Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[14]



Mae melihat gue dengan tatapan bergidik ngeri gitu. Memang separah apa, sih? Saat gue bercermin tadi, wajah gue masih mulus kok. Mae kayaknya tertular lebay-nya Ibu, deh.

"Lo benar-benar bikin gue khawatir, Rin."

Gue ngakak.

"Lagian enggak keren banget jatuh dari motor masuknya ke got."

"Sial banget lo," geram gue penuh kesal. "Tapi makasih ditengokin." Gue langsung senyum karena tetap harus menghargai usaha Mae datang ke sini. Gue yakin banget dia dapat izin khusus, buktinya, jam empat sore sudah tiba di rumah gue.

Padahal gue tau banget, dia pasti capek. Bukan karena menggantikan pekerjaan gue, bukan. Bu Ira gue minta tolong dan mendapat hadiah ceramah, sih, sebelum akhirnya dia bilang, "Kamu istirahat aja. jangan petakilan. Kamu juga, sih, mau belagak seperti Rosi memangnya?"

Ya Allah, Ibu dan Bu Ira kenapa seperti itu, sih?

"Bukan Arin banget kalau seperti ini tau," cibir Mae. "Oiya, gue cuma mau bilang per bulan depan gue benar-benar di rumah."

"Hah?"

Bahu Mae merosot gitu. Wajahnya berubah sendu.

"Eh, gimana? Lo kenapa?" Gue bergerak mendekat biarpun pelan-pelan banget. Kaki gue yang ngilu, yang lainnya biasa saja. Sejak kenal sama Mae enam tahun lalu, kita selalu sama-sama di kantor. Kalau kata Sapto seperti biji. Terserah lah orang lain mau bilang apa, gue merasa cocok berteman sama Mae.

Mungkin karena pribadinya yang memang baik walau pendiam. Dia kalau enggak diajak ngobrol, mana mau bicara. Heran gue. Enggak kayak gue yang terus saja bicara sampai bikin sakit telinga orang.

"Gue disuruh resign sama Mas Satria."

Oh, gue sudah bisa menduga hal ini, sih. Bukan apa. Gue bisa melihat jelas betapa khawatirnya Satria saat tiba di rumah sakit kala itu. Bertanya sama gue saja enggak pakai jeda dan begitu melihat Mae, kayak yang ... lega banget gitu.

Sesayang itu Satria ke Mae dan beruntung banget sahabat gue ini.

"Dan?"

Tau-tau Mae malah nangis bikin gue bingung mendadak. Mau peluk, kaki gue minta perhatian gini. Jadi gue cuma bisa usap-usap pelan bahunya aja.

"Gue biasa kerja sejak lulus kuliah. Biarpun sedikit, gue selalu kasih Enyak dan Babeh jatah. mereka memang enggak minta sama sekali ke gue tapi gue sadar diri karena banyak banget hal yang enggak bisa gue balas ke mereka.'

Gue setuju dengan Mae.

"Tapi Satria bilang, gue lagi hamil dan dia takut gue kenapa-napa sama baby. Dia enggak sebatas peduli ke baby, sih. Ke gue juga. Melihat malam di mana gue dirawat justeru dia nangis, bikin gue mikir ulang enggak bisa egois."

Kening gue berlipat-lipat jadinya. "Lo serius? Pak Bos nangis?"

Mae mengangguk. "Gue sudah cerita belum, sih, dia jadi duda karena apa?"

Jelas gue menggeleng. Mae enggak banyak cerita mengenai ini, sih. Hanya sebatas, Satria duda dengan dua anak dan ditinggal meninggal istri sebelumnya.

"Mbak Dani meninggal karena melahirkan Gio."

Gue membekap mulut yang refleks menganga lebar. Gue pahami kalau Satria nangis karena Mae dirawat pasti ingat sama mendiang istrinya itu.

"Dan dia takut, kehilangan gue dengan cara yang sama saat kehilangan istrinya juga."

"Auw" Gue pura-pura meraba dada dengan wajah mendrama. "So sweet banget Pak Bos."

Mae mencibir. "Diam lo."

Gue kembali dalam mode serius. "Terus lo gimana?"

Bisa gue dengar sendiri kalau Mae menghela napas panjang. Matanya enggak lagi mengarah pada gue tapi ke arah pintu depan. Kayak membayangkan apa keputusan dia tepat atau dia harus seperti apa nantinya.

"Yah ... selain menuruti gue bisa apa?"

"Enyak sama Babeh?"

"Mereka berdua setuju saja sama usulannya Mas Satria."

"Lo?" Sekali lagi gue tanya karena jawaban tadi enggak memuaskan gue. Entah kenapa gue yakin dia masih menyimpan sesuatu hal yang agak berat untuk dibagi. Dia itu kebiasaan, lebih sering memendam sendiri pemikiran aneh dan enggak mau berbagi. Kalau enggak didesak enggak bakalan mau bicara.

"Gue masih pengin kerja," katanya dengan wajah kembali sendu. "Gimana, sih, rasanya terbiasa kerja tau-tau gue harus di rumah."

"Lo bicara sama Satria tentang ini?"

Gue tau banget kalau jawaban yang bakalan dia beri adalah gelengan. Dan ... tepat sasaran. Mae menggeleng. Kebiasaan, deh.

"Gue tau Mae, gue memang belum berumah tangga kayak lo. Tapi lo harus perbaiki model komunikasi lo, deh. Terbuka gitu sama Pak Bos. Gue rasa dia mau dengarkan."

Dia terkekeh. "Dia mau dengarkan gue kalau sudah dapat yang dia mau."

Kening gue berkerut. "Apa tuh?"

"Nanti kalau lo sudah nikah, lo bakalan tau."

Sialan si Mae!

"Walau gue merasa, anak-anak juga butuh banget pendampingan."

"Lo pikirkan baik-baik aja, Mae. Kalau lo kan sudah ada anak juga. dan gue rasa dunia lo enggak bakalan sepi, sih, kalau di rumah. Ramai mulu sama duo anak ganteng itu."

Mae tersenyum tapi matanya masih menerawang entah ke mana.

"Gue jadi ingat lo yang disuruh resign sama Hulk. Dia masih serius minta lo resign?"

"Ck!" Gue berdecak kesal mendadak. "Kenapa bawa Hulk ke pembicaraan ini, ya? Dia beda case. Lagian dia di Makasar cuma setahun lagi. Dia bisa pindah ke jakarta."

Mae malah menjentikkan jari persis di depan muka gue. Bikin gue gelagapan dan langsung menepis tangannya.

"Gue kasih tau sama lo, ya. LDR suami istri itu enggak enak. Sumpah."

"Apa, sih, lo."

Sahabat gue yang satu ini malah ngakak.

"Eh, kalau gue ke Makasar gue jamin lo yang bakalan kehilangan, Mae. Secara teman lo cuma gue doang. Kita enggak bisa seru-seruan bareng lagi. Ya kali lo ke salon ditemani sama bocah ganteng? Yah ... gue harap, sih, bayi lo sekarang perempuan. Tapi, kan, masih lama bisa diajak shoppingnya. Lo mau shopping sama Pak Bos? Belum apa-apa juga sudah dilaser sama matanya."

Mae makin ngakak. "Sejahat itu, ya, suami gue."

"Emang!" Tadinya gue ikut tertawa bersama Mae, tapi gue ingat, ucapan Hekky kemarin. "By the way, kemarin Hekky ke kantor."

"Ah, iya. Itu sebenarnya yang mau gue tanyakan. gue dengar dari Sapto, Hekky ke kantor dan ketemu sama lo."

Gue mengangguk membenarkan. "Yah, dia kayak enggak terima kalau gue akhirnya dijodohkan oleh Ibu dan Ayah."

"Maksudnya?"

Dan semua cerita mengganjal dalam hati ini, gue muntahkan ke Mae. Dia benar-benar penyimak cerita yang baik. Enggak ada satu pun dia sela dan menanggapi dengan wajar. Pun ketika gue cerita bagaimana ucapan Hekky yang cukup membuat gue enggak waras.

Ajakannya menikah.

"Wah ... Mas Hekky enggak dalam keadaan patah hati banget, kan?"

Gue mengedikkan bahu. "Dua bulan terakhir, dia enggak pernah komunikasi sama gue yang intens gitu. Biasa aja. Tanya kabar, sibuk apa. Sebatas itu, Mae."

Sahabat gue manggut-manggut mengerti.

"Kenapa ngajak nikahnya sekarang? Bukannya sejak awal gue ngotot ngajak nikah biarpun Ibu dan Ayah enggak merestui? Yah ... maksud gue, ayo lah berjuang lebih keras lagi. Kenapa malah dia mundur?

Giliran Mae yang mengusap bahu gue. "Jadi ... lo ke Mas Hekky sekarang gimana?"

"Gue sendiri bingung, Mae. yah ... lo tau, kan, gue masih sayang. Masih pengin sama-sama. Tapi kalau sudah begini, gue jadi ragu. Apalagi saat dia menyudutkan gue seolah gue enggak berjuang. Sementara gue enggak melihat apa perjuangan dia untuk hubungan kita ini."

Sumpah, kalau ingat hal ini bikin gue mau nangis lagi. tapi rasanya percuma, kan? Hekky enggak bakalan tau. Gue ingat banget respon malasnya dia dengan semua penjelasan yang ada. Kesannya ... gue yang sudah menyerah.

"Gue rasa, lo memang mesti sholat istikhara', deh."

Gue menatap Mae sekilas dan mengangguk. "Lo benar. Perkara begini enggak main-main, ya?"

***

Sisa sore tadi gue habiskan benar-benar bersama Mae, hingga Satria menjemput tepat di jam enam sore. Ada petuah-petuah juga, sih, dari Satria. Tapi paling enggak, beliau tau anak buahnya memang sakit. Enggak sedang membuat karangan bebas.

Lagian kurang kerjaan banget beralasan sakit untuk cuti mendadak di tempat kerja. Kalau doanya dikabulkan jadi jatuh sakit beneran, yang rugi siapa? Diri sendiri.

Gue baru banget mau rebahan karena memang masih ngilu dan nyeri di beberapa bagian, ponsel gue dering. Saat gue lirik, nama Hekky muncul di sana. Sejak pagi memang gue enggak banyak main ponsel. Hanya sebatas memberi kabar ke beberapa orang yang gue perlukan. Enggak tulis status apa-apa juga. Bukan apa. Ada perasaan enggak enak juga kalau apa yang gue alami, dibuat status.

Agak ragu, sih, untuk angkat telepon dari Hekky. Sampai dering kelima kali pun, gue abaikan. Masih menata hati juga mau bicara apa nantinya. tapi sepertinya Hekky enggak menyerah, dia kembali telepon dan bikin gue enggak tega untuk membiarkannya.

"Ya, Mas," kata gue pelan sembari menyandarkan punggung dengan posisi nyaman. Menikmati waktu sebelum tidur dengan nonton drama di TV kayaknya seru.

"Kamu di mana? Mas ke kantor kamu enggak ada. Kata Sapto kamu sakit. Benar?"

Gue mengerjap pelan. "Iya." Yah ... biar bagaimana juga gue enggak bisa bohong orangnya. Apa yang ada di kepala gue, ya itu juga yang ada di hati. Suka atau enggak suka, semuanya bisa gue lontarkan tanpa ragu. Berpikir aja enggak.

"Sakit apa? Sudah ke dokter? Sudah minum obat? Mas ke rumah, ya? Ini dalam perjalanan ke sana."

Makin gelagapan gue. "Eh ... jangan. Eh, maksudnya nanti Mas repot. Arin enggak apa-apa, kok. Sudah ke dokter juga. Sudah tinggal tunggu kering lukanya. Kata dokter asal eng—"

"Memang kamu sakit apa?"

Mati lah gue!

"Arin."

"Ehm ... pokoknya Mas enggak usah ke rumah. Ibu lagi galak banget. Nanti Mas malah kena damprat."

"Mas enggak peduli. Sekarang tujuan Mas cuma mau sama kamu."

Teleponnya langsung ia matikan begitu saja. Meninggalkan gue yang termangu dan bengong, sibuk berpikir harus menghadapinya dengan cara seperti apa.

Belum habis otak gue dikuras untuk memikirkan Hekky yang rasanya enggak main-main dalam bicaranya tadi, telepon gue lagi-lagi berdering. Untuk kali ini, nama HULK ada di sana. bukan sekadar panggilan biasa, tapi video call.

Tamat riwayat gue!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro