[26]
Kan, gue bilang juga apa. kalau orangnya ada dan menangani langsung, pasti cepat beres. Dia bisa pilih dan menyesuaikan serta diskusi banyak hal sama gue. Enggak cuma sebatas telepon atau video call dan berujung gue atau dia yang enggak terima sama konsep yang ada.
Memang dia aja yang nyebelin kenapa juga harus menyerahkan sama gue tapi banyak mau. Kalian tau alasannya?
"Abang pengin pernikahan ini sempurna, Rin. Nikahi gadis yang Abang suka, kan, harus totalitas."
Gue mencibir dengan kentara banget kalau dia sudah menggunakan bahasa manisnya itu. Malas banget! Seperti sekarang ini. Kami mampir ke butik kenalan Tante Auri untuk mencoba kebaya akad nikah dan juga kebaya saat resepsi nanti.
Kalau gue termasuk yang simple seleranya. Bukan apa, malas ribet-ribet dengan model ini dan itu. sementara si Hulk? Jangan tanya. Ini dan itu banyak maunya. Yang paling bikin gue kesal, seenaknya dia bilang, "Neng Arin nanti bakalan terpesona sama Abang."
Gue merotasi mata saking jengahnya. Lama-lama gue ketularan enggak waras karena dia. Fix.
"Rin, kita makan dulu, ya. sekalian bicara mana saja yang sudah deal dan masih butuh pertimbangan."
Jawaban gue hanya anggukan. Dia memang benar. Terbiasa dengan list pengerjaan kerjaan mana yang prioritas dan mana yang bisa dibicarakan terlebih dahulu, bikin to do list menuju sah gue terencana. Sebenarnya. Walau kadang gue harus narik urat dulu untuk sekadar memberi satu centang pada list yang gue sepakati bersama.
Dan untuk itu lah gue butuh tenaga lebih untuk persiapan mendebat Hulk kali ini karena gue enggak tau kegilaan apa lagi yang bakalan dia perbuat. Perlu gue kasih tau apa saja? Oke; pertama, masalah warna tenda dan dekorasi. Dia bilang sendiri enggak masalah dengan warna pink—ini setelah gue menang debat terkait dekorasi hitam yang dia bilang bakalan terjadi di resepsi yang akan terselenggara di Bandung. padahal kami semua sudah deal. Kedatangannya ke Jakarta memang luar biasa membuat tingkat stress gue tambah. Dan ini kami sepakati dengan warna lebih soft ketimbang pink dan menjurus pada pink fanta.
Kedua, masalah kebaya tadi. Gue mau yang simple, dia enggak. Tante Auri sampai tergelak karena itngkah kami padahal gue sudah pengin banget melayangkan satu pukulan di kepalanya. Sakit jiwa memang terkadang Hulk kalau bicara.
Ketiga, masalah catering. Memang niatnya dia baik, enggak mau bikin Ibu capek tapi saat dia menunjuk tempat catering dan gue merasa enggak cocok, dia cemberut. Katanya gue enggak menghargai dirinya yang pengin biar Ibu enggak capek dan enggak perlu mikirin jamuan makan. Padahal Ibu sudah meyakini, menyerahkan pada orang yang ia percaya dan sudah terbiasa menangani pesta seperti ini! permasalahannya, Ibu sudah belanja sebagian!!!
Argh! Hulk benar-benar ujian!
Begitu bicara dengan Ayah dan Ibu terkait catering, baru deh, dia ngalah dan merasa enggak enak hati karena Ibu sudah mau repot. Bisa banget bibirnya bicara maaf ke Ibu sementara ke gue? Enggak! Cuma cengar cengir enggak jelas padahal gue pakai urat ngasih taunya.
Lama-lama gue g!la sama Hulk kalau begini terus caranya.
"Rin, kok malah melamun? Enggak mau turun?"
Gue terkesiap. mendapati kalau motor yang kami kendarai sudah ada persis di warung makan bakso. Gue mengerutkan kening jadinya. "Kita makan bakso?"
Dia cuma mengangguk. "Enak kayaknya makan bakso pakai indomie."
Ya Allah.
"Abang suka banget sama indomie atau gimana, sih?" tanya gue cukup penasaran. Gue masih ingat porsi yang dia pesan saat mengarah ke Tebet kala itu. indomie double dengan topping lengkap. Itu pun dia bilang masih kurang. Makanya badan yang ia miliki persis seperti Hulk. Besar dan tegap gitu.
"Yah, suka aja sih. Enggak suka banget. Suka banget mah, Abang ke Neng Arin."
Gue enggak merona. Yang ada melangkah duluan masuk ke dalam kedai. Bicara sama Hulk itu mesti punya stok sabar yang banyak juga hati yang lapang karena ucapannya lebih sering melantur ketimbang waras.
Mata gue bergerak mencari spot yang kosong dan enggak terlalu terganggu nantinya dengan pengunjung lain karena gue memang mau bicara mengenai persiapan pernikahan ini. Setelah dapat, segera gue menghampiri dan duduk di sana. gue yakin banget Hulk mengikuti, kok. Enggak bakalan hilang juga, sosoknya terlalu kentara banget kalau mau sembunyi juga.
Seorang pelayan mendatangi meja kami dan gue masih bolak balim menu yang ada. Jangan tanya sama Hulk. Dia pesan bakso komplit pakai indomie juga sayuran yang ada; sawi serta tauge. Entah perutnya terbuat dari apa. Karet mungkin. Atau ada black hole di dalamnya. Soalnya, selain memesan bakso tadi, dia juga pesan es campur.
Ya Allah. Tukang makan banget, kan?
"Setelah semua list nanti kita bicarakan, Abang tinggal sementara di rumah Tante Auri. Mama dan Bapak ke Jakarta tiga hari jelang pernikahan."
Gue menghitung masih ada sisa dua minggu lagi sebelum hari H mendatangi gue. kadang gue enggak pernah menyadari kalau diri gue terlibat di dalamnya. Di mana awalnya gue selalu menampik dan terpaksa menerima apalagi peringai Hulk ini kadang-kadang bikin darah gue mendadak mendidih tanpa peringatan.
Akan tetapi, gue yakin, Allah beri yang terbaik. Dan ... yah, jawabannya mungkin seorang Rasyid Ananta yang lagi sibuk sama ponselnya ini, sih. Tenang, dia izin tadi karena mau balas banyak chat terkait pengelolaan klinik hewan miliknya di Makasar sana.
Selama gue kenal, biarpun paling sering hanya melalui sambungan telepon atau video call, yang gue pahami satu hal; dia perhatian dan enggak melulu dengan basa basi. Mungkin karena gue ini anak tunggal, terbiasa manja dan keras kepala, jadi utuh sosok yang bisa mnegendalikan gue tanpa terlalu mengekang.
Dan gue merasa, Hulk bisa melakukan itu.
Sesekali gue memperhatikan dia makan yang enggak merasa terganggu dengan apa-apa. Enjoy banget menikmati makan setelah sebelumnya memastikan gue sesuai dengan apa yang dipesan. Menuangkan saus, kecap, juga sambal dan memastikan semuanya seperti apa yang gue mau. Juga membukakan botol minum dingin buat gue. sepele kelihatannya, tapi Hulk mementingkan gue ketimbang dirinya makan duluan.
"Makannya yang benar, Rin." Hulk tiba-tiba mengusap sudut bibir gue menggunakan tisu yang basu saja ia tarik dari tempatnya. Gue pesan mie ayam memang, mungkin sisa kuahnya tertinggal di bibir gue. Bikin gue agar terkejut dengan tingkahnya. "Lapar banget, ya, sampai lupa kalau makan di depan calon suaminya?"
"Hah?"
"Ya, biasanya kan kalau perempuan makan itu jaim. Enggak mau berantakan juga tertata."
Gue ngakak. "Terus itu bikin Abang nyesel mau nikahin gadis kayak Arin? Belum terlambat untuk membatalkan pernikahan, kok. Paling sebulan doang Arin kesel, sisanya enggak." Dan tawa itu enggak mau pergi sampai akhirnya gue sadar, Hulk menatap gue tanpa ekspresi.
Seperti orang kesal dan marah bersamaan gitu. Bikin tawa gue mendadak hilang.
"Abang enggak masalah dengan Arin yang memang apa adanya. Justeru Abang suka. Tapi Abang enggak suka kata-kata Arin barusan. Terlambat membatalkan pernikahan? Enggak ada dalam kamus hidup Abang."
Gue susah banget nelan ludah. Kayak ada banyak duri di dalamnya yang bikin tenggorokan gue makin sakit saat berhasil meloloskannya masuk ke tenggorokan. "Maaf, Bang," kata gue dengan pelan.
"Jangan pernah bilang gitu lagi, ya. Abang serius nikahin Arin."
Kepala gue refleks mengangguk, ketimbang gue cari masalah lain sama Hulk. Bisa habis gue diceramahi nantinya.
"Makanya Abang ribet banget ikutan ngurus biarpun Abang yakin dan percaya, sebenarnya pilihan Arin ini bagus dan sesuai. Tapi ... benar, deh. Abang pengin banget yang terbaik untuk pernikahan kita ini."
Gue masih diam. Takut salah kalau nanti bicara.
"Maaf juga kalau Abang jadi nyebelin dari kemarin."
Hamdalah. Gue tanpa sadar menghela napas yang kentara banget, bikin dia tersenyum gitu. Dan sumpah, senyum itu bikin gue terkesima. Manis banget soalnya.
"Pasti repot, ya, ngimbangi Abang dari kemarin?" tanyanya sembari mengusap rambut gue dengan lembut. Gue sudah mirip anak kucing yang malah manyun manja gitu diperlakukan sedemikian rupa sama Hulk!
"Iya! Kesal tau. Emosi banget aku sama Abang yang enggak beres-beres ngapa-ngapainnya!"
"Maaf, ya."
Dan untuk permintaan maafnya kali ini, gue terima dengan lapang dada. Seenggaknya, pria di depan gue ini mengakui dengan amat kalau dirinya membuat gue jengkel. Dan situasi selanjutnya gue manfaatkan untuk menyelesaikan sisa to do list yang belum biru di catatan gue.
Diskusi sama Hulk memang banyak debat tapi setelahnya, dia mengalah terutama setelah gue jelaskan lebih rinci.
"Arin benar-benar detail kalau menyangkut keuangan, ya?"
Gue mencebik. "Iya, lah! Pak Bos salah digit nol satu aja aku dimaki-maki. Enggak boleh ada cacat. Untung cinta."
"Gimana maksudnya?" tanya Hulk tiba-tiba dengan suara yang enggak lagi santai.
"Cinta sama pekerjaannya, Bang. Ya kali cinta sama bos. Sudah punya Nyonyah gitu."
Dia menggeleng saja. Mengajak gue pulang setelah dipastikan semuanya beres setelah sebelumnya membayar tagihan makan kami. Dan saat gue mengenakan jaket di dekat motor, suara yang begitu familier menyapa, "Arin?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro