Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

|| Part 17 ||

Happy Reading ✨

Aww,” rintih gadis yang tanpa sengaja tertabrak Ansel.

“Adel?”

Gadis yang merasa namanya tersebut, mendongakkan kepalanya dan ia dapat melihat dengan jelas wajah lelaki yang telah menabraknya tersebut. Seketika, Adel merasa panik kala mendapati siapa lelaki tersebut.

“Bang? Ngapain ada di sini?” tanya Adel.

“Harusnya, aku yang tanya, kenapa kamu ada di sini?”

Ansel menarik lengan Adel keluar dari club tersebut.

“Kamu apa-apaan, sih? Sakit tahu.” Adel mengusap lengannya yang memerah akibat cengkraman Ansel di tangannya, terlebih lelaki itu menariknya keluar secara paksa, membuat beberapa orang di club tersebut menoleh ke arah mereka berdua.

“Sekarang, jelasin sama aku, kenapa kamu ada di club ini?” tanya Ansel dengan penuh penekanan.

“Oke, aku bakal jelasin, tapi nanti ya di rumah. Sekarang, aku lagi kerja, nanti kena marah dengan bos.”

“Kerja?”

Adel mengangguk. “Iya, aku kerja. Memangnya, kamu kira aku ngapain ada di club ini? Udah, ya, sekarang kamu pulang dulu. Nanti di rumah aku ceritain.”

Setelah menyelesaikan ucapannya, Adel dengan segera melenggang pergi. Padahal, Ansel baru hendak berbicara.

“Sejak kapan Adel kerja di club? Untuk apa juga dia kerja? Apakah uang yang diberikan selama ini oleh papa dan mama kurang?” tanya Ansel pada dirinya sendiri. Hal ini terkesan sangat aneh. Mana mungkin, Adel kekurangan uang, secara papa dan mamanya selalu memberikan uang dalam jumlah yang banyak untuk mereka. Lantas, untuk apalagi Adel bekerja?

■■■

Ansel mendudukkan tubuhnya di atas sofa. Ia meletakkan secangkir teh hangat untuk menemaninya menunggu kepulangan Adel. Lelaki itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian menghela napasnya. Sudah pukul 10 malam, dan Adel belum juga pulang. Harus berapa lama lagi ia harus menunggu?

Ansel meraih ponselnya yang sedari tadi tergeletak di atas meja, kemudian menyalakan benda pipih itu. Ansel membuka beranda instagramnya, menggulirnya dari atas hingga ke bawah. Tidak banyak akun yang diikuti oleh Ansel, hanya ada seratus akun saja. Ansel merupakan tipe lelaki yang malas untuk memfollow orang yang tidak dikenalnya. Terkadang, ia heran dengan jumlah following teman-temannya yang bisa menginjak angka seribu. Ansel tidak yakin, jika temannya itu mengenal betul semua yang diikutinya tersebut.

Di pertengahan aktivitasnya, Ansel mendengar suara gerbang rumahnya yang terbuka. Dengan segera, Ansel meletakkan ponselnya kembali ke atas meja, dan meraih pintu utama rumahnya.

“Akhirnya, kamu pulang juga. Aku nungguin kamu daritadi,” ujar Ansel.

“Ngapain kamu nungguin aku?”

“Loh, kamu lupa dengan ucapan kamu tadi? Yang katanya, saat pulang ke rumah mau cerita. Kamu lupa, ya?”

Adel menggeleng.

“Eh, mau kemana? Cerita dulu.”

“Bang, aku baru pulang kerja. Aku mau bersih-bersih badan dulu. Habis itu, aku bakalan cerita kok. Tenang aja.”

Adel berjalan menaiki tangga, dan berjalan menuju kamarnya.

“Menunggu itu emang gak enak, ya,” keluh Ansel. Lelaki itu menutup kembali pintu utama rumahnya. Ansel berjalan menuju sofa, dan kembali duduk di sana.

Cukup lama ia menunggu, Ansel pun merasa kesal. “Lama amat sih mandinya.”

Ansel memilih untuk menyusul ke kamar Adel karena adiknya itu tak kunjung turun dan menemuinya. Ansel mengetuk pelan pintu kamar Adel. Tak ada jawaban. Ansel memanggil nama adiknya itu. Lagi, tak ada jawaban.

“Adel, aku masuk, ya,” ucapnya meminta izin. Padahal, tanpa diberi izinpun, ia sudah menyelonong masuk.

“Adel? Kamu dimana?”

Ansel menjelajahi ruangan kamar Adel yang tergolong cukup luas tersebut, namun tidak menemukan tanda-tanda keberadaan adiknya.

Ansel melihat pintu kamar mandi yang sepertinya tidak tertutup rapat. Lelaki itu memanggil nama Adel, kali ini dengan suara yang lebih besar. Tetap saja, tak ada jawaban dari dalam sana.

Ansel mengetuk pelan pintu itu, namun pintu tersebut malah terdorong hingga terbuka. Ansel berjalan perlahan masuk ke dalam kamar mandi itu. Alangkah terkejutnya Ansel, kala mendapati adiknya terduduk di tepian kamar mandi dan tidak sadarkan diri. Pakaian yang digunakan Adel masih sama dengan pakaian yang digunakannya saat bekerja tadi, membuat Ansel yakin, adiknya itu belum sempat mandi.

“Del, bangun. Adel, please bangun. Kamu kenapa bisa seperti ini?”

Ansel menepuk pipi adiknya itu pelan, berharap Adel akan segera sadarkan diri. Melihat tidak ada respons dari adiknya itu, Ansel dengan sigap menggendong adiknya itu, dan berjalan setengah berlari meninggalkan kamar Adel. Ia harus segera membawa adiknya itu ke rumah sakit. Ia takut, Adel kenapa-napa.

■■■

Ansel sedari tadi tidak bisa berhenti mondar-mandir. Matanya juga tidak bisa berhenti untuk melihat ke arah pintu ruangan serba putih tersebut. Ia harap, dokter yang memeriksa Adel dapat segera keluar dan mengatakan bahwa adiknya itu baik-baik saja.

Waktu terus berjalan, namun dokter tak kunjung keluar. Ansel menghela napasnya. Lelaki itu berniat untuk mengintip kerja dokter dan suster yang ada di dalam ruangan tersebut lewat lubang kunci gagang pintu.

Akan tetapi, niatnya terhentikan karena setelahnya pintu tersebut terbuka, atau lebih tepatnya dibuka.

“Dok, gimana keadaan adik saya?” tanya Ansel, yang langsung berjalan mendekati sang dokter.

Dokter berjenis kelamin perempuan, dengan name tag bertuliskan “Risa Arumani” itu tidak menjawab pertanyaan Ansel, melainkan meminta Ansel untuk mengikutinya ke ruangan.

Ansel mengangguk, dan mengikuti dokter itu di belakang. Baris demi baris doa ia panjatkan sembari berjalan. Semoga, semoga, dan semoga, Adel baik-baik saja.

Jujur saja, sedari tadi, pikiran negatif selalu datang menghampiri Ansel. Lelaki itu berusaha mengenyahkan pikiran itu, akan tetapi, ia tidak bisa. Seperti ada sesuatu yang berat, yang akan terjadi pada Adel.

Dokter Risa membuka pintu ruangannya, dan mempersilakan Ansel untuk masuk. Ruangan dengan full AC itu membuat Ansel semakin tegang saja mendengar apa yang ingin disampaikan oleh dokter Risa.

“Silakan duduk.”

Ansel mengangguk sembari tersenyum kepada dokter Risa. Lelaki itu duduk, tepat berhadapan dengan wanita tersebut.

“Kalau boleh tahu, anda ini siapanya Adel?”

“Saya abangnya Adel, Dok.”

Bu Risa mengangguk. “Saya ingin bertanya, apakah sebelum-sebelumnya Adel pernah mengeluh sakit?”

Ansel menggeleng. Adiknya itu tidak pernah bercerita apapun kepadanya.

“Baiklah kalau begitu. Berarti, saya adalah orang pertama yang menyampaikan masalah ini.”

Ansel meneguk ludahnya. Sepertinya, ada berita tidak baik yang akan disampaikan oleh dokter Risa. Ansel dapat melihat perubahan raut wajah dokter itu.

“Sebenarnya, Adel itu ….”

━━━┅┅☆★☆┅┅━━━

Bohong rasanya, ketika aku berkata bila aku tidak mempedulikanmu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro