[16]
Hampir seminggu gue enggak kerja dan selama gue habiskan waktu di rumah, Ibu menghindari gue. Kentara banget soalnya. Mungkin campuran malu dan belum ingin menceritakan hal yang beliau sembunyikan makanya Ibu enggak pernah lama bicara sama gue. Biasanya juga menggosip bersama, kok.
Saat memergoki dirinya menangis dan terdengar mengadu pada Ayah, gue memang enggak bertanya, sih. Hanya saja, gue yakin banget Ibu memilih melengos pergi karena enggak mau gue interogasi. Malah bikin makin curiga, kan?
Ya .. sudah lah. Bertanya sama Ayah pun percuma banget. Dia malah bilang, "Fokus sembuhkan kakinya dulu, Rin."
Mereka berdua memang sejoli sehidup seperahasiaan, ya.
Walau suntuk di rumah enggak bisa berbuat banyak, paling enggak ada hal berguna yang bisa gue lakukan. Dibantu Ayah dan beberapa orang karang taruna, gue nguras akuarium. Yah ... gue cuma beri perintah dan menyiapkan bahan-bahannya saja, sih.
Membeli beberapa batu koral dan anemon baru, pun menambah koleksi karena gue sengaja saat bikin akuariumnya sekalian yang besar.
Itu saja sudah membuat gue kelelahan, mungkin karena belum bisa banyak bergerak bebas dan ternyata setelah beberapa hari gue baru merasakan sakit yang cukup mengganggu di bagian siku. Kadang aku berpikir, apa gue memang benar seperti Valentino Rosi saat jatuh minggu lalu?
"Rin, nanti Ayah dan Ibu mau pergi. Kamu ada yang mau dititip enggak?"
Gue mendongak dari asyiknya berselancar di media sosial. Urus akuarium gue sudah beres setengah jam lalu. Untuk anak karang taruna yang heboh membersihkan benda kaca besar yang menempel di dinding rumah dekat taman, gue beri seorang seratus ribu. Lumayan kata mereka buat jajan dan merokok. Gue meringis saja.
"Enggak, Yah. Ibu sudah masak ini, perut aku aman."
Ayah menggeleng dengan jawaban gue. itu benar, kok. Gue pecinta masalah rumahan biarpun hobi jajan baju dan scarf. Oh jangan lupa tas juga sepatu. Koleksi gue satu lemari penuh yang enggak tau kapan dipakai yang penting beli. Ibu sering peringati gue katanya enggak boleh menyimpan banyak barang. Mubazir. Lebih baik diberikan pada orang lain biar lebih berguna dan bermanfaat. Gue mencibir Ibu, lah. Enak saja. gue sayang sama barang-barang yang gue beri ini, kok.
Gue enggak bertanya mereka mau ke mana. Lagian pasti juga urusan arisan atau berkunjung ke kawan lama Ayah. Dulu gue sering ikut, tapi makin dewasa gue malas banget. Lebih enak duduk diam di kamar sembari nonton drama atau sinetron. Atau klik-klik keranjang belanja biar tambah banyak yang mesti gue beli. Walau budget gue sudah ada alokasinya sendiri, tapi wishlist tetap harus ada.
Pesan masuk yang ternyata sudah lebih dari setengah jam lalu, dari Hekky, membuat gue penasaran. Setelah seminggu lamanya engak ada kabar, bahkan permintaan maaf gue enggak bisa bertemu dengannya saat berkunjung, enggak dapat balasan. Baru sekarang dia berkirim pesan lagi.
Hekky. R : Arin gimana kabarnya? Mas boleh sebentar ketemu Arin?
Ehm ... gue pikir dulu. Kebetulan di rumah enggak ada Ayah dan Ibu. Kayaknya enggak jadi masalah kalau gue bertemu biarpun cuma lima menit? Toh, gue yakin Hekky enggak mungkin macam-macam sama gue. Atau kami ngobrol di depan saja biar orang lain di sekitar rumah tau, ada tamu dan gue menerimanya d luar rumah. enggak membuat bahaya.
Segera gue ketik balasan; singkat, padat, dan jelas. Ok.
Dan enggak butuh waktu lama untuk Hekky datang. Kali ini dengan senyum semringah gue sambut. Yah ... selain karena rasa bersalah gue minggu lalu yang enggak bisa bertemu, paling enggak gue mengetahui dia baik-baik aja. enggak salah, kan?
"Hai, Rin."
"Hai, Mas. Sini duduk. Aku enggak bisa ke sana. Masih agak sakit." Gue tepuk kursi biar dia segera duduk di samping gue.
Dia cuma mengangguk pelan. Setelah melepas semua atribut yang ia pakai selama berkendara; helm, masker, jaket, sarung tangan, dan juga merapikan rambutnya yang agak berantakan karena helm. Hekky duduk. Gue sudah sediakan penganan kecil buat suguhan. Ini juga pelan-pelan banget menyiapkannya. Kalau kata Ibu, gue memang harus banyak bergerak. Biar enggak kaku menggunakan kaki atau pun tangan.
"Arin masih ada yang dirasa sakit?" tanya Hekky dengan raut wajah khawatir. Biarpun agak kucel selepas berkendara, gue masih bisa dengan jelas melihat kepedulian Hekky untuk gue. Ah, entah kenapa hati gue menghangat lagi karena Hekky.
"Masih, sih, cuma sudah jauh berkurang."
"Syukur lah."
"Oiya, Arin mau minta maaf kemarin enggak bisa bertemu Mas. Padahal Mas sudah capek datang ke rumah. Maaf, ya," kata gue dengan tulus. Benar-benar merasa enggak enak hati karena perlakuan Ibu saat itu. Hekky hanya tersenyum sembari mengangguk kecil.
"Enggak apa. Tau kamu baik-baik saja sudah cukup buat Mas. Mas juga mau minta maaf karena perkataan konyol saat itu. Mas merasa kayak terdesak sekali."
Gue memilih tersenyum kecil menanggapi. Memang mengejutkan, sih, tapi mungkin Hekky punya alasan sendiri.
"Diminum, Mas." Gue lupa kalau suguhannya masih didiamkan sama Hekky. Mungkin sungkan. gue baru mengajak Hekky ke rumah dan masuk itu saat benar-benar mau serius. Eh ... ditolak. Kalau sekadar mengantar hingga ujung gang, sering kami lakukan dulu.
"Makasih, Rin."
Lambat gue perhatikan Hekky yang tampak menikmati cangkir tehnya.
"Arin benar-benar serius sama pertunangan dan pernikahan nanti?" tanya Hekky tiba-tiba. Gue yang dalam masa pengamatan wajah Hekky, terkesiap. sama sekali enggak siap kalau Hekky memilih meluncurkan pertanyaan itu.
"Ehm ... ya gitu lah. Bingung juga Arin."
"Kenapa bingung?"
Gue menghela napas pelan. "Yah ... kayak terlalu buru-buru banget. Kenal sama orangnya aja enggak."
"Jadi ... untuk kita benar-benar enggak ada sela lagi, ya, Rin?"
Gue menatap Hekky yang sorot matanya terlihat kecewa. Banyak berharap juga sedih ada di sana. sama. Gue juga begitu. Tapi mau bagaimana lagi? buat gue, restu paling utama. Gue masih pendosa yang enggak pengin tambah sengsara karena Ibu dan Ayah yang enggak suka dengan pernikahan gue sama Hekky. Misalnya nanti terjadi.
"Mas sudah berusaha kemarin kembali bicara sama ibu kamu. Tapi tetap, Ibu enggak beri restunya untuk Mas."
Gue enggak tau kalau Hekky masih mencoba bersikeras. Apa karena sindiran gue saat makan soto itu, ya?
"Ibu hanya bilang, luka lama enggak mungkin bisa terobati."
Kening gue berkerut.
"Mas bingung, luka apa sebenarnya yang pernah terjadi."
"Mas tanya?"
Dia menggeleng. "Keburu diusir pulang."
Ah, gue yakin banget saat Ibu bertemu Hekky minggu lalu pasti pembahasannya enggak sebatas Ibu yang lagi-lagi menolak Hekky. Enggak. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ibu. hingga Hekky pamit pulang, dengan membelikan gue banyak camilan padahal gue menolak. Hekky bilang, "Buat teman kamu belanja online."
Gue tertawa kecil mengiring kepulangannya. Tapi kepala gue penuh akan satu hal. Rasanya gue pengin telepon Ibu dan meminta beliau segera pulang. Sudah enggak mungkin untuk gue diam saja. Gue mesti tau apa yang sebenarnya Ibu sembunyikan. Pun Ayah. gue yakin juga mereka tau apa yang terjadi.
***
Serial drama yang lagi gue ikuti, sepertinya malah berbalik menonton gue yang duduk di tepi ranjang sembari bengong. Suara salah satu tokoh, mulai histeris dan gue yakin banget berujung tangis. Tapi gue enggak peduli. Yang gue pedulikan adalah hati.
Iya. Hati gue.
Ibu pulang dua jam lalu. Hekky enggak lama mampir ke rumah gue, kok. Gue rasa dia tau batas setelah gue bilang, gue lagi sendirian sementara Ibu dan Ayah lagi ada urusan ke luar. Gue pergunakan waktu yang ada untuk menumpuk tekad. Setelah sekian lama Ibu hanya bilang enggak memberi restu tanpa alasan, kali ini gue memang harus tau kebenarannya.
Pasti mereka menyembunyikan sesuatu.
Tapi kenapa harus disembunyikan dari gue? Gawat banget memangnya? Saat Ibu pulang, gue bersikap manis banget. Berusaha narik perhatian Ibu tanpa curiga hingga, "Rin, ada apa?"
Ketauan juga gue lagi caper. Iya, lah. Gue enggak pernah mijat Ibu, tiba-tiba dengan senang hati menawarkan diri. Biarpun sekadar pijatan remeh di bagian bahunya, sih. Itu pun perlu menahan beban yang cukup bikin gue ngilu.
"Enggak ada apa-apa, kok, Bu." Gue beri senyum terbaik biar Ibu enggak curiga lebih banyak. Tapi rasanya enggak mungkin. Tatapan Ibu memicing penuh desak dan meminta gue untuk duduk di depannya. Yah ... baik lah. gue juga sebenarnya sudah cukup penasarana.
"Kurang budget belanjanya?"
Gue ngakak. Ibu dan pengetahuannya akan hobi belanja gue. "Masih cukup gaji Arin beli sepatu, Bu."
Ibu mencibir gue telak. "Dua bulan lalu minta jatah sama Ayah. Katanya kurang."
Ck! Diingatkan pula sama diskon besar-besaran yang Nika adakan. Iya, lah! Budget gue kurang. Ue beli sampai 3 pasang sepatu gitu. biarpun diskon tetap saja rasanya kurang. Tapi serius, cakep banget.
"Apa yang Ibu sembunyikan dari Arin terkait Hekky?"
Ibu menatap gue. lama. Lalu menghela napas pelan. "Yah," panggilnya. Kenapa jadi panggil Ayah yang masih berkutat sama makan malamnya, ya? Ayah itu selalu makan malam paling belakangan. Katanya, kalau sampai rumah langsung makan tanpa mandi enggak enak. Sementara Ayah kalau manid bisa setengah jam lebih sendiri.
Gue dan Ibu bisa pingsan duluan.
"Ya, Bu."
"Anakmu tanya tentang Hekky."
Entah kenapa hati gue mendadak enggak enak. Bukan perkara saat pertama kali bilang gue punya hubugan serius sama Hekky, sih. bukan. Itu bikin gue deg-degan dan agak takut juga, tapi bukan perasaan seperti ini yang gue rasakan. Ini lebih menegangkan.
Sumpah.
Apa jangan-jangan ... Hekky ini saudara kandung gue? Kakak gue? Ah ... gue gila kayaknya. Enggak mungkin banget hal ini terjadi. Gue saksi hidup kisah cinta mereka berdua. Sama-sama lurus dan saling menjaga. Enggak mungkin baik Ibu maupun Ayah main serong.
Ekor mata gue memperhatikan Ayah yang mengarah untuk duduk di dekat gue. Wajahnya menyiratkan hal yang membuatnya kayak putus asa gitu.
"Memang sebaiknya Arin tau, Bu."
Gue lihat, Ibu mengangguk tapi sembari menghela napas pelan. "Iya, Yah. Salah Ibu kenapa enggak bicara dari awal."
"Ada apa, sih?" Sumpah, gue enggak sabar banget.
Satu per satu gue amati. Enggak ada yang bicara padahal gue sudah menunggu lama. Oke, gue agak berlebih. Hampir sepuluh menit kami saling diam tanpa suara sementara gue makin enggak sabar untuk tau apa yang mereka sembunyikan ini.
Apa dugaan gue tadi memang benar adanya?
"Hekky itu ... anak dari orang yang pernah memfitnah Ayah," kata Ayah pada akhirnya. Yang membuat ingatan gue ditarik paksa pada masa-masa di mana gue pun merutuk dan bersumpah keluarga mereka adalah daftar blacklist paling tinggi di dunia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro