Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

|| Part 21 ||

Happy Reading ✨

"Makan dulu, Del. Ini udah aku beliin sate ayam kesukaan kamu."

Ansel menggoyang-goyangkan bungkusan plastik yang berisi seporsi sate ayam itu ke hadapan Adel. Ansel berharap, adiknya itu dapat berselera makan ketika mendengar kata "sate ayam" yang diucapkannya. Adik perempuannya itu memang sangat menyukai sate ayam, melebihi makanan apapun.

Pernah suatu kali, Ansel mengajaknya untuk makan pizza di salah satu mall. Akan tetapi, adiknya itu malah memilih makan sate ayam yang ada di pinggiran jalan. Ansel yang pada saat itu sangat menginginkan pizza untuk mengisi perutnya, terpaksa mengiyakan permintaan adiknya untuk maka sate ayam.

Ansel heran, mengapa adiknya itu sebegitu cintanya terhadap sate ayam? Padahal, bagi Ansel, lebih enakan pizza kemana-mana dibanding sate ayam. Ya, tentunya selera orang itu berbeda-beda. Ansel tidak bisa memaksakan seleranya kepada adiknya.

"Gak nafsu makan."

Adel memejamkan matanya kembali, sungguh, ia sedang tidak berselera untuk makan. Sekalipun, telinganya tadi mendengar kata "sate ayam", akan tetapi, tetap saja itu tidak menggugah selera makannya.

"Tapi, Del, kamu itu dari semalam belum makan. Ini udah siang loh. Ayo, makan ya. Aku udah capek-capek beliin sate ayam buat kamu, makan ya."

Ansel tetap pada pendiriannya untuk membujuk Adel, begitupula dengan Adel yang masih teguh pada pendiriannya untuk tidak mengiyakan bujukan Ansel.

Sejujurnya, ia merasa kasihan dengan Ansel, yang sudah capek-capek membelikannya sate ayam kesukaannya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Kali ini, Adel benar-benar tidak nafsu makan.

"Ya udah, kalau kamu gak mau makan, aku gak bakal paksa. Tapi, kalau kamu nanti mau makan, ini satenya ada di meja."

Ansel memilih duduk di sofa yang jaraknya sekitar 3 meter dari ranjang Adel. Lelaki itu memilih untuk bermain ponselnya, melupakan kekesalannya pada Adel yang selalu menolak makan.

"Bang," panggil Adel.

Ansel melihat Adel, kemudian mengernyitkan dahinya. "Tumben kamu panggil aku dengan sebutan abang?"

Tidak biasanya Adel seperti itu. Memang, sedari dulu, Ansel selalu berharap untuk dipanggil abang oleh adiknya itu. Akan tetapi, untuk sekarang ini, panggilan tersebut terkesan aneh terdengar, mengingat setelah sekian lama baru terucap.

"Bukannya dari dulu kamu mau aku panggil dengan sebutan abang?" tanya Adel kembali, yang membuat Ansel bingung untuk berkata-kata.

"Ya, iya sih. Tapi, kesannya aneh kalau kamu tiba-tiba manggil aku seperti itu sekarang."

Adel tersenyum. "Udah, pembahasan itu gak penting sekarang. Ada yang mau aku bahas sama kamu."

Mendengar ucapan Adel, Ansel berjalan mendekati ranjang Adel.

"Kamu mau bahas apa?"

"Duduk dulu di situ." Adel menunjuk kursi yang ada di sebelah ranjangnya.

"Iya, udah. To the point aja langsung, kamu mau bahas apa?"

Adel berdecak. "Iya, sabar sedikit."

Adel membetulkan posisinya yang tadi tengah berbaring, menjadi duduk dengan bantal sebagai sandaran.

"Sebelumnya, aku mau tanya. Apa kamu masih punya perasaan sama kak Fira?"

Pertanyaan Adel membuat Ansel bungkam. Ia bingung, harus menjawab apa. Di satu sisi, memang benar bahwa ia masih mempunyai perasaan terhadap Fira. Dengan kata lain, ia masih sangat mencintai Fira.

Akan tetapi, di sisi lainnya, ia juga merasa ia merasa bahwa tak sepantasnya rasa itu timbul. Ia sudah terlanjur kecewa dengan perubahan gadis itu.

"Kenapa diam aja? Kamu masih punya rasa, kan untuk kak Fira?"

Ansel dengan cepat menggeleng. "Enggak. Aku udah nggak punya rasa dengan dia."

Adel tersenyum. "Gak usah bohong. Aku tahu kok, kamu masih punya rasa untuk kak Fira. Itu terlihat jelas di mata kamu, saat menatap kak Fira."

Ansel memutar matanya jengah. Adel yang memberi pertanyaan, dan Adel sendiri yang keukeuh pada tebakannya.

"Ada apa kamu tanya seperti itu?"

"Aku harap, kalau memang kamu masih mempunyai rasa terhadap kak Fira, perjuangin itu. Sebelum, kamu akan keduluan dengan lelaki lain, yang lebih cepat dalam mengungkapkan rasanya."

"Aku rasa udah gak ada yang pantas aku perjuangin. Fira itu bukan gadis yang benar. Dia udah berubah, dan perubahan itu membuat aku benar-benar kecewa."

Adel melihat raut kekecewaan yang terpampang di wajah Ansel. Namun, dibalik kekecewaan itu, Adel lah yang paling merasakan yang namanya kecewa. Dia kecewa, karena abangnya itu benar-benar sudah salah dalam berpersepsi.

"Jika kamu berpikiran bahwa sekarang kak Fira sudah berubah total, maka sekarang juga, aku mau kamu buang jauh-jauh pikiran itu."

"Aku benar-benar gak paham dengan maksud kamu, Del. Beberapa saat yang lalu juga kamu berkata seolah persepsi aku ini salah, dan mengatakan seolah aku ini orang jahat yang telah berburuk sangka kepada Fira. Akan tetapi, aku benar-benar gak mengerti maksud perkataan kamu. Sekarang, aku minta kamu jelaskan sama aku. Atas dasar apa kamu bisa mengatakan bahwa persepsi aku ini salah?"

"Kak Fira itu sebenarnya ...."

■■■

"Fira, tunggu sebentar."

Fira menoleh ke belakang, dan mendapati Ansel berjalan setengah berlari ke arahnya.

Gadis itu mengerutkan keningnya, untuk apalagi Ansel memanggilnya?

"Aku perlu bicara sama kamu, Fir," ujar Ansel.

Fira menggeleng. "Nggak ada yang perlu kita bicarain lagi, Sel."

"Ada, Fir. Aku harus bicarakan ini, dan ini penting."

Fira tersenyum, menatap lekat kedua bola mata Ansel. "Sepenting apa? Kamu mau mengecap aku sebagai perempuan gak benar lagi? Udah cukup, Sel. Aku muak dengerin semua ucapan kamu yang sama sekali gak bermutu itu," tegas Fira.

Gadis itu melanjutkan langkahnya, ia harus pergi dari sana. Ia muak jika harus terus berhadapan dengan Ansel. Namun, sebelum gadis itu melangkah jauh, Ansel mencegatnya.

"Apa sih, Sel?" Fira menghempaskan tangan Ansel yang mencegatnya. "Udah aku bilang, kan? Udah gak ada lagi yang mesti kita bicarain."

"Ada, Fir. Ini penting, dan aku janji, kali ini gak bakal ada lagi kata-kata yang menyinggung kamu. Aku udah tahu semua kebenarannya, Fir. Aku udah tahu semuanya."

"Kebenaran perihal apa?"

"Itu dia yang akan aku bicarakan, tapi gak di sini. Kita duduk di sana aja." Ansel menunjuk sebuah bangku yang ada di taman kampus.

"Oke."

Ansel tersenyum, sepertinya Fira mulai luluh untuk ia ajak bicara. Langkah selanjutnya yang harus ia lakukan ialah ia harus meminta maaf kepada Fira atas semua tuduhannya selama ini.

━━━┅┅☆★☆┅┅━━━

Ada sebuah rasa yang kupikir, tak pantas mendapatkan perjuangan kembali. Namun, naasnya, justru aku yang tak pantas untuk dipertahankan kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro