|| Part 8 ||
Happy Reading✨
"I found a girl, beautiful and sweet. I never knew you were the someone waiting for me ...."
Penggalan lirik lagu "Perfect" itu mengalir indah dari mulut Eriko. Sesekali, lelaki itu tersenyum, sembari sesekali melirik sebuah paperbag yang ada di jok belakang mobilnya. Ia sungguh tak sabar untuk memberikannya pada Fira. Ya, Fira. Gadis yang telah lama membuatnya jatuh cinta.
Perbedaan usia yang terlampau cukup jauh, yaitu 7 tahun, tidak membuat lelaki yang kini berprofesi sebagai CEO dari perusahaannya sendiri itu menyerah untuk mendapatkan hati Fira. Fira memang belum mengetahui isi hati dari seorang Eriko, namun, Eriko berharap sesegera mungkin ia dapat menyatakan perasaannya pada sang pujaan hati.
Zhafira Sasikirana, seorang gadis cantik yang tangguh. Ketulusan hatinya juga menjadi nilai plus di diri gadis itu, yang membuat Eriko sulit untuk berpaling pada gadis lain, selain Fira. Ya, namanya juga sudah cinta. Apa yang bisa diperbuat lagi, selain memperjuangkan? Begitu pemikiran dari seorang Eriko Widanael.
Sebenarnya, bisa saja Eriko memilih pasangan hidup yang seumuran dengannya. Jabatannya sebagai CEO di perusahaan ternama, dan wajah tampannya selalu bisa menarik perhatian para wanita-wanita karir yang bekerja satu lingkungan dengannya. Akan tetapi, Eriko percaya bahwa 90% dari wanita itu hanya memandang fisik serta harta saja. Berbeda dengan Fira yang Eriko kenal dengan begitu baik.
"Semoga, kamu suka ya dengan pemberian saya, Fir."
Eriko mengembangkan senyumnya, kala mengingat setiap inci wajah Fira yang begitu cantik. Aneh. Mengapa ia bisa sejatuh cinta itu kepada Fira? Padahal sebelumnya, jangankan untuk jatuh cinta, untuk sekadar kagum terhadap seseorang yang bergender perempuan saja ia tidak pernah.
Sepertinya, aura dari seorang Fira memang begitu kuat untuk menarik perhatian dari Eriko.
Eriko memutar stir mobilnya, masuk ke kompleks perumahan Indah Permata, tempat dimana rumah Fira berada. Oh iya, satu lagi yang membuat Eriko kagum dengan Fira, yaitu jiwa pekerja keras yang dimiliki oleh gadis itu. Di usianya yang belum genap 20 tahun, gadis itu sudah berani untuk mengambil cicilan kredit untuk membeli sebuah rumah yang kini ditinggalinya.
Benar-benar ciri istri idaman, pikir Eriko.
"Loh, kenapa rumah Fira ramai-ramai?" tanya Eriko pada dirinya sendiri. Lelaki itu terheran kala melihat beberapa wanita paruh baya tengah berdiri di depan rumah Fira. Lelaki itu lalu membelalakkan matanya kala melihat Fira yang tengah terduduk— atau mungkin terjatuh di lantai sambil menangis.
Secepat mungkin, Eriko memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Fira, dan langsung keluar dari mobil.
"Ada apa ini?" tanya Eriko. Lelaki itu langsung menghampiri Fira yang masih menangis, dan membantu gadis itu berdiri.
"Oh, kamu ya, yang kemarin pergi malam sama Fira? Pasti kamu juga yang temani Fira ke club, iya kan?" tanya Bu Marni.
Eriko bingung. Apa maksud pertanyaan ibu itu tadi?
Eriko menoleh ke arah Fira, kemudian bertanya kepada gadis itu, apa yang sebenarnya terjadi? Fira lalu menceritakan perihal malam dimana Eriko mengantarnya pulang, kemudian gosip-gosip yang beredar, dan terakhir tentang tasnya.
Eriko mengangguk paham. Lelaki itu berdiri, kemudian berdeham.
"Sebelumnya, perkenalkan saya Eriko Widanael, CEO dari Perusahaan Widanael."
Ketiga ibu-ibu itu langsung terkejut kala mendengar perkenalan diri dari Eriko. Perusahaan Widanael, siapa yang tidak mengenal perusahaan itu? Perusahaan yang bergerak di bidang industri itu sangat terkenal, mengingat memiliki CEO yang begitu tampan dan muda. Dan, ternyata, CEO itu ialah Eriko sendiri?
"Dan, yang di samping saya ini adalah Fira, rekan kerja saya. Tidak mungkin kami berdua berbuat yang aneh-aneh di rumah yang jelas-jelas hanya ditinggali sendiri oleh Fira. Malam itu, saya hanya mengantarkan Fira untuk pulang ke rumah. Tidak lebih, hanya sekadar mengantar. Karena, setelah itu, saya langsung pulang ke rumah," ujar Eriko.
"Untuk urusan tas, seperti yang sudah ibu-ibu dengar tadi, Fira menjelaskan bahwa kemungkinan terbesar tasnya tertukar dengan tas milik temannya. Jadi, apa lagi yang perlu dipermasalahkan?" tanya Eriko.
"Maaf, Nak Eriko. Itu tetap jadi masalah, mungkin memang betul anda adalah teman dari Fira. Akan tetapi, tidak ada yang tahu jika ternyata Fira itu memang suka pergi ke club, dibuktikan dari tasnya tadi. Dan soal tas yang tertukar, bisa saja itu hanya alasan dari Fira saja," ucap Bu Diah yang masih tidak percaya. Sudah jelas-jelas bukti ada di depan mata.
Eriko mengulum senyumnya. "Baik. Kalau begitu, Fira, apa kamu bisa menelepon teman kamu?"
Fira mengangguk. Sedetik kemudian, ia baru teringat, bahwa ponselnya ada di dalam tasnya, yang terbawa oleh Livia.
"Maaf, Eriko, hp aku ada di tas. Tasnya kan ada di Livia," cicit Fira.
"Halah, alasan aja. Bilang aja kamu itu gak berani telepon teman kamu!" cecar Bu Rina.
Fira menggeleng ketakutan.
"Permisi, ini ada apa, ya?" tanya seseorang. Fira segera menoleh, dan mendapati Livia ada di sana.
"Livia!" pekik Fira.
"Oh, jadi kamu yang namanya Livia?" tanya Eriko.
Livia mengangguk. "Iya, aku yang namanya Livia. Oh iya Fir, aku ke sini mau bilang kalau tas kita itu tertukar."
Fira segera mengangguk dan tersenyum. Ia segera membereskan tas milik Livia yang sempat tercecer isinya gara-gara ulah Ansel dan tetangganya. Fira memberikan tas itu kepada Livia, dan menerima kembali tas miliknya dari Livia.
"Ibu-ibu bisa lihat, kan? Tas mereka benar tertukar," ujar Eriko.
Sementara ketiga ibu-ibu itu hanya bisa terdiam.
"Lain kali, jika belum tahu faktanya, alangkah lebih baik untuk tidak langsung menghakimi," ujar Eriko lagi.
"Iya, kami bertiga minta maaf ya, Fira. Kami sudah menuduh kamu yang tidak-tidak," ucap Bu Marni mewakili Bu Rina dan Bu Diah.
Fira mengangguk, pertanda ia sudah memaafkan ketiganya. Bu Marni, Bu Rina, dan Bu Diah pamit dari sana dengan perasaan bersalah, karena sudah menuduh Fira yang tidak benar.
"Sebenarnya, ini ada apa, Fir?" tanya Livia. Fira menceritakan secara singkat masalah salah paham itu. Livia segera meminta maaf. Karenanya, Fira jadi kena tuduhan seperti itu. Livia mengakui bahwa dress pendek itu memang miliknya. Lebih tepatnya, pemberian dari temannya. Temannya mengundang Livia untuk hadir di pesta ulang tahunnya yang diadakan di club itu.
"Iya, gak apa-apa kok, Liv. Aku juga mau ucapin terima kasih karena kamu udah datang tepat waktu, jadinya ibu-ibu itu tahu kebenarannya seperti apa," ujar Fira.
"Sama-sama, Fir. Ya udah, kalau gitu, aku pulang dulu, ya. Sampai besok, Fir."
"Hati-hati, Liv."
Sepeninggal Livia, Fira menoleh ke arah Eriko. "Terima kasih ya, kamu udah bantu aku selesaikan masalah tuduhan tentang tas itu."
"Kamu gak perlu ucapin terima kasih. Itu udah tugas saya sebagai teman untuk melindungi kamu. Lagian, tuduhan itu ditujukan untuk saya, jadi nama baik saya juga bisa tercemar."
Fira mengangguk tersenyum.
"Oh iya, ada apa ke sini?"
"Aku mau antarin sesuatu buat kamu. Tunggu sebentar, ya."
Eriko segera berjalan menuju mobilnya, dan kembali dengan membawa sebuah paperbag di tangannya.
"Ini."
Eriko menyodorkan paperbag itu kepada Fira. Fira membuka isi paperbag itu dan menemukan pancake strawberry kesukaannya.
"Ini buat aku?"
Eriko mengangguk.
"Kamu ngapain repot-repot bawain kue buat aku?"
"Enggak repot kok. Itu buatan mama, katanya buat calon menantu."
━━━┅┅☆★☆┅┅━━━
Ketika aku memutuskan untuk mencintaimu, maka di saat itu juga aku memutuskan untuk selalu menjagamu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro