[2]
Enggak ada kata yang pas mewakili keadaan gue sekarang kecuali triple apes. Kenapa?
Satu, gue gagal kabur.
Dua, bokong gue sakit bangat karena dua kali jatuh terduduk. Duh... apa sebaiknya gue rontgen, ya? takut ada yang retak, kan, bahaya. Gue bisa lumpuh, lho. Tapi amit-amit banget!
Tiga, si Tembok Cina adalah pria yang mau dijodohkan sama gue. Yang menurut Ayah juga Ibu, kami sudah ada chemistry sendiri. Dari mana coba?!
Gue duduk di ruang tamu tanpa bisa berkutik sama sekali. Sementara tuh cowok? Diam kayak patung. Ditawari ini dan itu sama Ibu, cuma senyum. Mending manis. Kaku banget!!! Gue rasa dia enggak pernah senyum atau tertawa lepas.
Dari yang gue perhatikan, dia ini kayaknya orang paling kaku sedunia. Namanya siapa, ya, tadi... gue ingat-ingat dulu.
"Rasyid hari ini nginap?"
Ah, itu namanya. Rasyid Tembok Cina.
"Enggak, Om. Hari ini langsung berangkat ke Bandung. Seminarnya enggak bisa ditunda."
Ayah manggut-manggut seolah mengerti kesibukan pria kaku tadi.
"Nah, kalian ngobrol dulu sana. Masa sejak tadi Arin diam aja, sih. Enggak mau tau tentang calon suaminya?"
Ya Allah, Ibu kenapa bicaranya kayak orang genit gitu, sih?! Dari mana dia belajar coba? Argh! Gue harus larang dia yang sering ngumpul sama ibu-ibu tetangga. Lama-lama mungkin Ibu ini terkena dampak BiGos—Biang Gosip, di area rumah. Apa karena sekarang Ibu aktif ikut PKK dan arisan RW, ya?
"Rin, ajak Rasyid ngobrol di depan, Nak. Sebentar lagi dia mau pulang, lho."
Gue mau berdecak tapi masih sayang nyawa. Jadi lah gue hela napas panjang aja. Muka gue sudah enggak tau bentuknya gimana. Ya jelas, pasti judes bin ketus banget. Masa bodo lah!
"Ayo," ajak gue pada akhirnya. Enggak peduli juga, sih, kalau nanti dia ikuti gue ke depan atau enggak. Toh gue memang butuh udara segar.
Biarpun cuma bayangnya aja yang bisa gue lihat dari sisi samping, gue tau ternyata dia ngikutin gue. berasa banget dikawal sama bodyguard yang kekar-kekar itu, lho. Sumpah. Body gue kecil, tinggi cuma 150cm berat 45kilo. Dibanding dia yang menjulang kayak menara Paris gini. Duh... sekali gue ditenteng kerah bajunya juga bisa kali.
Ini gimana coba kalau gue benar-benar nikah sama Tembok Cina? Sudah badannya besar banget gini, kekar pula, nyeremin juga. Enggak ada yang lebih buruk dari ini? Rasanya mau nangis tapi mana sanggup. Ibu... kasihan lah anakmu ini, Bu!
"Saya enggak bisa lama-lama di sini."
Baru juga duduk, belum ngobrol apa-apa. Tapi bagus lah. Gue juga malas berkenalan jauh-jauh. Buat apaan.
"Kamu Arintania Maharani, kan?"
Gue jawab dengan anggukan aja.
"Kalau punya mulut itu digunakan yang baik dan benar. Bukan sekadar ngasih julukan buruk ke saya."
Mata gue langsung mendelik kesal ke arahnya. Dia? Lempeng aja kayak tembok! Sialan! Belum apa-apa sudah ngibarin bendera perang.
"Lo tau nama gue, kenapa mesti tanya?" Jangan tanya berapa ketusnya gue bersuara. Biar aja. biar dia kesal dan memperhitungkan lagi untuk bertunangan atau menikah sama gue yang enggak punya sopan ini.
"Sekadar memastikan kalau saya menuju rumah yang benar. Saya takut ada yang mengakui diri sebagai Arintania Maharani. Bisa saja, kan?"
Gue berdecih. Pede gila! Di sini, yang punya nama Arintania itu cuma gue. Bahkan paket scaft pesanan online gue yang nyasar ke rumah Bu RT saking gue salah pasang nomor rumah di pesanan saja, sampai dengan selamat karena dia tau, nama gue terkenal di sini.
Cewek mungil nan judes.
Julukan buat gue di lingkungan rumah.
"Saya Rasyid Ananta."
Gue mau menyahut enggak nanya tapi nanti malah adu bacot. Malas lah. Jadi gue ngangguk lagi kayak mainan di dashboard mobil, yang angguk-angguk itu.
"Kamu harus ingat-ingat nama saya."
"Buat apaan? Enggak penting," kata gue pelan. tapi ternyata dia dendar dan direspon dengan kekehan. Kesal, kan?
"Penting. Memastikan nama saya di buku nikah kamu sesuai dengan perkenalan pertama."
Sialan!!!
Ya Allah! Enggak ada musibah yang lebih nyeremin dari pada ini, kah? Ya Allah hamba enggak sanggup nikah sama orang sekekar ini!!! Belum-belum sudah babak belur duluan!!! Sayangi nyawa hambu-Mu ini, ya Allah.
"Saya pamit dulu. Ada seminar yang harus saya hadiri." Dia mengulurkan tangan ke gue! bikin kening gue berkerut mendadak. Saat gue mendongak, dia melihat gue dengan pandangan biasa saja. Enggak ada ekspresinya. Kan... ngeselin banget!
"Mau apa lo? Pergi tinggal pergi aja."
"Salim."
"Hah?"
"Ngerti bahasa salim, kan?"
Woi! Gue juga ngerti bahasa salim. Tapi maksudnya apa coba ngasih tangan ke gue? Gila kali dia!
"Belajar salim sama saya. Kamu calon istri saya, biar tau sopan santun sama suami."
"Eh... Tembok Cina. Baru tunangan belum sah jadi suami istri. Masih haram bersentuhan!"
"Alhamdulillah, saya diakui tunangannya juga."
HAH?
"Nah berhubung sudah diakui, sekarang dipakai cincinnya. Jadi biar orang lain tau, kamu milik saya."
"Gila aja!!!"
"Enggak gila. Saya masih waras untuk berdebat sama kamu sepanjang hidup. Mana tangan kamu?"
Refleks, gue tarik dan sembunyikan tangan gue di belakang punggung. Mata gue nyalang menantang matanya yang hitam itu.
"Oh, oke. Kalau belum mau dipakai, enggak masalah. Minggu depan orang tua saya ke sini, melamar secara resmi. Pilihannya ada sama kamu. Mau dipakaikan ibu saya atau saya? Terserah."
Gue menggeram kesal. Kesalnya enggak bisa dibendung lagi. perpaduan jengkel, kesal, sebal, marah, dan rasanya mau nyakar wajah yang barusan bicara tanpa ekspresi itu.
"Kalau ngelamar anak gadis orang yang benar dong! Mana ada ngelamar maksa gini? Di depan rumah pula? Pakai debat pula? Yang romantis dong!"
Dia malah tertawa. Tawanya kecil gitu kayak suara tikus kejepit! Gue rasa dia enggak pernah tau arti tertawa lepas tuh gimana! Argh!!!
"Oke."
Gue enggak pernah mempersiapkan diri kalau dirinya taua-tau berlutut di depan gue! ini posisi gue lagi duduk aja masih ketutupan sama badannya dia yang gede itu. Gue memang enggak mesti mendongak seperti tadi, sih, cuma tetap saja.
"Nikah sama saya, Rin. Saya jamin hidup kamu bahagia."
****
Mae ngakak, sampai keluar air mata. Mengundang beberapa staff lainnya ke arah meja gue. Soalnya enggak biasanya Mae heboh begini. Gue? Manyun. Sialan sahabat gue ini!
Tapi kayaknya karma its a real, deh. Gue masih ingat pas ngetawain dia dijodohin sama Adam. Biarpun gue menasihati dia untuk nerima dulu. Abis gimana lagi. Mae ini perpaduan polos dan agak-agak oon juga dalam hubungan asmara. Terlalu tertutup dan enggak mau mencoba membuka diri, sih.
Makanya bingung juga pas dia dilamar sama Satria. Secara Satria ini kayak buku berjalan yang terbuka lebar. Kelihatan banget kalau dia lagi marah lah, lagi happy lah, atau lagi enggak suka sama sesuatu.
"Puas lo?" cibir gue dengan lirikan sinis. Ketimbang meladeni Mae yang masih tertawa, gue lebih baik kerja. Di depan gue masih tertera sheet laporan keuangan kemarin. Harus gue input karena uang cash di gue menipis. Mau minta reimbust lagi ke Bu Ira biar kalau ada supir minta uang bensin, enggak perlu tunggu lama.
"Aduh... ini serius, Rin?" tanya Mae sembari menyeka sudut air matanya.
Gue milih enggak jawab pertanyaan Mae. Ya kalau enggak serius gue enggak mungkin pakai cincin dari Tembok Cina kali! Tadinya mau gue tinggal di kamar, tapi ketahuan sama Ibu. Ibu cuap-cuap pagi ini di sela sarapan pagi gue yang biasanya damai.
Kata Ibu, gue enggak menghargai orang lain. Ck! Serius, kayaknya gue mesti ngomong sama Ibu biar enggak terlalu tenggelam dalam pergaulan sama ibu-ibu lingkungan rumah. Biar enggak lebay dan berlebihan gitu.
"Lo bilang badannya gede? Kayak tentara gitu?"
Mae kalau bertanya mirip kayak orang polos yang enggak ngerti apa-apa, ya? tapi ada benarnya juga, sih. Apa si Tembok Cina ini kerjaannya tentara, ya? gue enggak tanya juga, sih. Malas banget. Nanti dipikirnya gue mulai peduli dan nyari informasi.
"Yah, gitu lah. kayak Hulk."
Mae tergelak lagi. "Enggak ada analogi yang lebih keren dari Hulk? Aslinya Hulk ganteng, lho. Apa jangan-jangan Hulk lo ganteng juga?"
"Gue manggil dia Tembok Cina, Mae. Saking dadanya keras banget bikin gue jengkang ke aspal."
Fix lah. Gue kena karma sama Mae. Dia tertawa enggak habis-habis hingga Sapto menghampiri meja kami.
"Kalian enggak lagi kesurupan, kan?
Saat gue menoleh dan melihat kekhawatiran di mata Sapto, gue tau dia enggak main-main bertanya. "Enggak, kok. Mae lagi menertawakan nasib gue yang ngenes, Sap."
"Eh? Lo kenapa?"
"Enggak apa," kata gue sembari menghela napas pelan. Tawa mae mulai berkurang tapi tetap saja saat melihat ke arah gue, dia masih cekikikan. Rasanya mau gue selotip bibirnya tapi takut dipecat sama Satria.
Masih butuh duit gaji dan bonus yang lagi direka-reka Bu Ira, kata beliau, agak besar untuk tahun ini. Sayang kalau gue sampai dipecat enggak hormat dan enggak dapat pesangon atau bonus karena menempeli Nyonya Bos dengan selotip.
"Oh, oke lah. gue pikir kalian kenapa. enggak biasanya si Mae heboh gini."
Mae yang menjadi pembicaraan langsung menghentikan tawanya. "Abis Arin lucu banget, sih, Sap."
Langsung gue hadiahkan pelototan agar Mae enggak sembarangan bicara. Beruntung, Mae ini memang enggak hobi terlalu banyak omong dengan orang lain kecuali yang benar-benar dekat dengannya. Hamdalah.
Lalu Sapto kembali ke mejanya sementara Mae pun demikian. Itu juga setelah membuat gue mencibir karena kata-katanya. "Coba dijalani dulu. Siapa tau cocok."
Sial banget punya teman kayak Mae.
Belum habis kesal yang melandaku, ponselku bergetar.
(0856*****27)
Disave nomor saya. Calon suami kamu.
****
Apa banget si Hulk. Hahhahahha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro