|| Part 9 ||
Happy reading ✨
Fira meraih tas ranselnya, kemudian memasukkan buku bindernya ke dalam tasnya. Tak lupa, kotak pensil berwarna biru muda juga ia masukkan ke dalamnya. Hari ini, jadwal kuliahnya sedikit berkurang, karena ada 2 dosen yang tidak dapat datang mengajar. Tentunya, Fira tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk berkunjung ke perpustakaan kampus. Ia sudah lama tidak pergi ke perpustakaan, mengingat betapa padatnya jadwal kuliah serta kerjanya.
Fira melewati koridor kelas yang masih dipenuhi oleh mahasiswa dan mahasiswi. Sesekali ia ikut tersenyum, ketika mendengar candaan dari mahasiswa kepada sang dosen. Tanpa Fira sadari, langkah kakinya sudah menuntunnya masuk ke dalam sebuah ruangan besar dengan cat berwarna putih itu. Ruangan itulah yang Fira tuju, yaitu perpustakaan.
Fira segera mencari buku yang sedang ingin ia baca. Setelah mendapatkannya, Fira langsung duduk di salah satu bangku yang tersedia. Masih ada waktu sekitar 3 jam sebelum waktunya bekerja. Fira masih sempat untuk membaca sedikit isi dari buku yang ia pegang itu.
"Gimana kemarin? Puas pergi ke clubnya?"
Suara yang terkesan diucapkan mendadak itu membuat Fira mengalihkan pandangannya dari buku. Namun, setelah mengetahui siapa pemilik suara itu, Fira kembali asyik melihat tulisan yang ada di buku itu. Setidaknya untuk kali ini, tulisan-tulisan dengan spasi kecil itu lebih menarik perhatian dibanding harus melihat wajah orang yang beberapa hari ini selalu membuatnya kesal.
"Kalau gak jawab, berarti puas nih kayaknya."
Lelaki itu memilih duduk di hadapan Fira. Hal itu membuat Fira jengah.
"Mau ngapain sih kamu di sini, Sel?"
"Jangan ketus gitu dong, aku di sini kan juga mau baca buku," jawab Ansel sambil membuka buku yang tengah ia pegang.
Fira tersenyum sinis. "Mau baca buku, atau mau hina aku lagi?"
Ansel tampak berpikir sejenak. "Mungkin, opsi kedua lebih menyenangkan."
"Jadi, gimana? Seru ya kemarin ke club? Pastinya seru dong, ya. Bisa ketemu sama om-om yang ganteng di sana."
Fira berusaha menuliskan telinganya. Ia malas meladeni ucapan Ansel yang semakin ngawur.
"Aku gak nyangka loh, Fir. Ternyata, mantan pacarku yang selama ini kelihatan kalem dan baik, rupanya menyimpan sebuah rahasia besar yang tidak orang ketahui. Rahasia besar itu ialah sering keluar malam, dan ke club lagi. Wow." Ansel lalu bertepuk tangan dengan meriahnya, seolah baru saja menonton sebuah pertandingan bola yang begitu spektakuler.
Beruntungnya, Bu Sinta selaku penjaga perpustakaan sedang tidak berada di sana. Jika Bu Sinta berada di sana, maka dapat dipastikan Ansel sudah ditendang keluar dari ruangan itu.
"Sebenarnya, aku gak begitu percaya kalau kamu itu sering pergi ke club. Asal, kamu mau jawab pertanyaan aku. Kenapa kamu sering keluar malam?" tanya Ansel.
Fira tidak menghiraukannya.
"Kenapa diam aja? Gak bisa jawab, kan? Berarti, dugaan aku selama ini memang benar, bahwa kamu itu bukan cewek baik-baik," ucap Ansel bersidekap dada.
Fira menatap Ansel jengah. "Aku diam, bukan berarti aku mengakui kesalahan aku. Aku diam, hanya karena aku malas meladeni omongan gak bermutu dari kamu."
"Oh iya, sebaiknya kamu ubah pandangan kamu terhadap aku. Perlu kamu ingat, tidak semua perempuan yang keluar di malam hari itu perempuan tidak benar. Mungkin, kamu hanya tidak tahu saja alasan mengapa ia suka keluar malam," lanjut Fira kemudian berlalu dari hadapan Ansel.
'Apa maksudnya?'
■■■
Ansel menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya. Sungguh hari yang melelahkan. Hari ini, ada 4 mata kuliah yang harus ditempuhnya. Padahal biasanya, hanya ada 2 mata kuliah yang ditempuhnya. Ini semua karena dosen yang meminta waktu tambahan belajar, mengingat sebentar lagi akan akhir semester.
Ngomong-ngomong soal kuliah, lelaki itu sudah mencapai semester ke enam di jurusan yang ia pilih. Lebih tepatnya, di jurusan yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya, yaitu pendidikan biologi. Ayah dan ibu Ansel ialah seorang dosen. Ayah Ansel merupakan dosen kimia, dan ibunya merupakan dosen fisika. Oleh karena itu, untuk melengkapi kedua mata kuliah itu, orang tuanya memaksa Ansel untuk berkuliah dengan jurusan biologi. Jadilah, Ansel memilih pendidikan biologi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu.
Ansel adalah putra satu-satunya, mengingat adik Ansel ialah perempuan. Oleh karena itu, sebagai putra satu-satunya, ia hanya bisa menuruti permintaan mama dan papanya untuk kuliah di jurusan yang mereka pilihkan. Beruntungnya, Ansel juga tidak bodoh-bodoh amat di mata kuliah itu, sehingga ia pernah mencapai IP 4 untuk semester ke 3.
Ansel meraih ponselnya yang ada di atas nakas, lelaki itu lalu membuka ponselnya. Layar bergambar wajah seorang gadis pun terlihat. Gadis itu ialah Fira, mantan kekasihnya, yang hingga saat ini masih dicintainya. Rasanya, Ansel tidak bisa percaya begitu saja, dengan sifat Fira yang berubah sekarang. Fira jadi sering keluar malam, dan Fira jadi terlihat ketus kepadanya. Apa jangan-jangan, pengaruh dunia malam itu telah merubah Firanya yang dulu?
"Fir, apa benar semua dugaan aku selama ini? Apa benar bahwa kamu sekarang udah gak sebaik yang dulu? Apa benar, sekarang kamu sering ke club? Apa benar, Fir?"
Ansel merubah posisinya menjadi duduk dengan tumpukan bantal sebagai sandarannya.
"Aku gak nyangka, Fir. Kamu itu gadis yang begitu manis, dan sekarang, kamu berubah. Aku gak bisa percaya hal itu, Fir."
Tiba-tiba, Ansel teringat akan ucapan Fira tadi siang.
"Oh iya, sebaiknya kamu ubah pandangan kamu terhadap aku. Perlu kamu ingat, tidak semua perempuan yang keluar di malam hari itu perempuan tidak benar. Mungkin, kamu hanya tidak tahu saja alasan mengapa ia suka keluar malam."
Ia jadi ragu, apakah dugaannya selama ini benar tentang Fira yang suka keluar malam? Tapi, para tetangga Fira saja sudah berpikiran yang sama dengannya. Jadi, apa ia salah?
Ansel mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar seperti kehilangan akal ketika berpikir tentang Fira.
Lelaki itu membuang ponselnya ke atas kasur, lalu berjalan keluar dari kamar. Ia hendak mengisi perut kosongnya dengan beberapa cemilan.
"Mau kemana kamu?" tanya Ansel ketika tak sengaja melewati kamar Adel, adik perempuannya. Ansel melihat Adel seperti siap untuk keluar rumah, dengan dress pendek berwarna hitam.
"Kepo banget, sih," ketus Adel. Hubungan keduanya memang tidak terlalu harmonis. Perbedaan umur 5 tahun antara keduanya, membuat keduanya seringkali berdebat akan hal-hal kecil.
"Kamu mau kemana pakai dress pendek kayak gitu?" tanya Ansel lagi.
Bukannya menjawab, Adel malah tetap fokus pada kegiatannya memasang high heels di kakinya.
"Kalau ditanya itu jawab."
Adel menatap Ansel jengah. "Apa urusan kamu sih? Aku mau pergi, ya suka-suka aku lah."
"Jelas, itu urusan aku, aku ini abang kamu."
"Oh iya, emang sih kamu abang aku. Tapi, apa pernah aku bertanya pas kamu mau keluar? Enggak, kan? Jadi, stop kepoin urusan aku."
Adel mengambil sling bag yang berwarna senada dengan dress dan high heelsnya, lalu berjalan melewati Ansel.
"Kamu mau jadi cewek gak benar, ya?" tanya Ansel yang membuat Adel naik darah.
"Udah aku bilang, bisa gak sih, gak usah ikut campur urusan orang? Pantas aja, kak Fira itu sekarang kelihatan gak suka sama kamu, kamu aja suka ikut campur masalah orang lain."
Ansel terdiam. Darimana adiknya itu tahu perihal ketidaksukaan Fira pada dirinya?
"Oh iya, satu lagi, aku mau ingatin satu hal sama kamu. Jangan pernah memandang orang lain rendah, jika kamu belum tahu kebenarannya. Aku ingatin sama kamu, suatu saat kamu bakal nyesal karena telah memandang rendah terhadap orang lain."
Setelah berucap demikian, Adel berjalan pergi, meninggalkan suara ketukan high heelsnya pada lantai.
'Aku benar-benar gak paham dengan ucapan Adel.'
━━━┅┅☆★☆┅┅━━━
Kamu hanya tahu namanya, tapi tidak tahu ceritanya. Jadi, berhenti untuk menghakimi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro