendiri menatap gue dengan pandangan bingung, apalagi gue. Sama sekali enggak mengerti arah bicara Hekky kali ini.
Hekky pun turut bangkit dan senyum yang biasanya selalu ceria saat bersama gue, enggak ada. Digantikan senyum sendu yang menyiratkan kalau dirinya benar-benar sedih akan kenyataan yang ada. Sebenarnya bukan hanya dirinya, sih. Gue sedih, tapi gue enggak mau melanggar batas yang ada. Selain gue sudah bertunangan dan menyetujui menikah dengan Hulk, gue sendiri enggak mau menerabas restu Ibu. Enggak akan pernah mau.
Dan pria berkacamata itu merespon dengan gelengan. "Bukan. Saya titip pesan untuk kamu."
Dari gesturnya gue lihat Hulk seperti orang menunggu kata selanjutnya yang akan Hekky sampaikan. Aura di sekitar gue enggak mencekam atau rasanya bikin sesak napas, sih. Enggak. Entah karena Hulk yang menanggapi dengan santai, atau karena Hekky sendiri yang juga enggak terlihat memandang dengan cara bermusuhan. Entah lah. gue merasa bersyukur aja, sih. Jadi enggak ada drama-drama yang bikin kepala gue pusing mendadak.
Berantem memperebutkan gue misalnya.
"Tolong ... tolong jaga Arin dengan baik. Jangan sampai ... bikin dia sedih."
Baru kali ini gue mendengar suara Hekky yang mirip orang ingin menangis. Ada getar di sana dan mendadak bikin gue trenyuh.
"Saya jaga Arin sepenuh hati karena memang menyayanginya dengan sungguh-sungguh. Saya tau, kami enggak ditakdirkan sama-sama. Makanya saya minta tolong sekali, jaga Arin dengan baik. Bahagiakan Arin selayaknya seorang istri yang memang pantas untuk dibahagiakan."
Ucapan Hekky bikin gue beku seketika. Apalagi saat dirinya pamit pergi lebih dulu. Bisa jelas gue saksikan ada air mata di sudut netranya yang terhalang kacamata itu. Barulah ketika Hulk menyisipkan jemarinya ke tangan gue, gue menyadari kalau sosok Hekky benar-benar sudah pergi.
"Dia cinta banget sama kamu, ya, Neng?"
Air mata gue jatuh tanpa sempat gue berpikir lagi.
***
Sisa hari ini enggak dilanjutkan Hulk untuk mengecek persiapan lainnya. Ia memilih melajukan motor menuju rumah gue. saat gue menyadari kalau arah kendaraan ini ada di lingkungan gue, gue penasaran juga kenapa dirinya malah memilih pulang.
"Kok, pulang Bang? Kan, belum selesai."
Biarpun disisipi suara angin dari arah berlawanan dengan laju motor gue, gue masih bisa mendengar kalau Hulk bilang, "Sedari tadi kamu diam saja gitu. abang enggak mau ganggu hati kamu yang lagi sendu."
Gue diam.
"Abang enggak tau rasanya karena belum pernah ditinggal nikah sama orang yang Abang sayang. tapi jadi mantan pacar kamu itu kayaknya berat, ya? Padahal Abang melihat sekilas, orangnya baik."
Tangan gue memang enggak memeluk Hulk seperti saat gue berkendara sama Hekky, hanya saja, cengkereman gue di tepi jaketnya mengerat. Jangan tanya hati gue yang tiba-tiba mellow lagi padahal sepanjang jalan tadi biarpun memikirkan Hekky sedikit, gue juga mikirin sisa to do list yang ada.
"Abang enggak bisa janji banyak ke Arin tentang bahagia. Tapi Abang memang sayang sama kamu dan memastikan enggak akan bikin kamu sedih."
"Buktiin aja, Bang." Gue enggak tau kenapa mesti berkata seperti ini sebagai tanggapan ucapannya barusan.
"Iya. Pasti Abang buktikan. Tapi kalau suatu saat nanti Arin jatuh cinta sama Abang, jangan ditampik, ya. Jatuh cinta sama suami, kan, wajar."
Gue mencebik. Bisa-bisanya bicara begitu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tangan gue yang ada di sisi kanan kirinya karena memegangi jaket yang ia kenakan, diambil dengan agak paksa. Dan darah gue rasanya mengucur deras dari raga saat Hulk dengan seenaknya memberi satu kecup tepat di punggung tangan.
Ih, kadang gue mikir Hulk ini jorok juga, ya. Tangan gue kan kena debu atau atau, main kasih kecup aja. Tapi sumpah, bikin gue deg-degan parah!
Belum habis rasa terkejut gue, tangan gue tadi langsung ia lingkarkan di perut. "Pegangannya kayak gini."
Sudah lah, Hulk dan tingkah ajaibnya memang luar biasa.
"Besok diteruskan lagi, ya, Bang. Masih ada beberapa yang belum."
"Beres. Neng tenangkan hati dulu, Abang juga."
"Ya?" Gue bingung kenapa dia bicara seperti itu, ya? "Maksudnya gimana, Bang?" tanya gue biar lebih jelas.
"Yah ... bertemu sama mantan pacar kamu tadi, bikin suasana hati Abang agak enggak enak juga."
"Abang ... cemburu?"
"Lebih dari itu, sih."
Sumpah, gue masih belum mengerti dengan apa yang Hulk katakan ini.
"Abang merasa seperti merebut Neng begitu aja. Apa ... Abang mesti bilang maaf, ya, sama mantan Neng tadi?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro