Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[20]


Sampai di rumah, gue langsung masuk kamar. Sedikit mengabaikan panggilan Ibu yang menyuruh gue makan. Bahkan tawaran udang balado buatannnya enggak mampu bikin hati gue lebih baik. Gue butuh menangis dalam selimut.

Sungguh. Bicara dengan Hekky tadi menguras banget air mata. Beruntung banget gue belum memutuskan mengendarai motor sendiri. Gue memilih pesan ojek online ketimbang enggak konsentrasi dan membuat banyak orang khawatir lagi. Cukup rasanya luka di kaki gue serta di siku yang tinggal sedikit lagi sembuh.

Walau begitu sampai rumah, gue mendapat pandangan tanya dari Ibu, gue beralasan, "Arin tadi agak capek, Bu. Laporannya banyak."

Beruntung Ibu enggak mengejar gue dengan banyak pertanyaan lagi selain ngajak makan tentu saja. saat selesai mandi, sekali lagi gue tengok wajah yang agak bengkak di bagian mata. Iya lah. sepanjang jalan gue nangis.

Memang, gue enggak bisa melupakan bagaimana sakit hatinya Ibu dan Ayah akan kejadian silam. Gue juga enggak mau memaksakan diri untuk menjalin hubungan lagi dengan Hekky. Gue merasa, percuma. Sepertinya Ibu memang memiliki dendam tersendiri. Mungkin sakit hatinya ini enggak bisa dilunturkan begitu saja.

Dan kalau gue lanjutkan, semisal sampai jenjang yang lebih tinggi; menikah. Gue enggak tau akan jadi apa rumah tangga kami. Di satu sisi ada Ibu yang enggak menyukai Hekky dan keluarganya. Gue pun bakalan menghadapi tekanan yang berbeda juga. Ya, kan? Menikah itu bukan sebatas menyatukan dua insan yang jatuh cinta dalam ikatan sakral. Menurut gue enggak gitu.

Gue enggak mau banyak drama mengenai keluarga yang dari rumah gue sendiri sudah membawa rasa sakit hati. Enggak. Biarpun rasanya enggak enak banget, karena masih sayang sama Hekky walau enggak sebanyak sebelumnya. Kayak ... kisah cinta gue benar-benar tragis gitu.

Iya. Gue nangis karena hal itu, sih.

"Rin, ayo makan." Ibu mengetuk pintu kamar dan buru-buru gue hapus jejak air mata. Menepuk pelan pipi gue biar terlihat lebih segar walau rasanya enggak mungkin. Tetap saja muka gue terlihat mengenaskan.

"Rin," oanggil Ibu dengan suara enggak sabaran.

"Iya sebentar lagi. Arin lagi sisiran," kilah gue tak kalah cepat. Setelah memastikan wajah dan mata gue enggak terlalu kentara habis menangis, gue beranikan diri keluar kamar. Gue bisa pastikan ekor mata Ibu menatap gue lebih dalam dari biasanya.

"Kamu ... kenapa?" tanya Ibu pelan. Kami sudah duduk di meja makan. Semingguan ini Ayah keluar kota. Mengurus proyek kayu yang sedang ia tangani.

"Tadi Arin bertemu Hekky, Bu."

Ibu seperti menunggu gue untuk bicara lebih lanjut.

"Dan, yah ... Arin sudah buat keputusan." Gue mendongak dan menatap Ibu penuh lekat. "Arin enggak bisa melanjutkan hubungan dengan Hekky dan memilih menuruti mau Ibu. dengan kesadaran penuh."

Senyum Ibu kentara sekali ada sendu di sana. Gue enggak pernah persiapkan kalau Ibu malah ... menangis. Sesegukan. "Bu, Ibu kenapa?" Terang gue panik! Ibu enggak pernah seperti ini sebelumnya. Pernah, cuma sudah lama banget berlalu.

"Ibu merasa ... Ibu merasa jadi orang tua yang tega sekali memisahkan kalian. Padahal Ibu tau, Hekky anak yang baik. Ibu enggak meragukan hal itu sebenarnya. Hanya saja ... hanya saja ...,"

"Bu, enggak apa. Arin enggak masalah. Arin juga benci sama orang yang menjadi dalang kesulitan kita dulu. Arin benci orang yang sudah fitnah Ayah. Ayah berjuang sendirian membersihkan namanya. Dia? Enggak ada sedikit pun penyesalan, kan, Bu?"

Ibu mengangguk samar. Sesekali tangannya mengusap air mata yang jatuh. Gue benar-benar merasa banyak sekali perasaan aneh yang menghantam dada. Sesak tapi bingung juga cara mengeluarkannya kecuali tadi, menangis. Mungkin Ibu juga merasa demikian, ya? Entah lah.

"Kalau nantinya kita bersama, apa enggak bikin rumah tangga yang seharusnya bisa damai malah enggak damai terus. Iya, kan, Bu?" Ini bukan sekadar pertanyaan buat gue, sih. lebih mengarah gue ini mencari semacam pembenaran diri walau gue ragu.

"Makasih kalau Arin mau mengerti hal ini."

Gue mengangguk pelan dan kembali memeluk Ibu. "Pokoknya, Arin mau nurut sama Ibu. Buat Arin, selama menurut sama Ibu itu enggak melanggar apa-apa, Arin pasti bisa."

Ibu menatap gue dengan lekatnya. Gue merasakan bagaimana tangan itu mengusap pipi gue demikian lembut. "Makasih, ya, Nak."

Nah ... Ibu paling bisa bikin gue sukses nangis lagi.

***

Gue balik ke kamar sekitar jam sembilan malam. Itu pun setelah gue melihat Ibu beberapa kali menguap. Pasti beliau capek. Biasanya ditemani Ayah tapi Ibu bilang tiga hari lagi beliau pulang. Gue sudah berpesan bawa banyak oleh-oleh tapi Ayah bilang mau kasih gue uangnya aja. Secara dia paling enggak tau selera gue apa selain gue yang hobinya belanja.

Saat itu juga gue ingat ponsel. Dan begitu gue ambil dari dalam tas, sudah puluhan telepon dan pesan masuk dari Hulk. Gue nyengir mendadak. Pasti pria besar nan tegap itu marah-marah di sana. Entah kenapa gue malah senyum-senyum membayangkan wajahnya yang kaku karena gue enggak memberitahu dia kalau sudah sampai rumah dengan aman dan selamat.

Jemari gue tergerak untuk segera meneleponnya, ah ... panggilan video saja. tiga puluh menit gue rasa cukup. Gue juga sudah ngantuk dan gue juga yakin di sana dia pun sudah waktunya isirahat.

"Hai, Abang."

"Enggak bisa ngucap salam dulu?"

Mukanya enggak ada ramahnya sama sekali tapi bikin gue mau ngakak. Sumpah. Gue juga enggak ngerti dorongan dari mana yang pengin banget meledek dia sampai benar-benar kesal.

"Bisa, kok. Arin ulang, ya. Assalamu'alaikum, Abang."

Hidungnya melebar kayak mau menyeruduk tanpa ampun. Suara dengkusannya terdengar banget, kentara sekali Hulk ini lagi nahan marah. "Wa'alaikum salam."

"Kenapa sama muka Abang? Enggak enak banget dilihat? Arin ganggu, ya?"

"Enggak merasa punya salah?"

Setengah mati gue tahan ketawa biar enggak menyembur ke luar. "Salah Arin apa?"

Dia berdecak keras. Dan serentetan tanya yang tanpa jeda serta diulang berkali-kali gue terima. Repson gue? ngakak.

"Aduh ... Abang kayak kereta api yang gerbongnya panjang banget. Enggak putus-putus tanyanya. Satu-satu. Arin bingung," kata gue di antara tawa yang masih setia di bibir.

"Kenapa enggak langsung kabari Abang begitu sampai rumah?" tanyanya penuh tuntut. Wajahnya langsung sangar lagi walau enggak seperti awal angkat telepon dari gue.

"Ehm ... diajak ngobrol sama Ibu."

"Benar?"

Gue mengangguk.

"Enggak kelayapan ketemu orang lain dulu?"

Gue menggeleng walau geraknya enggak seyakin anggukan tadi.

"Lain kali, kabari. Cuma butuh kabar kamu aja, Rin. Abang di sini cemas kamunya malah kayak orang lupa sama Abang."

"Ih ... Abang cerewetnya nambah, ya? Arin pikir Abang orangnya kaku dan dingin gitu."

Senyumnya malah dia munculkan. Kecil gitu tapi bikin gue enggak mau kalau senyum itu segera lenyap dari wajahnya.

"Ada saatnya Abang harus kaku dan enggak."

"Sekarang sudah dapat kabar Arin, kan?"

"Ya sudah. Kamu tidur sana. abang masih mau melakukan sesuatu."

Kening gue berkerut. Gue naik ke ranjang dan menyalakan pendingin ruangan. Menyibak selimut dan bersiap tidur tapi cukup penasaran dengan kegiatan apa yang mau dilakukan sudah malam begini?

"Ngerjain kerjaan?" terka gue. Jawabannya hanya gelengan serta kekehan.

"Bukan."

"Terus?"

"Atur strategi permainan."

Makin jadi lah penasarana gue. "Maksudnya?"

"Iya, Abang lagi atur base dan strategi untuk main game nanti jam sebelas malam sama tim."

"Game? Abang suka main game?"

Dia mengangguk yakin dan menunjukkan layar laptopnya yang luar biasa warna warni. Bukan karena hiasan atau apa, tapi keyboard serta perlengkapannya memang seperti itu.

"Kamu suka main game?"

Gue menggeleng. "Eh tapi sahabat Arin di kantor, hobi banget main game. Sampai-sampai tablet dan laptopnya aja khusus buat main game."

"Cowok?" Ada nada enggak suka yang kentara sekali Hulk lontarkan. Buru-buru gue menggeleng.

"Cewek."

"Wow," ucapnya penuh takjub.

"Wow?"

"Iya. Wow aja kalau cewek hobi main games. Oiya, di tim Abang juga ada ceweknya, sih. Jangan cemburu, ya. Abang hanya anggap pertemanan kami di games ini, ya ... teman biasa."

Kok ... hati gue enggak terima dia bilang begitu, ya? Seketika gue ingat cerita Mae tentang Adam. Yang katanya menganggap sahabat tapi ternyata malah menyakitkan hati Mae begitu saja. Untung belum terlalu jauh perasaan Mae.

Masa iya gue harus mengalami nasib seperti Mae juga? Sudah pertunangan karena orang tua, terus pihak pria enggak bisa move on dari sahabatnya? Enggak ada yang lebih buruk dari ini, kah? Ah, apa gue harus mempertanyakan hal ini juga, ya?

Tapi ... gue sama Hulk belum ada rasa sampai seharusnya gue punya perasaan cemburu. Ya, kan?


***

Khusus hari ini aku triple up untuk Arin.

Gantiin karena beberapa hari belakangan aku enggak up. 

tapi komentarnya yaaaa jangan lupaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro