Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[17]


"Rin, lo benar-benar sudah sembuh?"

Gue terlonjak kaget. Sumpah, kaget banget. Soalnya gue lagi memikirkan mengenai ucapan orang tuaku minggu sore kemarin. Dan sekarang, lamun gue buyar karena Mae tiba-tiba datang ke kubikel gue. Enggak ada yang salah memang, gue saja yang bengong karena ini.

Pada akhirnya gue memahami dengan amat, kenapa Ibu benci dengan Hekky. Bukan Hekky yang salah, sih. orang tuanya. Karena mereka, Ayah sampai harus merasakan dinginnya tembok penjara tiga bulan, lho, Ayah di sana. Ibu setiap malam menangis karena segala tuduhan itu bikin kami enggak berkutik sama sekali

"Ah, sudah jauh lebih baik, sih."

Mae menatap gue dengan kebingungan gitu. "Lo ... enggak apa-apa, Rin?"

Gue enggak tau, apa hormon ibu hamil memang membuat kadar peka seseorang bertambah atau bagaimana, gue merasa Mae lebih perhatian aja. Seperti sekarang.

"Gue butuh cerita aslinya," keluh gue dengan suara pelan. Sudah terlalu penuh rasanya otak gue. Enggak cukup lagi untuk menyimpan terlalu lama dan terlalu banyak. Takut overload juga.

Mae mengusap bahu gue pelan. seolah memberitahu kalau gue enggak sendirian. Masih ada dirinya yang selalu setia menemani gue.

"Oke. Makan siang lo curhat, ya."

Gue mengangguk saja. Mata gue mengikuti sosoknya yang kembali ke meja kerjanya. Astaga. gue lupa kalau ada di kantor. Biarpun Bu Ira enggak kasih gue banyak kerjaan, tapi bukan berarti gue boleh santa-santai aja, kan? Gue enggak mau kena amuk Pak Bos. Biarpun sekarang sudah jinak bukan berarti kejinakannya itu dimanfaatkan. Dia masih bisa marah segarang singa jantan, kok.

"Bu Ira, ada lagi yang bisa Arin kerjakan?" tanya gue setelah memastikan laporan yang tadi gue kerjakan beres semua. Satu bindel gue lahap seperti orang kesetanan. Ketimbang otak gue isi dengan pemikiran mengenai orang tua gue dan Hekky, gue gunakan untuk bekerja saja. lebih baik dan ternyata bisa menghalau sejenak.

"Ada. Arin memang sudah benar-benar sembuh?"

Gue terkekeh. "Yang sakit kaki Arin, Bu. Tangan dan kepala alhamdulillah masih waras."

Gantian Bu Ira yang tergelak karena ucapan gue barusan. "Enggak ada, sih. Cuma petty cash aja minta tolong salin di buku besar. Biar punya copyannya. Ibu enggak sempat."

Gue mengangguk saja dan segera menyambar dua buku besar yang biasa gue kerjakan. Di dalamnya pasti banyak nota serta bon-bon parkir dan akomodasi lainnya yang menunjang pengantaran barang. Gue lirik, jam bundar di dinding masih menunjuk pada angka sebelas. Masih ada sisa waktu satu jam lagi untuk makan siang dan gue sempat mengerjakan buku besar ini.

"Rin, ayo."

Serius, mungkin karena gue terlalu fokus gue enggak sadar kalau jam makan siang sudah datang. Tinggal dikit lagi padahal tapi gue ingat, gue tetap harus makan. Jadi gue enggak mau menunda makan pun rasanya Mae enggak sabar untuk gue bercerita mengenai apa yang dari pagi mengusik pikiran.

"Soto lagi?" tanya gue memastikan karena Mae enggak jawab pertanyaan geu seputar menu makan siang kali ini. dia tetap melangkah pede dan gue mengiring saja. Karena enggak juga dapat jawaban, gue tanya sekali lagi. "Mae?"

"Ehm ... sebenarnya gue bingung mau makan apa soalnya enggak ada yang bikin gue selera."

Kalau saja Mae enggak hamil, sudah jitak kepalanya. Ini sudah agak jauh dari kantin tempat langganan kami makan siang. kalau harus balik lagi, selalu capek pun pasti sudah penuh sama karyawan dari tempat lain. Kantinnya memang terkenal enak juga murah.

"KFd?" tawar gue pada akhirnya. Lalu langkah Mae berhenti mendadak bikin gue was-was juga. "Kenapa?"

"Boleh, deh. Gue mau."

Ck!

Secepat itu? "Bilang aja kalau lo pengin ayam goreng tepung, Mae."

Dia senyum semanis madu yang dibuat-buat. Bukannya manis malah enggak enak dilihat karena Mae jarang senyum lebar begitu.

"Jadi gimana?" tanyanya ketika kami sudah duduk bersiap makan. Mae pesan ayam tepung sampai dua potong dan nasi. Oh jangan lupa kentang pun burger. Kata dia lapar banget. Gue cuma memperingatinya jangan sampai dibuang-buang. Mubazir.

"Nanti Mas Satria yang gue suruh makan," jawabnya saat gue peringati tadi.

Gue melongo. "Lo serius Pak Bos disuruh makan sisa lo?"

Mae enggak jawab malah milih langsung pergi ke meja yang masih kosong. Meninggalkan gue yang berkutat dengan pesanan lain.

"Ibu cerita semuanya ke gue kemarin sore." Gue menyeruput soda. Membasahi tenggorokan sedikit. ini bakalan jadi sesi curhat yang panjang sepertinya. "Ini kita makan dulu aja kali, Mae."

"Lo cerita, gue dengar. Gue sambil makan, lo curhat."

"Hah?"

"Udah buruan. Gue lapar sama makanan dan cerita lo."

Ini kenapa Mae aneh banget, sih. "Lah, gue enggak makan dong."

"Lo kalau makan, kan, cepat. Jadi mending lo cerita aja."

Gue mencibir kesal. Sialan memang si Mae ini. Tapi dia memang benar, sih. gue enggak teralu berselera makan. Makanya menu pilihan gue kali ini enggak pakai nasi. Memilih mencolek potongan kentang goreng yang besar dengan saus.

"Dulu, saat gue masih sekolah Ayah pernah masuk penjara."

Buru-buru gue sodorkan minum pada Mae yang mendadak tersedak. "Pelan-pelan!" kata gue setengah berteriak.

"Lo kalau ngasih info yang benar saja!"

"Ish! Gue serius. Dulu Ayah memang pernah masuk penjara. Enam bulan lamanya."

Mae mengusap sudut bibirnya yang berantakan karena air minumnya tadi. "Karena apa Ayah dipenjara?"

"Beliau difitnah sama rekan kerjanya. Proyek yang Ayah tangani ini memang riskan kata Ibu. gue enggak tau mungkin yang dimaksud semacam bisa dibuat untuk korupsi, ya? entah lah gue enggak terlalu paham juga. yang gue tau, saat Ayah diciduk polisi kita semua kelabakan. Ibu enggak tau apa-apa. Dari kantor pun enggak ada pembelaan sama sekali karena teman Ayah ini licik banget." Gue bercerita dengan mata menerawang jauh. Ingatan gue benar-benar tertumpu pada hari di mana Ayah dibawa.

Kami semua nangis tapi demi terpenuhinya tuntutan, Ayah bersedia dibawa. Ibu berulang kali mencari bukti yang enggak mudah sama sekali. Gue sering ditinggal Ibu sendirian.

"Pelan-pelan rumah, kendaraan, bahkan toko yang Ibu punya habis untuk mencari bukti dan paling besar itu untuk mengganti rugi."

Mae mengusap tangan gue pelan, memberi dukungan.

"Dan ... orang yang membuat keluarga gue seperti ini ... orang tuanya Hekky." Gue enggak tau harus seperti apa saat mengetahui hal ini. sakit hati juga air mata Ibu dan Ayah selalu mengingatkan gue arti kejujuran. Biarpun gue bekerja di tempat yang selalu mengendalikan uang, gue enggak mau berlaku curang. Ayah yang enggak salah bisa dijebak sedemikian rupa dan tanpa cacat, apalagi yang benar-benar disengaja.

Bukti yang dikumpulkan Ibu yang mmebuat Ayah bebas dan juga bisa membali fakta. Akan tetapi, pihak Tanaya Ruly, ayah Hekky, sudah terlanjur cuci tangan dan pergi. Enggak terdengar kabarnya hingga gue mengenal Hekky.

"Dan ... setelah lo tau?"

Mata gue langsung menatap Mae demikian tajam. Semua kemarahan dan rasa dendam gue karena orang itu tega banget menyakiti keluarga gue, membuncah tinggi banget. Salah Ayah apa, sih? setelah ditelusuri, Ayah enggak mau tanda tangan karena cara yang Ruly tempuh salah total. Tapi gue enggak tau, namanya orang licik mungkin akan selamanya berlaku licik, malah menjebak Ayah sedemikian rupa.

Bagaimana gue melihat Ibu menangis tiap malam. Berusaha keras banget agar nama Ayah bersih. Belum lagi harus berpikir bagaimana mengganti uang yang selalu ditagih padahal kami enggak pernah mencicipi. Mana mau perusahaan Ayah dengan jalur mediasi. Malah memojokkan kami.

Dan baru gue ketahui, kalau dalang semuanya memang Ruly. Membuat Ayah jatuh sejatuh-jatuhnya adalah tujuannya.

"Gue enggak tau lagi Mae mesti seperti apa berpikirnya." Gue mengusap wajah penuh frustrasi. Mata gue pun sudah berkaca-kaca. Dalam sekali kedip gue yakin banget kalau bakalan tumpah air matanya. "Gue enggak sangka, orang yang membuat sengsara keluarga gue dulu, adalah orang tua Hekky."

"Makanya Ibu melarang lo banget, ya? Pasti dia tau kalau Mas Hekky anaknya orang itu."

"Iya. Gue enggak terbayang kalau seandainya kami berkumpul dan merestui hubungan. Sakit hatinya masih terasa, Mae. Gue yang enggak kenal sama Ruly itu aja benci setengah mati. Gimana Ayah dan Ibu?"

Mae mengangguk pelan. "Dengar cerita lo aja gue geram banget. Kalau ada yang jahat ke Babeh aja gue pasti marah dan benci banget."

"Itu lah." Gue mengusap pipi yang tau-tau basah. "Permasalahannya gue enggak tau, apa Hekky tau permasalahan di masa lalu atau enggak."

"Dan lo mau bicara sama Hekky terkait ini?"

Jujur, gue sendiri masih bingung apa hal seperti ini harus gue kuak? Sementara ini ranahnya sudah hubungan antar orang tua. Ibu beri peringatan tegas kemarin. Gue masih ingat, kok, soalnya benar-benar menyangkut diri gue.

"Sudah paham kenapa Ibu enggak beri restu dan enggak akan sudi memberi restu itu? Arin masih ingat betapa Ibu dan Ayah enggak kenal lelah mencari bukti biar semua tau, kita enggak salah?"

Gue cuma mengangguk karena memang seperti itu yang terjadi.

"Jaga diri baik-baik untuk Rasyid, Rin. Menurut Ibu, dia sudah tepat mendampingi kamu. Dia enggak meminta pacaran lagi. Tapi menikahi kamu."

Kosa kata untuk membantah Ibu terkait Hulk, lenyap begitu saja.

"Lupain Hekky. Masa depan kamu bukan sama dia."

Lamun gue buyar saat ponsel yang gue letakkan di meja, berdering. Nama Hulk muncul di sana. Sudah beberapa hari ini memang dia enggak menghubungi pun gue enggak pernah memberi kabar, sih.

"Gue angkat telepon dulu, " kata gue ke Mae yang langsung dijawab dengan anggukan. Segera gue geser ikon hijau pada layar dan mendengar suaranya mengucap salam.

"Wa'alaikum salam."

"Arin di mana?"

"Makan siang. Abang sudah makan?" Gue enggak tau kenapa malah ebrtanya hal ini ke Hulk, ya? tapi ini jam makan siang. wajar, kan, kalau gue bertanya?

"Sudah. Baru selesai. Ingat sudah tiga hari enggak dengar suara Arin."

Gue ketawa.

"Abang benar, kan? Kalau Abang rindu sebenarnya. Kalau Arin, Abang enggak tau."

Lagi-lagi gue masih tertawa mendengar kata-katanya.

"Tadi kamu ke kantor naik apa?"

"Motor." Gue jawab dengan cepat. Memang benar seperti itu, kok.

"Kaki kamu? Ibu bilang kaki kamu masih belum pulih, lho. Ngendarain sendiri? Enggak naik ojek aja?"

Gue mengerjap pelan. Kenapa jadi Hulk yang ribet, ya? "Kalau naik ojek, malas tunggu dan kadang suka ugal-ugalan juga. Malas."

"Bisa diminta pelan dan hati-hati, Rin."

Di ujung sana, gue dengar dengan jelas kalau Hulk menggeram kesal. Kayak mau marah tapi enggak bisa. Kenapa coba?

"Pulang nanti naik ojek aja. Enggak pakai bantah. Kasih nomor akun gojek online yang biasa kamu pakai. Abang isi saldonya."

"Enggak us—"

"Enggak pakai bantah, Rin."

"Abang ribet banget!" Suara gue jadi tinggi otomatis. Ketahui lah gue jadi kesal karena dirinya yang tau-tau mendominasi seperti ini. Toh, sepanjang jalan tadi gue benar-benar hati-hati berkendara. Konsentrasi juga dan enggak mau mendengar musik seperti biasanya. Biar tambah konsentrasi maksudnya. Dan sekarang?

"Kamu calon istri Abang. Keselamatan kamu nomor satu sekarang."

Rasanya gue mau banting ponsel aja.

"Cepat kirim akunnya, jangan pakai lama."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro