Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[15]

Percaya lah, gue sudah ngotot banget pengin ketemu Hekky biarpun cuma lima menit. Secara perjalanan dia ke rumah gue itu jauh. Dari kantornya ke kantor gue dulu, belum lagi berhadapan dengan macet untuk sampai ke rumah. Tapi Ibu tetap lah Ibu.

Dia melarang gue dengan keras. Sangat keras malahan seolah gue ini berniat kabur. Gimana mau kabur kalau kaki gue masih ngilu banget untuk gerak?

"Sebentar aja, Bu," mohon gue dengan amat. Biar bagaimana pun gue masih menghargai usaha Hekky, kok. Minimal bertemu biarpun sebentar.

"Arin, kamu seharusnya sadar diri. Kamu ini calon istrinya Rasyid. Enggak baik kalau harus menemui laki-laki lain."

Ya Allah, memangnya gue mau ngapain, sih?

"Sudah, Ibu saja yang bertemu. Toh, paling juga enggak penting menemui kamu. Ibu tetap enggak setuju mau usaha dia sampai jungkir balik kayak apa juga."

Gue sayang sama Ibu. sayang banget malah. Tapi kalau hati gue dilukai begini, sedihnya enggak ketolongan. Sumpah. Kesannya, Hekky ini benar-benar buruk banget di mata beliau. Gue juga sadar posisi, kok. Gue enggak mau macam-macam juga.

Tanpa sadar, gue mengusap pipi yang sudah basah. pelan dan tertatih, gue tutup pintu kamar. Mau melanjutkan tangis yang saat ini masih setia di pelupuk mata gue. Tangan gue bergerak lincah untuk mengirimkan Hekky pesan. Dia harus mendapatkan maaf dari gue karena tingkah Ibu. gue enggak tau apa yang mereka bicarakan di depan.

Keluar kamar saja engak boleh, apalagi ke depan. Bisa-bisa gue diseret kayak mau disiksa gitu.

Arin. M : Mas, maafin Arin enggak bisa keluar. Ibu larang dan emang kakinya sakit banget. Maaf, ya. janji setelah sembuh kita ketemu.

Terserah lah gue dianggap PHP atau apa, yang paling penting gue minta maaf dan dia memaklumi kondisi gue sekarang. Perkara setelah sembuh gue bisa bertemu lagi atau enggak, urusan nanti. enggak butuh waktu lama gue dapat balasan dari Hekky.

Hekky. R : Iya. Enggak apa. kamu istirahat aja ya. maafin Mas.

Kening gue berkerut. Kenapa dia minta maaf? Ah, mungkin dia kepikiran ucapannya sore lalu. Yah ... memang karena itu, sih, gue hilang kendali.

Arin. M: Ibu ada marah sama Mas?

Hekky enggak balas pesan gue lagi. mungkin sudah di jalan pulang atau masih mendengarkan ceramah dari Ibu, entah lah. tapi rasanya enggak mungkin dirinya mendapat ocehan panjang Ibu, karena gue dengar Ibu mengetuk pintu kamar. Gue masih agak malas tapi suara Ibu menuntut banget biar gue bukakan pintunya.

Terseok banget gue turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu, membukakannya dengan wajah datar. Biar enggak ketahuan banget kalau tadi gue sempat menangis.

"Belum tidur, kan?"

"Kalau Arin sudah tidur enggak bakalan bukain Ibu pintu."

Ibu enggak tertawa dengan gurauan gue. sebenarnya gue enggak niat bergurau juga, sih. hanya saja pertanyaan Ibu cukup konyol. Memangnya gue ini hantu?

"Ini dari Hekky. Dimakan."

Gue mengerjap. "Orangnya enggak boleh ditemui tapi martabaknya diterima. Ibu gimana, sih?"

Wanita paruh baya yang paling cantik sedunia gue mencibir. "Sudah, makan aja."

"Ibu enggak mau?"

Dia melengos pergi. Ya Allah, begini amat Ibu kalau lagi ngambek perkara Hekky. Saat gue lirik, ini martabak manis yang gue gemari banget. Taburan meises, keju, wijen, juga jagung menghias sempurna banget di sana. bikin tiap gigitan yang gue makan dari bagian martabak ini selalu berhasil bikin mood gue kembali waras.

Pada akhirnya, kenikmatan akan rasa martabak in menguap karena gue ingat tampang Ibu yang enggak suka saat memberi bingkisan dari Hekky ini. Kalau enggak dimakan pasti sayang, mau dimakan rasanya hambar. Duh ...

Bergerak perlahan, gue ke dapur. "Ibu," panggil gue memastikan Ibu memang ada di dapur. Enggak ada sahutan. "Bu," panggil gue sekali lagi. Lalu pendengaran gue menangkap sesuatu yang membuat bulu kuduk gue meremang mendadak.

Ada suara tangis yang demikian bikin gue sesak pun takut juga. Bukan karena ada setan atau apa, bukan. Gue yakin banget ini suara tangisan Ibu. penuh hati-hati gue melangkah ke arah sumber suara. Dan begitu gue dapati sosok Ibu, dia sedang melakukan panggilan telepon. Tapi suara tangisannya benar-benar buat gue curiga.

"Ayah, Ibu enggak pernah mau melihat Arin sedih. Tapi hati Ibu enggak terima kalau dia harus menikah sama orang yang dulu pernah bikin kita sengsara. Ibu mudah memaafkan tapi enggak gampang melupakan."

Jantung gue rasanya berhenti berdetak saat itu juga.

"Sampai tadi pun Ibu enggak tega mengusir Hekky, tapi Ibu sendiri enggak lupa tampang Ruly, Yah. Hekky mirip sekali dengan Ruly."

****

Sampai pukul dua dini hari, mata gue enggan terpejam. Memergoki Ibu yang sedang menangis dan menyembunyikan fakta kalau ada sesuatu yang memang orang tua gue sembunyikan bikin gue mendadak sakit kepala.

Sudah ketahuan seperti ini pun, Ibu sama sekali enggak mau bersuara. Ibu malah buru-buru suruh gue kembali ke kamar. Buru-buru juga menghapus jejak air matanya yang sudah bikin kedua matanya sembab.

Ada apa sebenarnya? Kenapa gue enggak boleh tau? Apa gue terlalu bocah banget untuk sekadar tau permasalahan yang ada?

"Sial," rutuk gue. Martabak tadi sudah habis separuh. Gue yang makan pada akhirnya. Pikir gue, sayang banget kalau enggak ada yang makan biarpun rasanya hambar. Tapi tetap saja, perut lapar butuh diisi.

Enggak ada yang bisa gue lakukan kecuali men-scroll medsos terutama Instragrem. Sampai bosan rasanya tapi kantuk enggak kunjung hadir, hingga ...

Hulk calling ...

Walau tadi hanya sebentar video call, tetap saja buat gue sudah setoran kabar. Kenapa juga mesti dia telepon lagi? Salah pencet? Tapi enggak ada salahnya gue angkat.

"Ya?"

"Kamu enggak tidur?" tanyanya spontan. Biasanya gue diceramahi dulu karena enggak menjawab salam, tapi mungkin karena gue yang angkat telepon malam larut seperti ini makanya dia bingung juga.

"Lah, Abang ngapain telepon?"

"Kepencet tadi. Mau dimatikan eh malah keangkat. Kamu enggak tidur?"

Gue menghela napas pelan. Berguling sedikit mencari posisi nyaman, mengenakan head set karena malas menempelkan ponsel ke telinga. "Maaf, Arin pakai headset dulu." Entah kenapa gue mesti informasikan hal ini. "Nah, sudah. Tadi Abang tanya apa? Enggak tidur?"

"Iya."

"Enggak bisa tidur padahal sudah coba berulang kali."

"Lapar?"

"Enggak."

"Pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan."

Gue diam saja karena memang setuju dengan pemikiran Hulk kali ini. Gue enggak tau kenapa, apa yang ia punya hingga sering kali gue bicara tanpa jeda sama orang yang menurut gue asing. Seperti gue sudah lama banget kenal dan akrab. Seolah Rasyid Ananta ini bagian dari hidup gue. "Abang benar. Arin ada yang dipikirkan."

"Tentang pacar kamu yang tadi berkunjung?"

Gue tertawa kecil. "Abang enggak marah?" Penuh hati-hati gue bertanya. Yah ... gue mau memastikan ini saja, sih. Biar bagaimanapun hubungan gue sama Hulk, yang diawali enggak baik, tapi gue tetap terikat, kan? Dan ikatan ini enggak bisa diputuskan begitu saja. Memang, baru sebatas bertunangan tapi akan jadi apa Ayah dan Ibu kalau gue mencoreng nama baiknya?

Beda halnya, ya, kalau dia yang memulai.

"Marah juga percuma, Rin. Abang jauh. Abang cuma bisa berdoa hati Arin enggak lari ke sana lagi, tapi ke Abang."

Gue ngakak. "Ini mendekati waktu tahajud, Bang. Bicaranya receh parah."

"Sekalian nanti Abang sholat, biar Arin benar-benar dijagain di sana."

"Memangnya ... Abang ini benar-benar serius sama Arin, ya?"

Gue dengar banget dia menghela napas panjang.

"Kalau Abang enggak serius, Abang enggak terbang ke Jakarta sekadar memastikan calon istri sendiri seperti apa."

"Memang Abang cinta sama Arin?" tanya gue spontan tanpa berpikir kalau pertanyaan ini bikin kami enggak bersuara terutama Hulk. Ah, pikir gue pasti dia juga terpaksa menerima perjodohan ini. Dokter hewan yang menurut cerita Ibu cukup terkenal di Makasar juga sudah banyak langganannya itu, enggak mungkin kan enggak punya pacar?

"Maaf kalau pertanya—"

"Lebih dari sekadar cinta, Rin."

Tadinya gue mau tarik pertanyaan mengenai cinta. Atas dasar apa coba gue bertanya seperti itu? Toh, gue yakin dia punya pacar di sana. Lalu ia tinggalkan karena harus menuruti orang tuanya lantaran perjodohan ini. Klise banget, kan?

Tapi yang gue dapat? Lebih dari sekadar cinta katanya? Maksudnya apa, ya?

"Arin sudah tidur?"

Gue mengerjap pelan. "Tadi Abang bicara apa? Arin enggak jelas." Ini gue berbohong. Untuk sekadar memastikan kalau telinga gue enggak salah dengar, perlu kan?

"Abang lebih dari sekadar cinta sama Arin. Jelas?"

"Iya." Gue bisa merasakan rona panas tau-tau menyapa pipi. Gue sampai memegangi kedua pipi, lho, saking penasarannya. "Tapi ... kok bisa?"

"Memang cinta butuh alasan?"

Giliran gue yang bingung menanggapi Hulk.

"Abang cemburu banget kalau Arin sampai bertemu dengan Hekky lagi. Apalagi Abang jauh dari jangkauan Arin. Selain menyerahkan cinta yang Abang punya sama Pemilik Hati, sama siapa lagi? Abang tau, Arin masih terpaksa menerima ini semua, kan?"

"Sejak kapan Abang punya perasaan sama Arin?"

Agak lama ia memberi jawaban, mungkin berpikir, mungkin mencari alasan, atau mungkin lagi menemukan kosa kata yang tepat sasaran lantaran bicara hal yang bikin jantung gue enggak keruan tadi.

"Sejak pertama ketemu."

"Kapan? Rasanya Arin baru ketemu Abang saat mau lamaran itu, deh," tuntut gue. Terang saja gue penasaran. Gue merasa Hulk ini sedang merangkai alasan paling jitu yang mungkin saja sedang ia persiapkan unutk menjebak gue biar jatuh cinta sama dia.

Bisa saja, kan?

Enggak ada yang enggak mungkin di dunia ini. Bahkan hal terlicik mengatasnamakan cinta saja banyak bertebaran. Gue bisa dengar ia tertawa kecil setelahnya.

"Tidur, Rin. Abang sudah ngantuk. Besok ada jadwal jam sepuluh."

"Abang." Gue berusaha banget mendapat jawaban. Entah kenapa ini benar-benar menggelitik hati gue. "Jawab dulu."

"Akan ada banyak waktu untuk kita, Rin. Sabar. Belajar jadi perempuan sabar biar lebih manis dari sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro