Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[12]

Memastikan sekali lagi barang yang akan gue bawa pulang itu perlu. Gue anti banget untuk putar balik hanya karena ada sesuatu yang tertinggal. Tapi tetap, jam gue pulang kerja itu enggak boleh enggak ontime. Apalagi kalau kerjaan gue sudah beres. Enggak perlu menunggu Bu Ira atau siapa pun menghalangi gue untuk mendekat ke mesin absen.

Bu Ira cuma geleng-geleng dengan tingkah gue. Baginya, yang paling penting pekerjaan gue beres. Itu saja.

"Wih, helm baru?" tegur Sapto yang tampak terperangah saat gue mulai mengancing helm. Kami sudah ada di parkiran.

Gue enggak membalas ucapannya tapi tertawa.

"Kayak toge pink lo, Rin."

Sialan! Saat gue melirik ke spion, memang yang Sapto ucapkan benar adanya, sih. H elmnya enggak kebesaran saat gue pakai, hanya saja, karena ini fullface, membuat kepala gue terlihat lebih besar dari seharusnya. Mana badan gue mini, motor gue matic. Astaga. Benar kata Mae, seharusnya gue ganti motor jadi CBR.

"Arin?"

Gue menoleh cepat padahal mau membalas ucapan Sapto tadi. Saat itu gue jelas banget melihat Hekky menghampiri gue. Terpaksa helm yang sudah terpasang apik di kepala, gue lepas.

"Ada waktu?" tanyanya ketika berada tepat di depan gue. Otak gue berpikir sejenak, kalau agak telat pulang sore ini gue pakai alasan apa.

"Ada apa?" Enggak tau kenapa gue malah bertanya seperti ini. Biasanya kalau Hekky jemput dan ajak jalan entah ke mana, gue selalu mengiakannya.

"Mas mau bicara."

Mungkin kalau telat satu jam gue masih bisa beralasan. Bukan apa. Sejak gue benar-benar putus sama Hekky, Ibu selalu banyak tanya kalau gue pulang terlambat. Kadang gue masih sering kelayapan sekadar mengentaskan rindu dan pikiran aneh terkait penolakan Hekky, sih.

"Di dekat sini aja, ya, Mas."

Dia mengangguk. agak repot sebenarnya bawa-bawa helm begini tapi mau bagaimana lagi. Iseng, gue cek harganya dan itu bisa untuk beli ponsel. Belasan juta, Euy! Hulk luar biasa ternyata. Eh tapi tunggu, gue bukan mau lantaran dia beri gue helm mahal gini, ya. Bukan. Astaga.

Ini semacam bentuk perhatian kecil untuk gue dari dia. Lagian siapa sih yang enggak tergiur warna pink yang cantik banget ini? Asli. Biarpun bikin gue mirip toge, tapi cantik banget. Lebih cantik ketimbang fotonya. Gue saja langsung ngiler lihat fotonya, bagaimana datang aslinya begini coba?!

"Mas mau minta maaf."

Gue terkesiap. ah, baru sadar kalau gue dan Hekky sudah duduk di salah satu sudut warung makan soto langganan di dekat kantor. Enggak lapar, sih, tapi masa iya enggak pesan? Jadi saat gue datang tadi, Hekky sudah memesankan soto tanpa nasi buat gue.

Karena ditinggal, mungkin yang membuat gue melamun memperhatikan helm yang nangkring cantik di meja.

"Enggak apa, Mas. Arin maklum." Gue sebenarnya agak kaget juga pas tau Hekky bisa mengeluarkan kata-kata itu. Yah ... gue juga heran sama diri sendiri kenapa bisa muncul ide gila banget seperti itu. Wajar kalau dia malah memutarbalikkan ucapan gue.

Gue perhatikan, ada hal yang berbeda di wajah Hekky. Seperti orang yang enggak terurus. Apa sejak pertemuan terakhir, ya? Tapi enggak, kok. Saat di mall, Hekky biasa saja. Di kafe pun sama. Dan sekarang?

Menurut gue beda.

Tatapan matanya enggak sehangat biasa dan merasa ada kekecewaan besar di sana. Apa karena dia tau gue sudah bertunangan dengan orang lain?

"Kayaknya Arin biasa saja, ya?"

"Ya?"

"Iya. Arin enggak merasa kalau hubungan kita ini spesial?"

Ya Allah.

Tuduhannya!

"Mas Hekky," Gue coba narik napas sejenak. "Mas kenapa? Mas enggak biasanya nuduh aku seperti ini lho. Mas enggak terima dengan perjodohan aku?"

Kurang lebih gue saat bertemu di kafe, memang menceritakan perjodohan ini, sih. Yah ... kalau enggak diceritakan mau bagaimana lagi, si Hulk ngomong sama Hekky gamblang banget di telepon. Saat gue disuruh menjelaskan, ya ... sudah. Sudah terlanjur basah juga.

"Secepat itu kamu terima perjodohan dengan orang lain? Apa memang kamu sudah kenal sebelumnya?"

Gue menggeleng tegas. "Aku sendiri enggak kenal dengan Abang."

"Oh ... bahkan sudah punya panggilan sayang."

Masya Allah. Kenapa bicara sama Hekky jadi menyebalkan seperti in, ya? Hekky itu pria yang lembut dan selalu ngalah sama gue, lho. Apa yang gue mau dia selalu turuti jarang membantah. Bahkan sekali pun itu konyol.

Paling dia hanya mengeluh sesaat lalu kembali lagi mengikuti langkah gue. Sekarang?

Obrolan yang agak menjengkelkan ini terinterupsi oleh tukang soto yang antar pesanan kami. Biasanya Hekky suka menawari gue ini dan itu, tapi sekarang di depan gue, dia diam saja seolah gue enggak ada di sini.

Yang ngajak makan siapa, yang marah siapa. Lucu banget situasi ini dibuat. Sudah lah, selesai makan gue pulang saja. Entah kenapa tuduhan tadi bikin hati gue jengkel. Pun malah gue didiamkan begini. Serasa gue yang punya salah.

Niat gue, soto daging yang enak ini segera habis dan gue langsung pulang. Percuma kalau meladeni Hekky seperti ini. Memangnya gue enggak punya usaha lebih untuk meyakinkan Ibu dan Ayah? Banyak.

"Kapan kamu mau nikah?"

Gue sukses tersedak. Buru-buru gue sambar botol air mineral yang ada di depan gue, minum dengan segera karena sakit banget tenggorokan. Gila juga Hekky kalau bertanya! Enggak pakai aba-aba dulu! Begitu gue bisa sedikit mengendalikan diri, sorot mata gue langsung menatap Hekky penuh sinis.

"Nanyanya kira-kira dong, Mas!"

Dia malah mengedikkan bahu. Seolah apa yang dia bilang, hanya sebatas kata. Dan ekspresi wajahnya itu ... sumpah ... menyebalkan banget. Seperti sengaja membuat gue makin tersudut lantaran menerima perjodohan yang Ayah dan Ibu buat.

Yang pasrah saja dengan apa yang diminta kedua orang tua gue tanpa memikirkan perasaannya. Hati gue bergemuruh hebat jadinya. "Tiga bulan lagi Arin nikah," kata gue sembari menghabiskan sisa minum di botol tadi. Gue lihat soto dagingnya tersisa sedikit. Enggak merasa sayang kalau nyatanya gue tinggal saja. "Ada lagi yang mau Mas Hekky bicarain? Kalau enggak ada, Arin mau pulang."

"Kamu sayang sama Mas atau enggak?"

Tadinya gue sudah mau melangkah pergi. Tinggal menyeret helm yang masih cantik berada di meja tempat kami makan tadi. Tapi mendengar Hekky bertanya seperti itu, yang gue enggak tau dia tau kata malu atau enggak. Soalnya beberapa pelanggan lain jadi mengarahkan matanya ke kami. Kalau gue pribadi, ya ... malu!

"Sayang, Mas. Sayang sampai detik ini." Ini gue enggak berbohong. Memang perasaan gue masih sama untuk Hekky. Biarpun sore ini dia menyebalkan banget, tapi enggak mungkin sayang yang gue punya selama ini untuk pria berkacamata itu, luntur dengan cepat.

"Kalau gitu, ayo ... nikah sama Mas aja."

***

"Kok, bisa sih?"

Gue enggak tau ini pertanyaan Ibu yang ke berapa sejak tadi. Sekarang gue terbaring di ranjang klinik terdekat yang enggak jauh dari tempat gue jatuh. Sial.

Argh!

Ini semua karena Hekky Ramadhan! Bagaimana enggak karena dia! Setelah semua yang terjadi, dia malah ngajak gue nikah? Gue memang mau nikahnya sama dia. Tapi kondisi gue sekarang? Enggak ada ide atau ajakan yang lebih gila dari pada ngajak tunangan orang lain nikah? Di muka umum pula. Fix. Hekky gila.

"Tapi kamu enggak apa-apa, Rin?" Kali ini Ayah bersuara. Setelah mengabarkan kalau anaknya terlibat kecelakaan tunggal, di mana gue malah masuk parit karena kaget ada tiang listrik di salah satu jalan kecil penuh lika liku cinta, eh, maksudnya berliku untuk menghindari macet ibu kota.

Gue terdampar di klinik yang paling dekat dengan lokasi kejadian. Soalnya kaki gue berdarah banyak, mungkin ada bagian dari tepian parit yang cukup tajam mengenai kaki. Perih banget sumpah. Celana gue saja sampai sobek. Gue ngeri lihatnya.

Tadi memang gue sempat melamun, tapi enggak sampai bikin konsentrasi gue pecah, sih. Hanya saja, tadi saat mau berbelok, stang gue agak macet entak kenapa. Belum lagi jangkauan mata gue seperti terhalang sama helm. Jadi enggak tahu kalau arah kiri yang gue ambil terlalu ke kiri dan persis banget ada motor keluar dari arah berlawanan.

Jadi lah gue ngerem mendadak tepat di depan tiang listrik dan masuk parit.

"Kaki Arin luka, Yah," terang gue pelan. sebenarnya pertanyaan Ayah gue yakin bukan sebatas luka saja, sih. "Dan di tangan mungkin memar. Belum terasa aja." Iya, lah. sudah masuk parit, ketiban motor. Bagus banget memang pulang kerja ala Arintania Maharani kali ini.

Gue enggak tau apa yang Ayah dan dokter di klinik itu bicarakan. Pasti konsultasi mengenai luka gue, sih. Ibu terlihat khawatir. Wajahnya pucat gitu apalagi saat dirinya datang setengah jam lalu. Padahal luka gue sudah bersih tinggal noda darahnya saja. Kayaknya gue dapat jahitan karena luka sobek tadi, deh. Atau enggak. Entah lah.

Gue nangis mulu sepanjang diantar ke klinik. Sakit, Euy!

"Kamu ngebut?" tanya Ibu sembari membantu gue agar setengah rebah.

"Enggak. Kapan Arin suka ngebut?" Enak aja. gue itu selalu mengutamakan keselamatan. Ada kucing mau lewat saja gue berhenti. Atau ada mobil lain mau keluar dari pertigaan, selalu gue beri kesempatan untuk keluar. Enggak pernah dalam kamus gue berkendaran motor, selalu seenak udel begitu.

Ini murni karena gue memang melamun, sih.

Tapi enggak mungkin gue menceritakan ini, kan? Bisa habis gue dibantai sama Ibu kalau masih bertemu Hekky. Gue memang enggak pernah bertemu lagi, sih. Komunikasi saja jadi jarang banget. Padahal rindu. Makanya saat bertemu di mall itu, kayak yang senang banget. Eh... malah berakhir seperti ini.

Gue yakin Ibu mau bicara, tapi karena Ayah masuk diiringi dokter yang tadi merawat gue, Ibu kembali mengatupkan bibir. Hamdalah. Enggak dimarahi di depan dokter.

"Lain kali hati-hati berkendara, ya," kata si dokter itu dengan senyum. gue meringis saja.

"Tuh, pasti ngebut."

"Bu, sumpah, Arin enggak ngebut. Apes aja ngindarin tiang listrik malah masuk ke got."

Cuma gue saja yang enggak tertawa atas kata-kata tadi. Iya lah. itu fakta paling memalukan yang terjadi hari ini.

"Sementara sampai lukanya kering, enggak perlu banyak gerak dulu. Obat dan salep untuk perawatan luka luarnya sudah saya beri. Untuk adanya tulang retak atau apa, sejauh pemeriksaan tadi, alhamdulillah enggak ada."

Helaan napas lega baik dari Ayah dan Ibu terdengar, yang paling lega tentu saja gue.

"Dikasih obat nyeri enggak, Dok? Pasti badan saya sakit semua nanti malam. Tadi ketimban motor," kata gue dengan lugas. Si dokter bukannya menjawab malah senyum-senyum gitu. Nyebelin, ya?

"Ada."

"Terima kasih banyak, ya, Dok." Ini kata Ayah. Pun disusul oleh ucapan Ibu yang sama.

"Oh, jangan lupa helm pink kamu dibawa."

Tadinya gue sudah dipapah Ayah untuk masuk ke dalam mobil, sementara motornya ditaruh di bengkel dekat sana untuk diperbaiki. Saat gue menoleh, dokter yang tampangnya memang manis itu menenteng helm pink gue.

"Oh, makasih Dok."

Lagi-lagi si dokter itu tersenyum. Apa dokter itu memang harus ramahnya? Maksud gue, kelewat ramah? Soalnya di Hulk kayaknya enggak ada ramah-ramahnya, deh. Diam aja gitu.

Kenapa jadi mikirin Hulk?

"Helm siapa ini, Rin?" tanya Ayah setelah memastikan gue duduk dengan aman di kursi belakang.

"Punya Arin lah. Dari Hulk," kata gue spontan.

"Hulk? Siapa Hulk?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro