Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[22]


Paginya gue yang belanja dan sukses mendapat banyak tanya dari ibu-ibu seputar rumah. soalnya gue paling jarang ke warung. Sesekali gue timpali tapi lebih sering gue menjawab dengan sindiran. Habis terkadang pertanyaannya bikin gue gerah. Paling menyebalkan seputar; "Arin, jangan kelamaan bertunangan. Nanti disangka jagain jodoh orang."

Ya Allah. Jarak hari di mana gue bertunangan dan melangsungkan pernikahan nanti cuma tiga bulan! Dari mana perkara menjaga jodoh orang kalau begitu? Memangnya pertunangan gue sampai memakan waktu puluhan bulan?

"Tenang, Bu Ajeng. Arin bulan Oktober menikah, kok. Enggak sampai dua bulan, kan, ya? Lagian pacar Arin maunya malah cepat-cepat. Sayang aja Arin masih banyak urusan di kantor. Enggak kayak Nella, kan, ya? Masa pacaran sampai bertahun-tahun ditinggal nikah sama pacarnya."

Bungkam semua yang ada di warung. Gue? Melenggang pergi. Paling nanti kena selepet Ibu karena bicara ngawur. Menanggapi Bu Ajeng yang memang terkenal usil dan bicaranya sering asal. Ge panas, lah! baru juga keluar rumah sekali cuma demi tiga kantung udang. Ibu sejak pagi sudah mempersiapkan yang lainnya sementara gue bertugas membeli udang yang masih segar ini.

Kalau saja bukan karena Mae, gue malas banget ke warung sayur ini!

Begitu sampai rumah, gue sudah mempersiapkan hati lebih luas.

"Arin, kamu bicara apa tadi di warung."

The power of status ibu-ibu PKK. Ya Allah!

"Enggak bicara apa-apa, kok. Bu. Arin bicara fakta, kan?"

"Tapi jangan menyinggung gitu." Ibu mendesah heran. Gue bisa melihat hal itu. enggak mau kalah, gue menghampiri Ibu dan berkata.

"Arin enggak mau lagi ke warung. Julid semua. Ibu jangan ikutan jadi ibu-ibu julid, lah! mending ngapain, kek, di rumah."

Ibu malah tanggapi gue dengan tertawa! Nyebelin, kan?

"Bantu Ibu kupas bawang, Rin."

Ya Allah. Bawang dan gue itu adalah musuh bebuyutan! Enggak pernah akur barang sebentar. Pasti gue menangis kalau bantu Ibu mengupas bawang. Kapan, sih, mereka enggak bikin tersiksa kaum rebahan kayak gue ini? Yang maunya tinggal makan tanpa mau repot? Tapi kalau gue bicara seperti ini pada Ibu, yakin lah, talenan yang dipergunakan Ibu untuk mengiris cabai merah besar akan melayang menuju gue dengan telak. Tanpa peduli kepala gue bakalan benjol atau apa.

"Jangan manyun gitu. Dibiasakan dari sekarang masak menu yang simple-simple. Udang balado, kan, simple. Malas ulek cabainya tinggal masukin blender. Tapi Ibu selalu suka kalau diulek, sih."

Mendadak gue bersikap waspada. Jangan bilang gue yang disuruh menggiling cabai dan aneka temannya di wahad batu itu!

"Cepat kupas bawangnya bukan malah bengong. Atau mau kupas udangnya? Cuci sampai bersih Ibu siapkan yang lainnya."

Duh, Mae! Ini namanya lo nyiksa gue perlahan! Yang ngidam siapa, yang kena repot siapa! Sial banget si Mae!!!

Beruntung siksaan gue enggak semenakutkan untuk menggiling cabai secara manual. Ibu tetap menggunakan blender kesayangannya menghaluskan cabai. Praktisnya yang ia ambil. Kata Ibu, beliat mau ada urusan lainnya di posyandu. Terserah lah. yang penting sebentar lagi udang baladonya jadi. Gue tinggal antar sekalian main seharian di sana.

Gue lupa ... kalau Hekky benar-benar merealisasiakn pesannya hari ini. saat gue disuruh membuka gerbang karena ada yang mengucap salam berulang-ulang, gue pikir tamu Ayah. ternyata ...

Hekky dan seorang pria paruh baya yang gue yakini, seorang Tanaya Ruly.

"Ehm ... ini ada apa, ya?" Gue bertanya dengan penuh bingung dan masih enggak menyangka. Walau untuk pertama kalinya melihat pria yang sepantaran dengan Ayah tapi sejak tau namanya sudah gue benci, gue masih harus tetap mempertahankan sopan santun, kan?

"Om mau bertemu ayah kamu. Ada?"

Bolak balik gue menatap pria itu juga Hekky. Enggak ada yang bisa mengelak kalau mereka berdua sangat mirip. Bedanya, Hekky lebih kurus dan tinggi sementara Pak Ruly enggak. "Masuk dulu. Arin panggilkan."

Begitu gue memastikan mereka duduk dengan nyaman, segera gue masuk menemui Ibu.

"Siapa?" tanya Ibu sembari menempatkan udang balado yang sudah matang itu dalam wadah. Setelah dingin baru nanti gue antarkan.

"Ehm ... Mas Hekky."

Kening Ibu berkerut sedikit dan bibirnya berdecak kesal. "Mau apa lagi?"

"Sama ayahnya."

Suara sutil jatuh menghantam lantai dapur menandakan kalau Ibu demikian terkejut. Enggak menyalahi Ibu, sih. Gue sendiri pun kaget banget. Sama sekali enggak berpikir pesan yang Hekky kirim dibuat kenyataan siang ini juga.

"Mau ngapain dia?!" Suara Ibu enggak ada ramah-ramahnya sama sekali. Kemarahan jelas tercipta di raut wajahnya yang biasanya tenang. Gue enggak tau harus menanggapi bagaimana situasi yang mendadak enggak enak begini.

"Panggil Ayah di pos. Biasanya gini hari Ayah main catur sama Pak RT. Sekalian sama RT-nya. Ibu mau goreng orang!"

Gue langsung melesat pergi lewat pintu belakang. Ibu kalau sudah bicara enggak pakai permisi dan sungkan. Main terabas saja. sementara di hati, gue benar-benar membaca dzikir, ayat kursi, atau apa lah yang gue ingat. Gue enggak mau sampai ada tragedi aneh di rumah. Bukan apa. Baru tadi gue menyindir seseorang, masa iya, sekarang keluarga gue yang jadi bahan omongan?

Lagian ngapain, sih, Hekky dan ayahnya ke rumah segala?

"Yah," Gue narik napas dulu. Gila. Gue enggak pakai rem berlari menuju pos yang Ibu maksud. Di sana memang ada Ayah dan Pak Roni yang duduk santai sembari main catur. Kebiasan Ayah kalau sedang tak ada proyek pasti nongkrong di sini sembari sesekali mengurus administrasi lingkungan rumah. Ayah dan ibu tergolong aktif di lingkungan yang kebanyakan julid ini. Yah ... mau bagaimana pun lingkungan tempat kita berpijak, tetap saja, kami harus menyesuaikan dengan keadaan. Dan karena kami termasuk warga lama, Ayah dan Ibu merasa punya kewajiban sosial untuk membantu di lingkungan sekitar.

Ayah selalu menekankan, saudara paling dekat dengan kita adalah tetangga. Mau bagaimana tetangga kita di sekitra rumah, akan tetapa menjadi saudara paling terdekat ketika kita membutuhkan bantuan. Enggak mungkin, kan, kalau saat meninggal, si mayit disuruh jalan sendiri ke pemakaman tanpa ada yang menggotong dan menyolatkan? Itu analogi menyeramkannya.

"Ayah dipanggil Ibu." Gue selesaikan ucapan gue setelah meraup kasar udara biar enggak terlalu megap-megap.

"Ada apa?" tanya Ayah dengan pandangan penasaran.

"Ada tamu cari Ayah tapi Ayah disuruh temui Ibu dulu."

Kening Ayah makin berkerut. "Apa, sih? Kamu bicara yang jelas bisa, kan?"

"Sama Pak RT juga."

"HAH?" Kedua orang yang duduk santai ini melongo dengan kata-kata gue barusan.

"Arin tenang dulu, deh. Ada apa, Nak?" Pak Roni bicara dengan penuh wibawa dan terkesan sabar. Gue yang makin gregetan.

"Nanti Ibu keburu ngegoreng tamunya."

"HAH?!"

****

Gue menelan ludah berkali-kali. Bolak bali memperhatikan interaksi lima orang di ruang tamu ini. Ayah, Ibu, Pak Roni, Pak Ruly, juga Hekky.

"Sudah jelas, kan, yang saya utarakan?" kata Ayah dengan dinginnya. Gue jarang mendengar Ayah marah. kalau pun gue berbuat salah, Ayah selalu menegur gue baik-baik. Enggak pernah sampia mengeluarkan aura yang bikin sesak napas begini.

Saat gue lirik, Ibu pun enggak berusaha meredakan amarah Ayah. malah Ibu benar-benar enggak menyembunyikan wajah marah serta enggannya secara bersamaan. terutama pada pria yang tampak murung itu.

"Saya tau, perbuatan saya di masa lalu sangatnya besar dan enggak gampang dilupakan. Hanya saja...,"

"Lagian Arin sudah bertunangan dan sebentar lagi melangsungkan pernikahan. Kami bukan orng bodoh yang bisa langsung membatalkan acara itu hanya demi memuluskan hubungan mereka ini." Ibu langsung menyela. "Saya yang enggak memberi restu sama sekali."

"Maafkan saya, Bu Shopie."

Ibu melengos.

"Niat saya ke sini selain untuk meminta maaf yang teramat dalam dan penuh sesal, juga ingin benar-benar bicara kalau Hekky ini serius dengan Arin. Tapi kalau Arin sendiri sudah merencanakan hal lain dengan pria lain, saya enggak bisa berbuat banyak."

Gue bisa melihat berapa gurat sedih tercetak di sudut mata seorang Tanaya Ruly.

"Saya minta maaf, Ridho. Saya minta maaf," lirihnya lagi. kali ini pelan sekali dan sepertinya bahu pria paruh baya itu bergetak. Gue memperhatikan Ibu dan Ayah yang masih geming melihat itu. Apa kemarahan mereka berdua demikian mengakar, ya?

Tapi kalau gue jadi Ibu, gue enggak mudah memaafkan orang yang sudah membuat ayah dan anaknya terpisah serta merangkak sekali untuk menjalani kehidupan yang enggak mudah. Karena label jahat sudah keburu tersemat pada kening kami ini. Enggak gampang untuk kami bersosialisasi tadinya. Mematahkan anggapan kalau kami ini difitnah bukan perkara mudah.

Ayah dan Ibu hanya manusia biasa. yang memiliki kadar emosi dan sabar yang berbatas. Bukannya sok suci atau apa, tapi terlihat sekali kalau mereka ini seolah seperti menghukum Pak Ruly dengan kebungkaman mereka.

"Hekky, sudah jelas kan duduk perkaranya. Papa sudah mencoba. Untuk meminta Arin baik-baik dan ternyata Arin memang sudah dimiliki orang lain. Tinggal menunggu waktu untuk pesta itu terselenggara saja." Pak Ruly menatap Hekky dengan sendu. Ada sisa air mata di sana. "Dan Papa rasa, kesalahan Papa ini demikian membekas tak bisa dimaafkan begitu saja."

"Bukan enggak dimaafkan, tapi sulit melupakan kalau saya boleh mempertegas." Ini kata-kata Ayah sama sekali enggak turun dinginnya.

"Bapak Ruly dan sekeluarga, enggak pernah merasakan seperti apa kami di masa lalu. Kami terseok, merangkak, demi hidup dan kembali berdiri. Anda?" Juga suara Ibu.

Sumpah. Di sini gue doang yang merasa kayak orang dijepit banyak tembok besar. Atau Hekky merasakan hal yang sama, ya? Sejak duduk tadi, ia enggak ada bicara sama sekali.

"Saya tau, Bu Sophie. Saya tau."

"Suami saya salah apa dengan Anda hingga tega dibuat seperti itu? Salah apa?!" Ibu sepertinya memang menunggu saat yang tepat untuk bicara seperti ini. "Dan sekarang? Enak sekali Anda berucap menginginkan anak saya sebagai menantu? Enggak akan saya biarkan, Pak."

"Belasan tahun saya bertanya, apa salah kita terhadap keluarga Tanaya? Mungkin Allah sedang bercanda dengan membuat hati anak-anak kita tersatu karena saling cinta. Tapi ketahui lah, Pak Ruly, yang paling menderita karena perbuatan Bapak adalah Arin. Orang yang ternyata di masa depan dicintai oleh putra Bapak."

"Karma itu berlaku. Dan rasanya sakit sekali. Saya tau, putri saya merasakan sakit karena terhalang restu tapi ketimbang dirinya hidup dengan berkisaran pada masa lalu yang sukar kami hilangkan. Lebih baik mulai sekarang enggak ada lagi hubungan asmara di antara mereka. Hekky cukup paham kalau merebas pagar yang sudah dibangun di sekitar Arin. Iya, kan, Hekky?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro