Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1]


"Yah, please. Jangan bikin aku tiba-tiba gila gini dong!" Gue enggak terima. Sumpah! Ini maksudnya Ayah gimana, sih? Mau menjodohkan gue? Seenaknya aja!

"Pokoknya Ayah tunggu kamu pulang on time sampai di rumah."

Kalau saja membanting ponsel di kantor itu sebuah kebiasaan gue yang lain, pasti sudah gue lakukan. Saat Ayah menutup telepon gue, yakin lah, gue sudah seperti banteng betina siap ngamuk.

"Rin?" tanya Mae tiba-tiba. "Lo kenapa?" tanyanya dengan pandangan menyelidik.

"Mae," Gue segera menghampirinya. Menggenggam tangannya erat-erat. "Lo enggak nyumpahin gue, kan?"

Gue tau, gue bicara ngawur sekali. Buktinya kening Mae berkerut.

"Pas lo dijodohin sama Adam, lo enggak nyumpahin gue dijodohin sama ortu gue, kan?"

Jelas saja Mae ngakak! Tubuhnya yang tambah berisi ikutan menertawaiku! Nyebelin! Gue cemberut saja, lah!

"Enggak, lah. Gue enggak sejahat itu." Mae menarik salah satu kursi. Duduk dengan nyaman selayaknya Nyonya Bos. Dunianya jungkir balik karena si Satria-Satria itu. Eh... Satria bos gue, sih. Sejak diketahui positif hamil, Mae kerjaannya dikit banget. Iya, lah! Nyonya Bos. Siapa juga yang bakalan ngasih kerjaan banyak ke dia. Bisa dilaser sama tatapan elang punya Satria.

"Kenapa memangnya?" tanyanya lagi.

Bikin gue berdecak kesal. Lembaran untuk report kali ini, gue remas-remas. Enggak apa. Nanti gue cetak lagi. Ketimbang gue banting ponsel? Sayang, baru beli.

"Bokap telepon gue," kata gue lesu. Bahu gue rasanya merosot sampai ke lantai. Terkulai, gue duduk saja lah. "Gue mau dijodohin."

"Mas Hekky?"

Makin jadi lah gue nelangsa. "Lo sering dengar gue cerita enggak, sih, Mae?"

Dia mengangguk pasti. "Kan gue selalu bilang sabar buat lo. Berarti gue dengarin lo curhat, Rin."

Kalau ingat Hekky, rasanya nangis enggak cukup untuk menyuarakan ganjalan akan hubungan gue berdua. Baru saja gue reguk manis berasmara dengan pria yang bisa gue bilang; dewasa, pemikirannya matang, belum lagi mampu imbangi gue yang reseh ini. Tapi? Gue masih mau hidup penuh berkah dan selamat dengan restu orang tua.

Ibu dan Ayah sama sekali enggak setuju gue pacaran dan ke arah yang serius dengan Mas Hekky. Sama sekali enggak kasih kadar toleransi bahkan alasan yang paling masuk akal untuk gue. Mereka langsung nge-cut gitu saja tanpa berpikir, gue bakalan patah dan sakit hati. Hubungan gue dan Hekky bukan sebatas pacaran gitu-gitu aja, kok. Eh... bukan yang aneh-aneh juga, ya. Gue benar-benar merasa dihargai dan disayang banget sama dia.

Gue sayang Mas Hekky, by the way. Dia tipe gue banget, lah. Eh... sandungan gue besar banget.

Restu.

Belum juga kering patah hati gue enggak dapat restu, tau-tau dapat kabar mirip bom atom yang jauh ke Nagasaki. Hebat banget bikin jantung gue porak poranda. Ayah kalau bicara enggak pakai tendeng aling-aling sepertinya. Langsung terabas!

"Jangan melamun, Rin. Siapa tau malah terbaik buat lo," kata Mae sok bijak. Dirinya mengusap lengan gue pelan. Sosoknya sekarang malah seperti seorang ibu yang lembut gitu. Ajaib banget perubahan dalam diri Mae. Mungkin karena dirinya langsung dipanggil Ibu sama dua anak Satria yang lucu-lucu itu kali, ya.

Bicara anak sambung Mae, si Nendra sudah enggak ketus lagi ke gue. Dia pernah langsung konfrontasi ke gue, lho! Katanya dia enggak suka kalau gue terlalu dekat sama ibunya. Hellaw anak kemarin sore... Mae dan gue lebih dulu akrab keleusss. Tapi gue enggak bilang begitu, sih. Gue cuma mesam mesem saja sambil berkata, "Terus sekarang Nendra tau kalau Aunty Rin sahabatan sama Ibu Mae?"

Dia mengangguk malu, "Makanya Nendra ke sini mau minta maaf." Matanya enggak berani lagi menatap gue. Memilih menunduk dan kayaknya menyesal pernah berbuat salah ke gue. Padahal gue enggak masalah, kok. Yah... setelah gue dengar semua cerita Mae tentang Nendra dan Gio, siapa sih yang enggak akan jatuh sayang? Gue aja sayang, kok, sama mereka.

Jadi... gue usap kepalanya pelan. "Enggak apa, Ndra. Aunty Rin tau, kok. Yang penting, jaga Ibu Mae. Kalau Papa Satria jahat, bantai aja."

Dia tertawa. Dan sejak hari ini, gue nambah sekutu. Nendra. Oh... Gio juga ikutan. Fix. Kalau mereka lagi main ke kantor, meja gue selalu kena sambang dua bocah ganteng itu. Minta beli camilan yang dilarang sama Satria tapi diam-diam gue beri. Toh, permen lolilop doang astaga! pelit banget bos gue ternyata. Tapi gue selalu minta ke mereka segera hapus jejak lengket di mulut alias sikat gigi yang bersih.

Bisa kena SP 3 gue dan jadi pengangguran cantik di luar sana.

Lalu setelah puas minta jajan sama gue, mereka ke meja ibunya. Minta diusap-usap manja.

Ah, balik lagi ke permasalahan gue. "Terus gue harus terima gitu, Mae?"

Dia malah senyum-senyum enggak jelas. "Gue masih ingat nasihat lo dulu. Dijalani dulu siapa tau memang terbaik."

"Kalau nasib gue kayak lo dan Adam? Gila aja!" sela gue cepat-cepat.

"Siapa tau malah lebih baik dari Adam? Dia, sih, orang gagal move on gitu." Mae mengedikkan bahu.

"Kalau enggak?" sanggah gue.

Gue tau, Mae menghela napas sebal. Matanya memicing ke gue seolah gue ini jadi orang yang pesimis sekarang. Gue sendiri merasa kehilangan kepercayaan diri yang biasanya selalu gue gunakan untuk menantang hari. Iya. Sejak hubungan gue dan Hekky ditolak mentah-mentah orang tua gue, ada dampak yang nyata gue alami

Seolah, gue ini enggak pintar dalam menelisik kepribadian lawan jenis yang mau gue ajak serius. Gue dua puluh delapan tahun, by the way. Masa iya, hanya bermodal mulut manis gue bisa luluh? Enggak. Itu enggak berlaku ke gue. Tapi sekarang? Ini pengaruh banget ke hidup gue.

"Jadi..." kata gue dengan suara pelan. Mata gue makin lama tertunduk. "Gue ikutin Ayah dan Ibu dulu?"

"Enggak ada salahnya nyoba. Gue enggak tau pasti kenapa Hekky ditolak keluarga lo, soalnya, sepenglihatan gue Hekky ini orangnya baik."

"Itu, lah. Gue bingung."

Gue menerima usapan pelan di bahu. Jelas itu dari Mae.

"Tapi gue rasa orang tua lo tau, yang terbaik."

Entah lah. Gue enggak yakin mengenai ini. Apa gue kabur aja, ya?

****

Sepanjang jalan gue pulang, gue memikirkan betul-betul ide perjodohan yang Ayah prakarsai. Disangka gue ini hidup di zaman Siti Nurbaya kali, ya? Enak aja! Gue ada di abad 20. Milih pasangan yang memang mau sama-sama membina rumah tangga, biar aman, sejahtera, dan damai. Dan pilihan gue sudah jatuh ke seorang Hekky Ramadhan.

Kurang apa, sih, dia? Ganteng? Oke lah dia enggak masuk kategori ganteng, tapi manis. Cakap bekerja? Tawaran sebagai wakil manager di perusahaan lain, dia dapati. Kerjanya ulet, rajin, tekun pula. Enggak neko-neko pula selama berhubungan sama gue. Yah... timbang pegangan tangan doang sih, menurut gue wajar. Oh... curi-curi cium gue juga, sih. Tapi gue enggak pernah mangkir ke hotel, ya. Astaga! Itu gila!

Selebihnya?

Dia sopan, kok.

Terus? Yang seperti ini saja ditolak oleh Ayah. Lalu mau seperti apa lagi yang bisa diterima? Astaga. Gue enggak habis pikir sama sekali dengan pemikiran mereka. Belum juga gue beri sanggahan, mereka sudah enggak mau dibantah sama sekali. Mendengar alasan gue aja enggak mau.

Di situ gue merasa sedih padahal gue yakin, kok, Hekky ini baik.

Tanpa sadar, motor yang gue kendarai sudah masuk ke area rumah gue. Bukan kompleks. Tinggal di perumahan biasa, ada di lingkungan di mana warganya juga ikutan menghakimi seseorang kalau di luar norma. Padahal belum tentu begitu, sih.

Penuh lesu, gue parkir di dekat pagar rumah. Menimbang sebentar dan sedikit lagi kira-kira kalau rencana gue kabur malam ini, bakalan ketahuan enggak, ya. Kalau gue kabur tadi, gue konyol. Enggak bawa baju dan persiapan apa-apa. Minimal gue bawa tas isi tiga lembar baju kerja, kek. Enggak mungkin gue nginap di rumah Mae. Ibu pasti tau dan bisa-bisa Satria nenteng gue balik ke rumah.

Aduh! Jangan sampai.

Opsi kabur ke rumah Mae adalah hal paling buruk yang akan gue kerjakan. Risikonya terlalu besar. Gue enggak siap. Jadi... langkah pertama, gue parkir motor di dekat pagar rumah. Paling enggak, begitu gue bisa kabur dari jendela nanti—gue sepertinya mau loncat dari jendela. Nanti coba gue hitung-hitung pendaratan bokong tepos ini, kira-kira bisa bikin tambah tepos atau enggak. Tapi tenang, kamar gue enggak di lantai atas. Jadi pantat gue yang tepos ini aman sentosa.

Jantung, kita kerja sama. Lo jangan bertalu kencang kalau ketemu Ibu dan Ayah. Senyum terbaik adalah hal mutlak. Kita pura-pura dulu, ya, jantung. Lo harus mau kerja sama. Hidup mati gue ada di tangan kita berdua.

Oke, gue mulai gila.

"Assalamu'alaikum," sapa gue sembari melangkah sok tenang. Padahal gue lagi menghitung semua konsekuensi pilihan kabur yang enggak sampai setengah jam lagi gue jalankan. Rencana gue matang kali ini. Matang yang dimatang-matangkan istilahnya.

"Wa'alaikum salam. Nah anak Ibu sudah datang. Mandi dulu sana." Ibu yang menyambut gue langsung merangkul penuh cengiran. Gue benar-benar curiga. Jangan-jangan sekelebatan pemikiran buruk kalau gue dijodohkan dengan Om-Om akan terwujud!

Wah... ini gila banget!

"Iya, Bu."

Gue ini sebenarnya penurut. Enggak mau banyak bantah apalagi sama orang tua. Serius. Bagi gue, apa yang ada di dalam hidup gue sekarang, berkah dari segala doa mereka. Selama gue hidup hingga detik ini, gue jarang merasa kekurangan. Ibu dan Ayah selalu berusaha dengan amat mencukupi. Malah saat gue bilang mau kuliah sambil kerja, beliau larang. Katanya takut enggak konsentrasi padahal gue tau, saat itu Ayah enggak maksimal bekerja.

Ayah di PHK saat gue mau daftar kuliah. Enggak dapat kompensasi apa-apa karena Ayah dituduh menggelapkan uang perusahaan. Duh, jangan tanya betapa sedihnya gue dan Ibu saat tau fitnah seperti itu menerpa ke keluarga gue ini. Bolak balik Ayah membuktikan diri sampai stress dan terpuruk sendiri. Ibu luar biasa banget jadi sosok yang menghadang musibah. Senyumnya teduh dan tegar. Menguatkan gue dan Ayah. Karena Ibu percaya banget, Ayah enggak bersalah. Sama seperti gue yang percaya seratus persen, Ayah itu orang yang bertanggung jawab sama pekerjaan.

Berusaha banget kami bangkit. Gue menyaksikan sendiri kalau mereka enggak pernah putus dalam berjuang. Gue pun enggak mau tinggal diam. Berusaha maksimal belajar biar beasiswa gue enggak terhambat sama sekali pun bantu Ibu di warung kelontongnya.

Hingga gue ada di titik sekarang, gue tau dengan pasti, doa Ibu itu mustajab banget mengiring langkah. Dan atas dasar ini lah gue enggak pernah berani bantah mereka biarpun ingin, agar hubungan gue sama Hekky dapat restu. Toh... gue berusaha cari calon suami yang sayang sama gue. Mau nerima gue apa adanya.

Begitu sampai di kamar, gue buru-buru mengepak baju. Asal. Pokoknya gue bawa baju salin. Urusan minggu depan, urusan lain. Yang penting malam ini gue kabur. Lalu gue cek tabungan gue, masih cukup kalau untuk nginap di hotel tiga sampai seminggu ke depan. Rencana lanjutan bakalan gue pikirkan kalau nanti gue sudah berhasil.

Yang paling penting, rencana ini enggak berantakan! Astaga, ya ampun! Gue deg-degan parah! Ngalah-ngalahin saat gue sidang skripshit eh skripsi. Serius!

"Rin, kebaya kamu sudah Ibu siapkan dekat lemari, ya," kata Ibu yang membuat jantung gue mencelos. Kaget! Takutnya beliau tau-tau masuk ke kamar seperti biasanya. Tapi gue baru ingat, gue buru-buru slot kunci kamar biar Ibu enggak sembarangan masuk.

"Iya, Bu."

Saat itu gue dengar kasak kusuk antara Ibu dan Ayah, seputar makanan yang akan disajikan lah, belum lagi kabar dari orang yang mau dijodohkan sama gue katanya sudah mau sampai. Sudah lah. enggak ada waktu menguping pembicaraan mereka. Tunggu. Gue enggak nguping. Mereka bicaranya terlalu keras seolah mau menunjukkan ke gue mungkin, rencana mereka enggak main-main.

Masa bodo!

Gue mau kabur!

Titik!

Jendela sudah gue buka, tas sudah gue keluarkan perlahan. Agak besar tapi mau gimana lagi? Banyak yang mesti gue bawa terutama baju kerja. Jangan lupa skin care. Aduh... barang itu paling utama gue pikirkan sepanjang jalan pulang tadi. Kalau gue kabur tanpa persiapan gini, bisa hancur muka gue yang sudah mulus karena skin care. Duh... jangan deh!

Oke, Rin. Semua beres. Gue tinggal keluar dari jendela, ke motor yang gue parkir tadi, dan brooommm... kabur!!! Keren, kan, rencana gue!

Tapi Allah sepertinya tau banget rencana busuk gue ini.

Begitu gue melangkah, buru-buru banget takut Ibu tau-tau keluar dari rumah dan mergokin gue yang mau kabur ini, gue enggak memperhatikan langkah. Tau-tau di depan gue berdiri menjulang cowok kekar yang subhanallah nyeremin amat!!!

Dan apesnya gue yang nabrak, gue yang jatuh! Bokong gue sukses banget menghantam aspal dekat pagar rumah!

"Heh, Tembok Cina! Minggir lo!"

Dia malah mengerutkan kening kayak orang linglung. "Ehm... maaf, saya boleh tanya? Di mana, ya, rumah Bapak Syarif?"

Gue melongo. Si Tembok Cina nyari Ayah? Ngapain? Ah, enggak urusan. Gue langsung ingat tujuan gue yang sempat kabur karena bokong gue bermesraan dengan aspal. Sakit, tauk!

"Enggak tau. Sorry!"

Baru saja gue melewati tubuhnya yang gede tinggi itu, tangan gue ditarik dan... gue kayak melayang!

"Kamu Arin, kan?"

Yang gue ingat, gue pegangan sama tangan dia yang satunya saking takut jatuh lagi. Tas gue agak berat bikin gerak gue susah. Belum lagi, gue itu sangat amat buru-buru mana sempat mikirin pelan-pelan melangkah. Yang ada di otak gue, cepat-cepat ke motor dan ngegas keluar area rumah orang tua gue.

Lah sekarang?

"Lho, Arin? Ngapain kamu di situ sama Rasyid? Kamu baru sampai, Yan?"

"Duh, anak Ibu enggak tahan, ya, mau ketemu calon tunangannya. Main langsung dipeluk gitu."

Refleks, dia melepaskan gue. Dan yah... lagi-lagi gue menghantam aspal.

"HEH, TEMBOK CINA! MIKIR KALAU MAU NGELEPASIN CEWEK!



****
Selamat datang di dunia Arin dan Hulk.

Siapkan perut untuk menangis, tisu untuk tertawa, dan mata untuk meresapi yaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro