|| Part 18 ||
Happy Reading ✨
Langkah kaki Ansel perlahan mendekati ranjang di ruangan serba putih itu. Setetes demi setetes air mulai mengalir jatuh dari pelupuk matanya. Lelaki itu mengelus puncak kepala gadis yang tengah terbaring lemah di ranjang itu. Gadis yang biasanya selalu membuat Ansel emosi, kini terlihat begitu pucat, tanpa polesan make up sedikitpun.
Ansel menarik kursi yang ada di samping ranjang, mendekat ke arahnya. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya. Tangannya yang tadi mengelus puncak kepala gadis itu berpindah menjadi mengelus lembut tangan itu.
“Adel, kenapa kamu gak pernah cerita? Kenapa kamu gak pernah ngeluh sakit di depan aku? Kenapa kamu gak pernah anggap aku sebagai abang, tempat kamu bisa mengeluh?”
Ansel tidak bisa menahan air matanya untuk mengalir lebih deras. Ia tidak peduli, jika nanti ada suster yang datang dan mengatainya lelaki lemah. Lagian, siapa yang tidak menangis, jika mendapat kabar buruk secara tiba-tiba? Seperti tidak ada aba-aba yang bisa diberikan, Ansel langsung dikejutkan oleh kabar yang benar-benar menyayat hatinya.
Adelicia Rivandrika, adik perempuan satu-satunya, didiagnosa mengidap penyakit kanker tulang stadium akhir. Dokter memvonis waktu hidup Adel yang hanya tersisa hitungan bulan. Awalnya, Ansel tidak percaya. Mana mungkin, adiknya yang ia ketahui sebagai gadis yang kuat itu mengidap penyakit seberat itu?
Dulu, saat Adel berusia 5 tahun, dan tangannya terluka akibat tertusuk jarum saja, ia tidak menangis. Ia hanya mengaduh, dan langsung bersikap biasa saja. Lantas, mengapa sekarang dokter bisa memvonis adiknya seperti itu?
“Del, sekarang bilang sama aku. Bilang sama aku kalau semua ucapan dokter itu salah. Bilang sama aku, kalau dokter itu salah mendiagnosa penyakit kamu.”
Ansel menggenggam erat tangan Adel seolah Adel akan pergi meninggalkannya saat itu juga. Ansel memejamkan matanya, berusaha untuk menahan tangisnya agar tak makin meledak, namun sulit.
“Kamu kenapa nangis?”
Suara itu membuat Ansel membuka matanya. Ia segera menghapus bulir air yang masih tersisa membasahi matanya.
“Kamu udah sadar? Ada yang sakit? Haus, gak? Mau minum? Mau makan?” tanya Ansel bertubi-tubi. Adel yang baru sadar dari pingsannya, seketika merasakan pusing yang amat melanda ketika diserbu dengan seribu pertanyaan milik Ansel. Gadis itu memegang kepalanya, membuat Ansel berkali-kali lipat cemas.
“Kamu kenapa? Masih sakit? Aku panggilin suster, ya.”
Saat Ansel hendak berlari keluar dan memanggil suster, Adel menahan lengan abangnya itu. “Nggak usah panggilin suster.”
“Tapi, tadi kamu kelihatan pusing, Del. Aku takut kamu kenapa-napa.”
“Aku pusing itu karena kamu!”
Ansel mengernyitkan dahinya. “Maksudnya?”
“Kamu sadar gak sih? Tadi pas aku baru sadar, kamu langsung menyerbu aku dengan beribu pertanyaan. Aku pusing bukan karena sakit, tapi pusing karena kamu!”
“Maaf, Del. Aku tadi khawatir sama kamu.”
Ansel kembali duduk di kursi tadi.
“Kamu kenapa wajahnya serius banget?” tanya Adel.
“Selama ini, kamu anggap aku apa, Del? Selama ini, kamu anggap aku apa?” tanya Ansel, yang kedengaran seperti membentak.
“Maksud kamu apa, Sel?”
“Selama ini, kamu gak anggap aku abang kamu, ya? Kenapa selama ini kamu gak pernah jujur dengan aku?”
Adel bingung. Ia tidak mengerti maksud dari pertanyaan Ansel.
“Aku benar-benar gak ngerti deh kamu ngomong apa, Sel.”
“Selama ini, kamu nyembunyiin soal penyakit kamu dari aku. Iya, kan?”
Adel terdiam. Darimana Ansel tahu soal itu?
“Kamu ngomong apaan, sih? Penyakit? Penyakit apa? Aku gak sakit kok.” Adel berusaha mengelak.
“Del, cukup. Jangan bohongin aku lagi. Jangan buat aku merasa bahwa aku ini adalah abang paling bodoh sedunia, yang tidak tahu perihal kondisi adiknya.”
Adel masih terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ansel sudah mengetahui rahasia besar yang selama ini berusaha ia tutupi.
“Ngomong, Del,” ujar Ansel. “Jangan diam aja. Aku butuh kejujuran dari kamu.”
“Iya, Sel. Selama ini, aku itu sakit. Aku mengidap penyakit kanker tulang. Awalnya, aku pikir aku bakalan sembuh. Tapi, semakin ke sini, aku jadi ragu kalau harapan aku itu akan menjadi nyata.”
“Kamu ngomong apa, sih? Kamu itu pasti sembuh. Aku yakin itu,” ujar Ansel.
“Papa dan mama udah tahu soal penyakit kamu?” tanya lelaki itu. Adel menggeleng.
“Kamu itu benar-benar gak anggap kami sebagai keluarga, ya?”
Adel kembali menggeleng. “Awalnya, aku pikir, aku bisa selesaikan masalah ini sendirian. Aku gak mau bikin papa dan mama, termasuk kamu khawatir. Jadi, aku segera mencari kerja di club, untuk menambah uang buat pengobatan aku. Tapi, lama kelamaan, bukannya sembuh, penyakit ini malah jadi makin parah.
Pada saat itu, aku berniat untuk memberitahu soal penyakit ini. Akan tetapi, di saat itu juga, mama dan papa malah berpikir aku ini gadis gak benar, dan mereka marah sama aku. Aku kecewa, karena mereka dengan gampangnya berkata seperti itu, padahal mereka gak tahu apa yang terjadi. Aku kecewa. Dan, akhirnya aku memutuskan untuk gak kasi tahu soal penyakit ini sama kalian.”
Adel menarik napasnya, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Gadis itu menatap lekat abangnya itu. “Maaf, aku gak kasi tahu, bukan berarti aku gak anggap kalian keluarga, tapi ya karena masalah itu.”
Ansel terhenyak. Selama ini, dirinya beserta kedua orang tuanya telah salah menilai Adel. Mereka berpikir, bahwa Adel ialah gadis yang tidak baik, yang hobinya keluyuran tidak jelas, bahkan hingga berani ke club. Siapa yang bisa menyangka? Semua tuduhan kepada Adel itu jelas salah total. Adel yang selama ini seharusnya membutuhkan sosok keluarga untuk menemaninya melawan penyakit, justru malah tidak ditemani, bahkan hingga dituduh yang tidak-tidak.
Ansel bangkit dari kursinya, kemudian memeluk adik perempuan satu-satunya itu.
“Maafin aku, juga papa dan mama yang selama ini udah salah dalam menilai kamu, Del. Selama ini, kami benar-benar udah jahat sama kamu. Aku janji, habis ini aku akan segera menghubungi papa dan mama untuk segera pulang. Aku janji, akan selalu menemani kamu melawan penyakit kamu ini, Del. Papa dan mama juga akan begitu. Kali ini, kami gak akan lagi meninggalkan kamu sendirian untuk berjuang melawan penyakit kamu itu.”
Adel membalas pelukan Ansel. Ada setumpuk rasa bahagia yang memenuhi relung hatinya. Ia begitu bahagia mendengar pernyataan Ansel. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan papa dan mamanya. Ia ingin memeluk kedua orang tuanya itu, setidaknya di saat-saat terakhir hidupnya.
━━━┅┅☆★☆┅┅━━━
Selama ini, bukan hati yang membenci yang telah memisahkan kita, melainkan, telinga yang enggan mendengar penjelasan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro