[13]
Benar, kan, gue bilang apa. Badan gue sakit semua. Nyeri dan kayak mau lepas tulangnya gitu. Ini pasti efek jatuh dan tertimpa motor tadi. Luka gue mulai terasa nyut-nyutan dan nyeri. Serius deh. Rasanya mau nangis aja tapi kata Ibu memang seperti itu.
Beruntung tadi dikasih pereda nyerinya agak banyak padahal enggak boleh. Harus sesuai takaran dokter, tapi gue malah diledek. Katanya, "Biar beberapa hari ke depan enggak nangis karena nyeri."
Sialan memang tuh dokter. Siapa pula namanya? Manis tapi nyebelin.
Gue pun sudah beri kabar ke bos Satria juga Mae. Respon paling heboh tentu saja dari Mae. Katanya gue ini enggak berhati-hati. Ya gue sanggah, lah! Gue selalu hati-hati hanya saja ... gue melamun. Enggak baik memang kalau sedang banyak pikiran mengendarai kendaraan seperti ini.
Duh.
Ajakan nikah model apa tadi? Enggak ada rasa terharunya gue. yang ada kaget dan kepikiran. Ternyata Hekky punya sisi mengerikan juga, ya. Pertama mengenai ajakannya yang bilang, mau hamilin gue. Memang diprakarsai dari gue, sih. Hanya saja, itu gue sudah dalam kondisi putus asa banget. Segala usaha sudah gue lakukan sebulan sebelum kita resmi putus.
Hekky sendiri enggak ada usahanya untuk merebut hati Ibu dan Ayah. di sisi lain, gue sama dia benar-benar masih sama-sama sayang. Backstreet istilah kerennya.
Dan sekarang? Setelah dua bulan resmi putus, setelah dia sendiri enggak ada kabarnya menanyakan hati, setelah Ibu dan Ayah sering menaruh curiga gue yang suka bertemu Hekky selepas pulang kantor, dia main datang lagi dengan ajakan nikah?
Selama ini?
Kenapa gue jadi merasa seperti perempuan bodoh, ya? Dering ponsel membuat gue agak kaget karena melamunkan mengenai perjalanan gue dan Hekky selama ini. Begitu gue lirik, nama Hulk muncul di layar.
"Ya?"
"Biasakan jawab salam dulu."
Gue merotasi mata. "Maaf." Dan kali ini gue sedang malah berdebat. Pikiran gue sedana mengaitkan satu sama lain mengenai apa yang selama ini gue perjuangkan. Bodohnya, gue baru menyadari perjuangan gue rasanya sia-sia.
"Lagi apa?" tanyanya. Suaranya terdengar lelah.
"Duduk di kamar ngerasain nyeri."
"Nyeri?"
Oh, gawat. Kalau gue cerita, nanti si Hulk ceramah. Sepanjang jalan tadi Ayah sudah berceloteh panjang lebar kali tinggi jadi luas persoalan panggilan Hulk yang gue beri untuk Rasyid. Katanya enggak sopan. Memang, sih ... tapi mau bagaimana lagi? Mirip.
"Enggak apa," kilah gue cepat. Tapi memang dasar paes gue selalu mengikuti, Ibu masuk dan langsung memberondong gue dengan banyak ocehan. Terutama makan dan minum obat.
"Kamu sakit?" tanyanya yang membuat gue ingat, kalau gue masih terhubung dengan Hulk di telepon. Karena Ibu gue jadi enggak konsent. Terutama saat Ibu bawa satu porsi siomay buatannya sebagai camilan malam ini.
"Siapa yang telepon?" tanya Ibu dengan mata curiganya. Astaga. Disangka aku ini masih suka telepon Hekky mungkin, ya? Memangnya gue anak ABG yang dikekang untuk berhubungan dengan lawan jenis, ya? Atau gimana, sih? Bingung sama ibu sendiri.
"Bang Rasyid, Bu." Gue menghela napas pelan.
Ibu justeru meminta ponsel gue. duh ... mendadak gue merapal dzikir. Ibu suka serampangan kalau bicara. Bisa saja dia ngadu kalau gue habis jatuh. Tapi kalau gue tarik teleponnya, Ibu malah berang dan makin galak ceramah nantinya. dilema banget.
Pada akhirnya gue takluk dengan tatapan Ibu yang terus saja tajam ke arah gue. memangnya kenapa, sih, kalau gue enggak mau beri ponsel yang masih terhubung dengan Hulk? Salah?
Tuh, kan benar!
Ibu cerita semuanya. Semuanya! Detail. Lengkap. Tanpa ada kurang yang ada lebihnya banyak. Banyak banget malahan sampai bilang gue nangis di klinik karena luka sobeknya panjang. Itu benar. Tapi bagian di mana gue nangis karena takut lukanya enggak hilang, itu bohong total. Gue enggak peduli sama bekas luka, yang gue pedulikan kapan gue sembuh?
Kalau ada nominasi tukang drama, gue ajukan Ibu sebagai nominator utama.
"Kasih tau, Rasyid, si Arin kalau berkendara tuh serampangan. Bikin orang tua jantungan. Anak cuma satu, perempuan pula. Ngendarain motor kayak Rosi."
Mau ngakak tapi kesalnya minta ampun. Jadi aku manyun saja lah. Lalu ponsel Ibu kembalikan tanpa rasa dosa dan bersalah sedikitpun.
"Arin?"
"Hem."
"Benar yang Ibu bilang?"
Gue rasanya mau ganti muka saja lah. "Iya," lirih gue. di sana, gue bisa mendengar jelas dirinya menghela napas panjang.
"Pantas sejak tadi Abang pengin telepon terus tapi pasiennya banyak. Ternyata terjadi sesuatu sama kamu."
"Enggak usah terlalu khawatir. Ibu terlalu drama cerita ke Abang." Gue terkekeh sebagai peneman gugup. Gue pikir dirinya bakalan ikut seperti gue, minimal tertawa atau apa lah gitu. Enggak. Dia malah diam saja seolah sedang berpikir di sana.
Kalau gue ada di depannya mungkin auranya menyeramkan sekali, ya?
"Coba ceritain."
"Hah?" Asli, gue loading arah. Bukan karena perkataanna, tapi nada bicaranya itu. Bikin gue merinding disko. Telinga gue rasanya mau cepat-cepat hengkang dari mendengarkan suaranya yang berubah bikin bulu kuduk gue meremang tiba-tiba.
Kalian pernah dihadapkan pada situasi di mana ada seseorang yang ngomong singkat, padat, jelas, tapi penuh intimidasi? Nah ... gue lagi mengalami hal itu. ini lewat telepon, lho, enggak langsung. Bagaimana kalau Hulk benar-benar ada di depan gue?
Jadi tikus kejepit gue yang ada!
"Arin dengar kata-kata Abang dengan jelas tadi. Ceritakan."
Bahu gue merosot lemah. Kalau perkaranya sudah seperti ini, gue kalah. Enggak tau kenapa mendengar dia bicara bikin refleks berkelit gue hilang total dari peradaban. Akhirnya dengan lancar jaya gue cerita mengenai kejadian tadi—minus mengenai gue lagi mikirin Hekky selama memegang stang motor—termasuk dokter yag kelewat ramah itu.
"Besok jangan kontrol ke sana. Ke rumah sakit aja. Periksa menyeluruh takutnya da yang retak atau apa. Tapi keadaan kamu gimana? Ada pusing? Mimisan?"
"Please, lah. Aku itu masuk ke got. Bukan kepala menghantam aspal."
Gue dengar ia tertawa kecil. Nah ... begitu lebih baik. Gue enggak tegang banget untuk bercerita. Sejak awal gue berkisah tadi, respon dia cuma, "Terus?" Seolah gue enggak boleh banget berhenti cerita.
"Abang sudah pernah bilang, kan, hati-hati berkendara. Kamu lagi mikirin apa memangnya?"
Gue gelagapan tapi beruntungnya gue, dia enggak ada di depan gue. Kalau ada? Tamat riwayat gue. "Enggak ada," kilah gue.
"Lain kali, hati-hati Arin." Nada menyebalkannya kembali.
"Iya."
"Jangan iya-iya aja."
"Iya, Abang."
"Bisa dipercaya?"
Gue memejamkan mata sejenak. "Abang berisik banget, ya? Ibu kalah."
"Kamu calon istri Abang. Sudah sewajarnya Abang khawatir. Abang di sini mempelajari tabiat-tabiat kamu dari cerita Ibu dan Ayah. Dan Abang rasa, seorang Arintania Maharani yang teliti enggak mungkin lepas kendali kalau bukan suatu sebab yang lebih masuk akal."
Entah kenapa, gue menelan ludah dengan gugupnya.
"Jadi ... bisa cerita kenapa?"
***
Esok hari, badan gue jauh lebih baik biarpun enggak bisa terlalu banyak gerak. Biasanya kalau pagi gue selalu merapikan rumah dulu biarpun hanya bisa menyapu hingga pekarangan. Minimal gue sudah bantu Ibu sebelum berangkat kerja. Sekarang? Untuk ke kamar mandi saja rasanya ngilu.
Ibu bilang, luka goresnya dapat lima jahitan tepat di dekat betis. Entah lah, gue enggak merasakan pas itu. Pikiran gue melayang entah ke mana saat itu. Hanya rasa perih yang membakar juga ngilu di beberapa bagian yang membuat gue enggak terlalu merasakan hal itu.
"Rin, mandi?" tanya Ibu yang masuk ke kamar sementara gue berusaha banget untuk ganti baju. Walau kaki gue yang paling sakit, bagian dari tangan gue ternyata juga ada luka gores. Gue jadi curiga, jangan-jangan benar adanya kalau karena panik gue narik gas lebih kencang dari biasanya.
Itu lah yang membuat gue banyak menderita luka gores di tangan terutama siku. Kalau kepala dan wajah, aman sentosa. Helm pink cantik gue tergores di bagian kanan tapi benar-benar bikin gue aman saat kejadian.
"Ganti baju sama basuh-basuh aja, Bu. Lengket."
Ibu sigap bantu gue berganti pakaian. Padahal malu tapi mau bagaimana lagi, memang butuh bantuan. Rasanya jadi seperti tambah merepotkan Ibu. Sekadar informasi, biarpun Ibu hanya berkutat di rumah tapi pekerjaan beliau luar biasa banyak. Ibu aktif jadi pengurus PKK di lingkungan rumah terutama bagian posyandu. Paling getol dan heboh kalau mendekati jadwal timbang menimbang bayi dan balita.
Senang, sih, tapi kadang Ibu menjengkelkan kalau terlalu banyak memakan ucapan orang.
"Sudah izin sama orang kantor?"
Gue mengangguk sembari membenahi kaus yang gue kenakan. "Katanya nanti Mae mau ke sini jenguk."
"Sama bos kamu?"
Lagi-lagi gue jawab dengan anggukan.
"Yang penting kabari orang kantor, biar enggak bertanya-tanya kamu kenapa enggak masuk kerja."
"Beres ibu aku yang cantik."
Ibu berdecih dan membantuku menyisir rambut. "Duh, calon pengantin malah ada luka di kaki. Padahal itu aset."
Kening gue berkerut, hati gue bertanya-tanya maksud Ibu apa.
"Jangan salah, lho, Rin. Ayah kamu tergoda sama Ibu lantaran kata Ayah kaki Ibu seksi."
Masya Allah, Ibu!!!
"Yah, kamu kan anak muda. Generasi apa, tuh? Milenium? Milemial? Apa, sih?"
"Milenial, Bu." Gue pasrah dengan kata-kata lanjutan Ibu yang bakalan ebrakhir dengan...
"Nah, nanti kamu pesan lingerie seksi yang ada tali-tali di kaki. Buat menggoda si Rasyid."
Benar, kan?
"Jadi cucu Ibu bisa segera hadir."
Ya Allah, Ibu gue bergaul sama siapa, sih, tau mengenai tipe lingerie seperti ini?
"Eh ... sayang banget kakinya malah ada bekas luka." Ibu mencibir gue dengan telak.
"Bu, kalau memang Abang cinta sama Arin, enggak peduli sama bentuk kaki yang luka nantinya. Cinta mah cinta aja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro