Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[11]

"Mbak Arin."

Gue menoleh segera ketika OB di kantor menghampiri. Dia bawa satu kotak gede gitu entah apa isinya. Bikin kening gue berkerut dan bertanya-tanya. "Ya?"

"Ada paket untuk Mbak."

Seingat gue, semingguan ini gue enggak belanja online di mana-mana. Secara uang gue sudah habis duluan dan daftar belanja gue masih utuh. "Dari siapa, Pak?"

"Enggak tau, Mbak. Yang antar Gojek."

Gue mengangguk saja. ditaruhnya dengan hati-hati kotak itu di meja yang ada di belakang meja kerja gue. Gue sendiri mau membukanya juga agak takut tapi penasaran. Penuh hati-hati gue gunting plastik pembungkus dan lapisan pengaman lainnya.

Begitu kotak utama terlihat, gue menahan napas sejenak. Wah ... si Hulk benar-benar!

Helm full face Arai Rx-7v racing Stella, motif black pink sungguhan tiba di kantor gue! Luar biasa banget memang si Hulk. Belum habis rasa terkejut dan senang dalam hati ini, ponsel gue dering. Gue tau banget pasti si Hulk. Dan, yah ... gue benar. Hulk calling...

"Sudah terima paketnya?"

Gue mengulum senyum. "Sudah. Baru banget."

"Suka enggak?"

"Suka. Persis seperti foto yang Abang kirim kemarin."

"Pakai yang betul dan jaga baik-baik."

Senyum gue makin lebar. "Siap, Bos."

Belum ada satu menit telepon tadi tertutup, Mae sudah mengejutkan gue. Beruntung gue enggak punya sakit jantung, coba kalau punya? Bisa collaps gue!

"Bagus helmnya," kata Mae tanpa dosa sama sekali. "Rin, nanti temani gue makan bakso di tempat yang lo nangis itu, ya."

Gue melongo menatapnya. Bukan apa. Mae sejak hamil agak-agak frontal kalau bicara. Iya, gue tau. Pernah nangis di kedai bakso. Tapi, kan, bukan berarti dibahas gitu aja! gue mencebik enggak terima dengan ucapannya barusan.

"Ish. Gue pengin banget makan di sana. Jalan kaki pula. Ya..." Mae menggoyang tangan gue. "Mau, ya, Rin. Temani gue."

Ah sudah lah. Gue memang lemah banget kalau soal Mae. "Oke."

"Eh, lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Ini helm siapa? Bagus motifnya."

"Helm gue lah. Siapa lagi?"

Dia malah tertawa. "Lo mesti ganti motor kalau gitu. Jangan pakai scoopy lagi."

Kening gue berkerut.

"Ganti sama CBR."

Sialan! Naik CBR aja gue mesti agak loncat sedikit! bisa naik enggak bisa turun nanti. belum lagi kalau oleng. Yang ada motor tindih badan gue yang mungil ini, bisa gepeng di tempat karena motor. Mae idenya kadang aneh banget memang.

"Dari siapa helmnya?" tanya Mae mengabaikan cibiran gue.

"Hulk."

Tawa yang tadi sudah terdengar meledek banget, kali ini, lebih parah. Benar-benar bikin gue manyun lima centi.

"Lo utang banyak cerita sama gue. enggak mungkin si Hulk tau-tau ngasih lo helm kayak gini," katanya di sela tawa yang masih berderai itu. "Eh, nama calon suami lo siapa, sih?"

Gue menghela napas pelan. Mencoba sabar atas kelakuan si Mae yang lagi menyebalkan ini. "Namanya Rasyid."

Dia manggut-manggut. "Nama bagus dipanggil Hulk."

"Rin, jangan lupa laporannya Ibu tunggu, ya," kata Bu Ira yang membuat gue menoleh ke arahnya. Jarak meja kerja gue sama atasan gue itu enggak terlalu jauh memang. Hanya selisih satu partisi tapi masih bisa berkomunikasi tanpa perlu angkat bokong dan ke mejanya. Kecuali hal-hal yang memang butuh tanda tangan dan pemeriksaan lebih lanjut, baru gue ke mejanya.

"Iya, Bu. Dikit lagi beres." Gue mendorong Mae untuk kembali ke mejanya. "Sana kerja. Gue banya kerjaan."

***

Mungkin yang Sapto bilang kalau Pak Satria sejak menikah dengan Mae ini agak jinak, benar adanya. Gue tadi minta approval seperti biasanya, enggak apaki manyun atau misuh-misuh saat menuruni tangga. Biasanya, selalu dan hampir setiap lembar laporan gue pasti ada coretan merah. Kalau dia bicara di mana salahnya, gue masih terima. Kadang, dia enggak mau bicara. Main coret saja seolah laporan gue ini buku gambar.

Kalau gue protes dibilang, "Bisa lebih teliti lagi, kan? saya cuma baca sekali langsung tau minusnya di mana. Harusnya kamu bisa lebih teliti dari sana."

Kalau sudah begitu, enggak ada yang bisa gue lakukan kecuali segera memperbaiki. Walau saat gue kembali memeriksa lembaran penuh coret merah itu, gue pada akhirnya menyadari kalau gue masih kurang teliti.

Seperti siang ini sebelum makan siang. ada satu laporan yang buru-buru harus dapat tanda tangannya. Begitu gue naik dan dipersilakan duduk, Satria cepat banget membaca laporan tadi, ambil kalkulator, menghitung cepat, dan langsung tanda tangan.

Enggak pakai banyak cing-cong. Serius. Kalau sejak awal dia seperti ini, sih, gue yakin banget banyak yang menjadikan dia idola.

"Saya dengar dari Mae, kalian mau makan sama-sama?"

Gue yang sudah hampir memutar handle pintu, menoleh dan menatap bos gue penuh bingung. "Kenapa memangnya, Pak?"

"Enggak apa. saya Cuma khawatir sama keadaanya saja. sejak pagi merengekk terus minta bakso."

Hah?

"Kamu saja terkejut, apalagi saya. Hamil bikin Mae tambah punya banyak ekspresi."

Demi apa pun yang pernah gue lihat dan tau bagaimana raut wajah bos gue yang memang aslinya ganteng tapi menyebalkan, dia senyum! Senyum yang seolah, bahagia banget bicara hal itu ke gue. Bukan dalam konotasi yang buruk, lho, ya. Bukan. Senyum bahagia di mana terlihat banget kalau dirinya cinta banget sama Mae.

"Bagus dong, Pak," kata gue penuh hati-hati.

Bos gue terkekeh. "Iya, bagus. Tolong, ya, Arin. Kalau Mae merepotkan kamu nantinya. Saya perhatikan Mae cuma dekat sama kamu di sini."

Astaga. Gue pikir dia mau ngomong apa. Tanpa perlu diminta, gue pasti bakalan temani Mae, kok. Biarpun banyak teman gue di luar sana dan beberapa divisi pun mengenal gue dengan baik, hubungan gue ke mereka enggak sedekat hubungan gue sama Mae.

Tapi gue enggak perlu susah payah menjelaskan, sih. "Baik, Pak." Cukup dengan jawaban seperti itu saja gue rasa Pak Bos sudah tau, kok.

Saat gue sudah di lantai satu, Mae malah sudah bersiap. Benar-benar siap untuk makan siang. apa kalau hamil seperti ini, ya? Enggak sabaran?

"Ayo," katanya dengan mata berbinar. Gue menggeleng saja.

"Sebentar, gue taruh report dulu."

Dan makan siang kali ini, Mae benar-benar melaksanakan apa yang dia mau. Jalan kaki ke kedai bakso. Padahal cuaca panas dan bikin gue ketar-ketir. Takut dia pingsan. Bisa habis gue dicincang sama Pak Satria. Tapi Mae ngotot maunya seperti itu. Sepanjang jalan gue sudah merapal dzikir saja takut Mae kenapa-napa, kan?

Hamdalah. Kami selamat sampai di kedai bakso. Penuh semangat, Mae pesan ini dan itu. Gue memilih duduk dan minum air mineral dingin dulu. Melepas takut karena sepanjang jalan tadi, pikiran buruk terus saja hinggap.

"Jadi gimana?" tanya Mae tiba-tiba. Matanya mengerjap seperti seseorang yang menemukan satu info penting.

"Gimana apa?" Gue makin bingung, lah. Mae kenapa, sih?

"Gimana lo sama si Hulk?" Mae mengerling jahil ke arah gue. "Sampai dikasih helm gitu padahal dari kemarin nolak keberadaannya terus."

Yah, kalau sudah seperti ini enggak ada yang bisa gue lakukan selain menceritakan detail pertemuan gue dan Hekky sebelumnya. Lalu berlanjut ke kencan dadakan ala Hulk. Mae menyimak baik-baik banget sembari sesekali tertawa pelan.

"Sekarang lo sudah bisa membuat perbandingan?"

Gue mengedikkan bahu. "Masih terlalu awal kalau gue ngambil kesimpulan untuk benar-benar membuka hati ke Hulk."

"Lo masih sayang sama Mas Hekky?"

Lekat, gue tatap Mae. Embus panjang napas gue keluar, bahu gue merosot mendadak. "Enggak bisa gue pungkiri, Mae. gue masih sayang."

Kami diam beberapa saat pun dijeda oleh pelayan yang membawa pesanan.

"Jangan jadi orang egois, Rin. Dari cerita lo kayaknya si Hulk ini memang enggak masalah kalau dijodohin sama lo. Baik dan ramah kayaknya. Ya, kan?"

Gue enggak tau harus mengomentari apa. apa benar sosok Rasyid Ananta ini memang baik? Atau memang pembawaannya yang ramah dan terkesan mudah mendekat dan didekati?

"Sampai sekarang pun lo enggak tau kenapa Mas Hekky ditolak, kan?"

"Iya."

"Enggak ada salahnya mencoba."

Gantian gue yang menatap Mae lekat-lekat.

"Gue selalu berharap kebaikan untuk lo juga, Rin. Lo yang selalu dampingi gue selama ini. Membuka mata gue juga hati untuk Satria. Gue juga mau, lo begitu ke hidup lo. Semisal dia enggak baik, minta sama Allah tunjukkan."

"Duh, sahabat gue sekarang pandai ceramah. Gue mirip kayak bocah yang dinasihati biar enggak nyemplung ke got."

Kami kompak tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro