Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[24]

Perasaan gue enggak lega seratus persen, sih. Hanya lebih legowo aja gitu. Itu artinya memang semesta enggak merestui gue sama Hekky bersama. Astaga. Bahasa gue mendadak sok puitis gini. Aneh banget kedengarannya. Tapi memang benar, kok.

Hati gue enggak diliputi banyak tanya dan keresahan lainnya terutama pertanyaan seputar, "Kenapa orang tua gue enggak memberikan restu sama Mas Hekky?"

Sudah terjawab, ya ... sudah. Gue memang enggak berminat untuk memaksakan kehendak. Final decission gue untuk melanjutkan pertunangan hingga ke babak baru yang sama sekali asing dalam hidup gue. Iya lah asing! Gue baru mau mulai berumah tangga. Sama orang yang baru gue kenal pula! G!la aja kalau gue enggak kepikiran dan gugup.

Minggu ini gue memang enggak ingin keluar rumah. Lebih memilih duduk di dekat akuarium sembari memperhatikan mereka semua berenang dengan eloknya. Saat pertama kali memutuskan untuk memelihara ikan, Ayah enggak setuju. Katanya gue ini enggak telaten kalau memelihara hewan. Nanti takutnya malah enggak terawat dan bikin repot.

Gue mencibir saat itu. Kesannya gue urakan banget mengenai hewan peliharaan. Dulu, gue ingat banget memiliki hewan berbulu lucu dan imut. Namanya Obel. Kucing hitam belang putih yang gemuk juga nurut banget sama gue.

Gue sayang sama Obel sampai main boneka saja, dia temani. Enggak temani secara harfiah kucing gue itu ikutan main, ya. dia Cuma duduk selonjoran di dekat gue dan ketiduran. Kalau gue dipanggil Ibu untuk makan, baru lah dia bangun dan ikut gue masuk. minta makan juga. Saat itu gue berusia tujuh tahun.

Kenangan bersama Obel itu enggak pernah bisa gue lupakan, sih. Selain lucu dan imut, Obel itu mau aja gue gendong ke sana kemari. Nurut banget pula. Dan naasnya, gue enggak tau kenapa, saat pulang sekolah, gue temukan Obel sudah tergelak dengan mulut penuh busa. Gue histeris dan kebetulan banget Ibu enggak ada di rumah.

Gue cuma sama Bi Anti saat itu. beliau pun kebingungan kenapa Obel bisa tergeletak begitu. Soalnya terakhir kali kucing kesayangan gue makan, Bi Anti tau dan beliau yang beri.

Sambil nangis, gue peluk erat. Masih berasa kucing gue kayak kejang gitu. Duh ... kalau inget gue mau nangis terus. Iya, gue memang secengeng itu kalau ada hal yang terlalu menyentil emosi gue apalagi berkenaan sama hewan yang gue sayang. terutama Obel.

Enggak lama, Obel kaku. Makin jadi lah gue histeris dan Bi Anti enggak bisa nolongin gue. secara gue ingat banget, sampai guling-guling di teras. Meluk Obel. Teriak-teriak biar bangun. Sumpah ... rasanya gue enggak berdaya banget saat itu. gue bisa lihat dan masih ingat, bagaimana kucing gue kesakitan saat itu.

Sampai dua minggu, gue masih keingetan Obel. Kalau saat makan, malah gue nangis. Ayah tadinya mau adopsi kucing lagi tapi gue enggak mau. Gue merasa bersalah banget karena enggak bisa jaga dia dengan baik. Gue takut banget, gue enggak bisa menjaga peliharaan gue sendiri. Gue sering menyalahkan kematian Obel dengan perkara gue yang enggak becus mengurusnya. Karena memang saat itu, hari tragis itu, gue pulang sekolah telat.

Gue main dulu ke rumah Riri. Teman gue itu bilang, dia habis dibelikan boneka baru. Gue penasaran dan lupa waktu jadinya.

Dan gue memberanikan diri setelah gue diterima kerja. Biar budget memelihara ikan orange cantik ini enggak minta sama Ayah dan Ibu. Itu pun butuh keberanian setelah belasan tahun mengalami rasa takut karena bersalah.

Tadinya gue di Bandung sampai SMP. SMA hingga sekarang gue berada di rumah ini, rumah penuh perjuangan yang Ibu dirikan dari sisa peninggalan uang Ayah yang enggak seberapa saat itu. membangunnya pun butuh waktu tahunan karena nyicil sana sini. pindah ke jakarta saat itu karena posisi Ayah naik sebagai manager. Eh ... malah dibuat seperti itu sama Pak Ruly.

Astaga. Jadi ingat papanya Mas Hekky lagi.

"Rin," panggil Ibu yang membuat gue menoleh sebentar. Ibu ada di belakang gue bawa pisang goreng. Kelihatannya enak tapi gue masih yakin, lebih enak pisang goreng buatan Enyak. Tunggu ... kenapa gue merasa seperti anak yang tertukar, ya? Mae suka masakan Ibu dan gue cocok sama masakan Enyak?

Gue ngawur makin lama.

"Gimana persiapan nikah kamu nanti."

Tadinya gue mau nyomot pisang goreng dan menikmati sembari lihat Nemo hilir mudik di dalam sana tapi enggak jadi. Bahkan tangan gue berhenti begitu saja tanpa menyentuh makanan yang gurih dan manis itu. bahu gue terkulai lemas.

"Lho, kok tampangnya gitu?"

"Si Hulk—" Refleks gue memekik kesakitan. "Ibu apa-apaan, sih?" Melotot lah gue karena sakit banget karena Ibu enggak pakai basa basi pukul bahu gue. "Sakit, Bu!"

"Yang sopan kalau panggil orang lain. Itu calon suami kamu, Rin." Ibu mendelik marah ke arah gue. Bikin gue manyun seketika. Sembari mengusap bekas pukulan tadi yang gue rasa memerah nantinya.

"Iya-iya. Abang Rasyid maksudnya. Dia enggak ada bicara apa-apa lagi selain katanya semua diserahkan ke Arin. Ini kesannya jadi Arin yang pengin nikah, Bu. Abang di sana enggak ngapa-ngapain dan tau beres? Begitu? Kok, enak banget?!" Ini semua unek-unek yang sebenarnya bersarang di kepala gue.

Sudah sejak gue baca pesan itu ada hal yang mengganjal tapi karena permasalahan kemarin bikin otak gue terkuras, jadi gue enggak terlalu memikirkan hal ini. Dan berhubung hari ini Ibu bertanya, bagus lah, sekalian gue cerita. Biar Ibu juga tau dan paham, masa iya semuanya diserahkan ke gue? lalu dia ngapain?

Cuma modalin uangnya aja? Enggak mau kerepotan?

Ish!!!

"Lho, bicara sama Ibu enggak gitu."

Nah, ini bikin gue melongo tiba-tiba. "Maksudnya?"

"Semua yang Arin mau, tinggal bilang. Mau konsep seperti apa, undangan designnya bagaimana. Urusan catering, itu Ibu yang tangani."

"Arin jalan sendiri cari?"

Ibu terkekeh. "Dibantuin sama tantenya Rasyid yang kebetulan dari EO. Kamu tenang aja. engak bakalan repot."

Gue masih manyun, belum percaya. "Terus? Abang diam aja di sana?"

"Ya enggak dong, Arin. Kamu info juga kamu maunya begini begitu biar Rasyid enggak kaget pas nanti tiba di Jakarta lagi. Enggak lucu, kan, kalau kamu konsep semuanya pink dan dia enggak suka?"

Gue meringis mendadak. Ini Ibu tau banget kayaknya gue mau dengan konsep warna kesukaan kebanyakan perempuan. "Iya, deh."

"Nanti Tante Auri datang mau bicara tentang konsepnya."

Enggak ada yang bisa gue lakukan selain mengangguk. Meneruskan acara makan pisang sembari melihat Nemo yang anteng di dalam akuarium. Sesekali mereka sembunyi di anemon yang ada. Mata gue betah berlama-lama menatap mereka. Hingga tanpa sadar, ponsel gue sudah dering entah berapa kali.

"Kamu lagi ngapain memangnya?"

Ya Allah, ini orang kalau enggak cepat gue respon kayak gue menghilang entah ke mana gitu kali, ya?

"Lagi lihat ikan."

Dia cuma mengdengkus enggak suka. Gue bisa jelas banget mendengar. Hulk memang luar biasa.

"Kenapa?" tanya gue sambil makan pisang yang entah sudah potongan ke berapa.

"Tante Auri sudah datang?"

"Belum."

"Oh, kirain sudah."

"Ada apa memangnya? Tadi Ibu kasih tau untuk konsep pernikahan dan semua tetek bengeknya, Tante Auri yang urus? Benar begitu, Bang?"

"Iya. Tante Auri memang yang handle kalau ada acara seperti ini di keluarga Abang. Sudah dikenal juga kinerjanya. Tinggal Arin mau konsep seperti apa."

"Boleh enggak, sih, kalau konsepnya ada pink-pink gitu."

"maksudnya Abang juga pakai jas pink gitu? Arin pakai kebaya pink? Tendanya pink juga? Undangan pink? Souvenir juga pink? Begitu?"

Gue ngaka. "Nah, boleh tuh. Serba pink! Boleh enggak?"

"Boleh aja."

Mendadak tawa gue lenyap. Gue yakin banget seorang Rasyid Ananta yang hobi sekali mendebat gue, punya rencana lain. Yang enggak pernah gue duga dan terkadang bikin gue jengkel seketika. "Kok, Arin curiga, ya?"

"Kenapa harus curiga? Kamu jangan berpikiran buruk terus dong ke Abang. Memangnya Abang ini penjahat banget, ya?"

Hamdalah.

Lagi waras berarti orang di seberang sana berbicara. Gue mengulum senyum akhirnya. "Oke, nanti kalau Tante Auri datang Arin bicara konsepnya seperti tadi."

"Asal di Bandung resepsinya pakai warna hitam."

"APA?"

"Lho, iya. Abang sudah mengikuti mau Arin pakai serba pink semua. Nah gantian. Di bandung pakai warna hitam. Kan, elegan."

"NO!!!"

"Kenapa?" tanyanya tanpa gue dengar banget sambil terkekeh gitu. Dia meledek gue rupanya? Astaga! Memang Hulk ini enggak bisa dikasih longgar sedikit tentang pendapat. Seenaknya terus. Kan, gue bertanya tadinya. Kalau dia enggak setuju pun enggak masalah. Bukan malah bikin gue melotot gini!

"Ya kali nikahan hitam semua gitu, Bang?! Ini acara nikahan atau pemakaman?!" pekik gue dengan histeris. Dalam bayang gue, kebaya dan seluruh dekorasi itu jadi menyeramkan. Enggak. Enggak. Gue enggak mau!

Di sana, dia sukses tergelak!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro