[25]
Memang benar, ya, kalau mau nikah itu urusan semuanya jadi ribet. Ada saja yang bikin gue emosi bin tegang. Biarpun ujung-ujungnya, si Hulk pandai banget kalau bicara, "Ya sudah, Arin maunya gimana? Abang ikut. Tapi diskusi dulu sama Tante Auri, ya. Beliau pasti kasih Neng referensi bagus."
Gue manyun. Ini sudah berlalu sejak seminggu pertemuan gue sama Tante Auri itu. Memang beliau keren banget paham dan mengerti mau gue seperti apa. Hanya saja, entah kenapa gue selalu pengin gonta ganti. Kayak galau gitu apa bagus atau enggak untuk dekorasi serta design seperti ini. jadi bikin pusing sendiri dan hulk seperti enggak mau tau dengan kepusingan gue.
Rasanya mau nangis.
"Rin," panggilnya masih dengan telepon yang gue jepit di bahu kiri. Air mata gue sudah jatuh. Perkaranya simple, sih. Gue pengin design undangannya itu enggak perlu pakai pita segala dan engak perlu hard gitu. Yang biasa saja dan unik. Kan banyak tuh designnya. Malah diganti yang hard dan sudah siap dikirim ke rumah.
Gue pikir belum selesai karena gue ganti model designnya dua hari setelah setuju sama design awal, kok. Ini kemauan Ayah memang, tapi gue pikir-pikir budgetnya sayang juga. biarpun Ayah beri tambahan bisa untuk yang lainnya. Gue ingat, semua perkara uang itu enggak gampang bisa dihabiskan begitu saja.
Dan ternyata, mereka cetak dengan kecepatan kilat. Mungkin karena waktunya yang mepet juga... ah, entah lah! Gue jadi sedih sendiri.
"Rin? Kamu kenapa?" tanya Hulk dengan nada pelan. mungkin menyadari kalau gue enggak berkomentar sejak tadi. Gue duduk di tepi ranjang pada akhirnya. Mengusap air mata dan menahan agar enggak terdengar terisak.
Itu baru perkara undangan. Belum lagi masalah tenda. Aduh ... kepala gue rasanya keram mendadak.
"Rin."
"Apa, sih? Cerewet banget!" Sudah lah gue enggak bisa menahan diri lagi. Gue rasa dia tau kalau gue ini sedang menangis.
"Neng nangis?"
Pake ditanya lagi!
"Neng capek?"
"Bukan capek lagi! Pusing semuanya Arin yang urus. Semuanya Arin harus bertanya ini dan itu dan ngabarin Abang juga. Belum lagi ngurusin surat-surat nantinya biarpun minta tolong sama Pak Roni. Arin kesel banget masa semuanya sendirian? Arin merasa Abang ini cuma tau beres aja engak mau ikutan repot! Ibu sama Ayah udah repot! Abang ini niat nikahin Arin enggak, sih? Kalau enggak niat, semuanya batal aja! Enggak apa-apa ketimbang Arin dibuat pusing sendirian! Belum lagi kalau Abang enggak suka, mesti ganti dan cari yang sesuai seperti yang Abang mau!" cecar gue tanpa jeda. Setelahnya, gue ngos-ngosan. Bicara tanpa putus gitu luar biasa memakan energi.
"Buka pintu kamarnya bisa?"
"Enggak mau!"
"Rin."
"Mau ngapain buka pintu? Arin mau tidur aja. Terserah lah itu undangan sama tenda nantinya. terserah. Arin capek!" Gue benar-benar menjatuhkan diri di ranjang. Enggak peduli kalau belum berganti pakaian sepulang kerja. Gue butuh menenangkan jiwa.
Mae bilang, tekanan mau nikah itu aja saja. Termasuk hal-hal seperti ini. Lah, dia mah enak! Semuanya dihandle Pak Bos. Mae tinggal tunjuk. Di sampingnya, Pak Bos ikutan ribet mengurus pernikahan keduanya. Gue? Calon gue aja berjarak puluhan kilo dari jakarta. Yang Cuma dapat laporan dan sesekali enggak terima dan koreksi kemauan gue.
Di sini dong kalau memang au banyak protesnya! Dan satu lagi, bukan gue mau matre atau bagaimana. Gue enggak kepengin aja kalau banyak uang terbuang sia-sia sama hal yang kurang bisa bermanfaat. Kalau masih bisa menggunakan hal yang lebih urah tapi pantas, why not? Yang penting, kan, enggak malu-maluin.
Gue juga masih mikirin muka Ayah dan Ibu, lah. muka gue juga, sih.
"Atau mau Abang dobrak?"
Spontan, gue bangkit. "Maksudnya?"
"Cepat buka."
Ya gegas lah ge buka pintu kamar dan sosok yang berhasil bikin gue kesal beberapa hari ini, muncul di sana. sembari tersenyum tipis banget. "Hai, calon istri."
Gue enggak mau nyambut dia pakai senyuman. Yang ada gue pukuli dadanya dengan ponsel yang masih setia gue genggam. Enak saja! Semua kekesalan gue, gue kumpulkan dan salurkan di pukulan itu. bertubi-tubi. Bodo amat. Badannya kekar ini!
Tapi sejurus kemudian, tangan gue ditarik paksa ke atas yang membuat ponsel gue tergelincir dan menghantam lantai. "ABANG!!!"
***
Gue menatap ponsel boba kesayangan gue dengan nelangsa. Ada retak sedikit di pinggirnya. Sedih banget rasanya.
"Maafin Abang, ya." Usapan di kepala gue, lagi-lagi gue terima. Sejak tadi, gue duduk berdua dekat akuarium di samping rumah. bunyi gemericik airnya sebagai peneman kami soalnya gue sama sekali enggak bersuara saat mengambil ponsel yang jatuh tadi.
Ini ponsel gue boleh beli dengan nabung tiap bulan. Jatah shopping gue, benar-benar gue kurangi biar kebeli. Saat bisa membelinya secara cash dan langsung, enggak kebayang rasa senangnya dan bisa gue pamerin ke Mae. Dan sialnya, si Mae beli laptop buat gaming dia yang harganya selisih tiga jutaan dari boba gue.
Ya allah. Luar biasa, kan, Mae?
"Arin yang salah," kata gue pelan. mengusap penuh perasaan ponsel gue yang isi dalamnya enggak masalah hanya retak saja di luar. Tapi, kan ... tetap saja sedih jadinya. Ah ... emosi gue benar-benar butuh dijinakkan!
"Nanti Abang ganti, ya. Jangan sedih. Jangan nangis lagi."
Yah ... bukan perkara mau diganti yang bikin gue nangis lagi. ingat perjuangan untuk mendapatkan ini. gue kalau perkara belanja memang enggak ada hitungannya. Maksudnya base on budget. Kalau sudah mendekati, gue stop. Tapi karena berkeinginan punya ponsel keren ini, gue nabung.
"Sementara pakai ponsel ini dulu. Setelah kita nikah kita beli, ya."
Gue mendongak. Seketika pikiran gue ingat kalau ada perkara yang lebih besar dari dari sekadar beli ponsel baru. Pernikahan. Itu butuh banyak banget uang. Gue enggak memungkiri hal itu. "Enggak usah, deh. enggak apa."
"Enggak apa nanti kita beli. Abang salah. Abang bikin Neng marah dan kesal. Benar yang tadi Neng bilang, Abang sepertinya enggak mau ikut campur dalam pernikahan ini. Maunya tau beres."
Gue enggak enak hati jadinya. "Maaf," cicit gue. "Tadi lagi emosi banget."
Anehnya dia malah tersenyum. Enggak marah sama sekali. Malah mendekatkan diri ke gue dengan menggeser bangkunya. Menarik gue dengan pelan agar memeluknya. Gue pasrah aja lah. memang butuh dipeluk sepertinya. Dan usapan lembut gue terima di punggung dan kepala gue. Puncak kepala gue ia jadikan sebagai tumpuan dagunya. Sementara wajah dan sebagian tubuh gue, dibenam dalam peluknya yang ... hangat?
"Enggak apa. Abang jadi tau salahnya di mana. Abang bakalan bayar semuanya, ya," katanya tanpa berusaha melepaskan gue yang ia peluk. Gue juga belum mau dilepaskan, sih. Eh ... kok malah begini pemikiran gue? Tapi serius, deh, dipeluk Hulk ini enak. Nyaman gitu.
Biarpun cologne-nya sudah bercampur sama aroma lainnya, tapi enggak bau yang bikin gue pusing mendadak. Sumpah. Malah gue pengin nempel mulu! Jadi lah gue makin mempererat pelukannya. Dan sepertinya dia enggak mempermasalahkan hal ini, kok. Buktinya dia malah makin sering usap-usap kepala gue.
Seperti Obel saat lagi manja. Disentuh ujung kepalanya sedikit saja, sudah langsung bergelung manja di dekat gue. Duh ... mendadak gue ingat dia. Padahal sudah lama banget enggak ingat sama kuncing kesayangan gue itu. Apa karena perlakuan Hulk manis banget ke gue jadinya bikin gue tersentil perasaannya?
Lama gue dipeluknya sebelum dirinya berkata yang bikin gue kembali ke dunia nyata. "Arin kangen juga, ya?"
Gue mendorong tanpa aba-aba dada Hulk. "Enggak!"
Dia tertawa pelan. "Ngaku aja enggak apa, kok. Sama calon suami sendiri kangen itu hal wajar. Apalagi tadi dengar ocehan mirip kereta. Itu pertanda kalau Neng ka—"
"Enggak! Kapan Arin kangen sama Abang." Sumpah, ya, gue malu banget! Bisa-bisanya terlena sama pelukannya yang nyaman itu. Tapi memang benar-benar nyaman. Masa gue harus bohong?
Senyumnya masih ada di bibirnya. Dengan kalem dia bilang yang bikin gue makin jadi malunya. "Padahal Abang kangen sama Neng. Dipeluk kayak tadi malah kangennya enggak berkurang sama sekali."
Gue mencibir saja pada akhirnya. Mengabaikan panas yang tau-tau menjalar ke pipi. bahkan rasanya gue mau mengibas ke area wajah biar panasnya berkurang banyak.
"Mau peluk lagi?"
"Enggak!"
"Enggak nolak?"
Gue bangkit buru-buru. Bodo amat lah! Dekat sama Hulk saat ini enggak baik untuk jantung gue. Kemarahan gue serta semua kepusingan yang melanda, hilang begitu saja. Entah mereka ke mana padahal banyak banget yang harus gue bicarakan dengan Hulk.
Mungkin benar, gue sebaiknya melerai sejenak jarak. Gue ke dapur dia di sini saja. Pertama, normalkan laju jantung yang sudah enggak waras ini. Kedua, gue butuh minuman dingin menyegarkan biar otaknya kembali tersambung karena sempat putus tadi. Ketiga, gue butuh catatan mengenai apa saja hal yang kurang untuk dibicarakan.
"Rin? Kamu mau ke mana?" tanya Hulk yang gue tau banget memperhatikan gue lekat-lekat. Ini orang matanya enggak bisa biasa aja mengarah ke gue, ya? Dipikirnya gue mau kabur kali?
Mungkin, karena gue enggak gubris pertnayaannya tadi malah berujung mala petaka buat gue. Iya lah. hulk main tarik tangan gue dan mendadak saja gue hampir menubruk tubuhnya yang sudah berdiri menjulang. Gue malah enggak tau kapan dia berdiri dari duduknya yang pasti ... satu kecup singkat dia layangkan ke kening gue.
"Kamu kalau gugup lucu banget, Rin. Abang suka."
Sialan memang Hulk!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro