|| Part 10 ||
Happy reading ✨
Fira mengerjapkan matanya, kala mendengar suara ketukan pintu yang menggema masuk ke telinganya. Ia melirik jam dindingnya, mendapati jarum pendek berhenti di angka 11.
Siapa yang malam-malam begini mengetuk pintunya? Apa jangan-jangan itu adalah komplotan pencuri?
Fira cukup was-was. Perlahan, ia bangkit dari ranjangnya, kemudian berjalan menuju ruang tamunya. Di tangannya, sudah ia pegang sebuah sapu yang akan digunakannya untuk menyerang, jika benar ada komplotan pencuri di luar yang mengetuk pintunya.
Tok ... Tok ... Tok ....
Suara ketukan pintu itu masih saja mendengung di telinganya. Dengan gerakan yang diperlambat, Fira memutar kunci pintunya, kemudian membuka pintu tersebut.
Fira terkejut bukan main ketika melihat siapa yang berada di luar. Ia dengan segera melepas pegangannya pada gagang sapu, dan segera memeluk orang tersebut.
"Ya ampun, Chika," pekik Fira kegirangan. Ternyata, yang datang ialah Chika, adik sepupunya yang selama ini tinggal di Bogor.
"Jangan peluk kencang-kencang dong, Kak. Aku hampir kehilangan napas," ucap Chika, yang berusaha melepas pelukan Fira dari tubuhnya.
"Hehe, maaf, Chik. Soalnya, kakak senang banget kamu datang. Kok kamu datangnya gak bilang-bilang, sih? Kenapa malam-malam lagi? Kamu datang sama siapa? Sendirian? Nanti kalau kamu kena jahatin sama orang, gimana?" tanya Fira bertubi-tubi, yang membuat Chika kelimpungan untuk menjawab.
"Satu-satu kali, Kak, nanyanya," kesal Chika.
Fira terkekeh mendengarnya.
"Ini tamunya gak disuruh masuk dulu?" tanya Chika.
"Eh iya, ayo, masuk."
Fira lalu membantu Chika untuk membawa kopernya masuk ke dalam rumah.
"Ini sapu, kenapa ada di sini?" tanya Chika.
Fira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menyengir. "Hehe, tadi kakak kira yang ketuk pintu itu komplotan pencuri, jadinya was-was aja."
Chika hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar penuturan dari kakak sepupunya itu. Sejak kapan, pencuri bisa mengetuk pintu kala ingin menjalankan aksinya?
"Ya udah, ayo, duduk sini. Ceritain sama kakak, kenapa kamu datangnya gak bilang-bilang dulu?"
Chika mendaratkan tubuhnya di atas kursi kayu itu, dan mencari posisi nyamannya untuk duduk. "Ya, kan aku mau kasi surprise, Kak. Jadinya, gak bilang-bilang dulu."
"Oh gitu, sweet amat sih kamu. Oh iya, kamu datang sama siapa?"
"Sendiri, Kak."
Fira membulatkan matanya. "Kamu datang dari Bogor sendirian? Malam-malam begini?"
Chika mengangguk. "Sebenarnya, jadwal keretanya itu berangkat pukul 7 pagi. Tapi, karena ada gangguan teknis, jadinya diundur jam 3 sore baru berangkatnya. Aku sempat kebingungan nyari alamat kakak, jadinya baru tiba jam 11 di sini."
Fira menganggukkan kepalanya, saat mendengar cerita Chika. "Ya udah deh, syukurnya kamu gak kenapa-napa. Lain kali, kalau mau datang itu kabarin kakak dulu, atau paling enggak, datangnya berdua sama orang lain. Jadi, kamu ada yang nemenin."
Chika mengangkat kedua jempolnya untuk Fira. "Siap, Kak."
"Ya udah, karena ini udah malam banget, sekarang kamu bersih-bersih dulu, gih. Habis itu, kakak siapin makan bentar, kamu pasti belum makan. Iya, kan?"
Chika mengangguk.
"Udah, buruan bersih-bersih sana."
■■■
"Chik, hari ini kakak gak ada jadwal kuliah, kakak rencananya mau ajak kamu ke supermarket, kebetulan kulkas kakak udah kosong. Kamu mau, gak?"
Chika yang sedang selonjoran di atas permadani berwarna oranye itu, mengangguk. "Mau, Kak."
"Kalau mau ikut, mandi dulu gih. Kakak gak mau ya, kalau ajak kamu, tapi ilernya masih nempel di wajah."
Chika mengembungkan pipinya. Ia lalu menaruh ponselnya di atas meja. Dengan segera, gadis yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu berjalan menuju kamar mandi.
Melihat tingkah Chika, Fira hanya bisa geleng-geleng kepala. Adik sepupunya itu memang selalu kesal jika ada yang mengatainya ileran seperti tadi. Salah sendiri, sudah jam 9 pagi, namun belum mandi.
"Kak Fira!"
Fira hampir saja mati akibat serangan jantung, ketika mendengar suara teriakan Chika. Dengan segera, Fira menghampiri kamar mandi tempat Chika berada.
"Ada apa, Chik? Kok teriak-teriak, sih? Beruntungnya kakak gak punya riwayat penyakit jantung, kalau enggak, udh meninggal kena kamu."
Chika terkekeh. "Showernya rusak, Kak. Airnya gak turun-turun."
"Kok bisa?"
Fira segera masuk ke dalam kamar mandinya, ia mengetuk-ngetuk ujung shower, berharap air segera keluar dari ujung sana. Namun, nihil. Tidak ada setetespun air yang keluar.
"Duh, showernya pakai rusak lagi." Fira kebingungan sekarang, ia harus meminta tolong kepada siapa untuk memperbaiki showernya?
Apa minta tolong kepada Eriko saja? Tapi, ia masih malu dengan ucapan Eriko perihal menantu mamanya.
Fira memilih jalan lain, tapi tidak kunjung ditemukan orang yang dapat membantunya. Leta? Tidak mungkin gadis itu bisa memperbaiki showernya. Ansel? Lebih tidak mungkin untuk dihubungi. Fira masih kesal karena Ansel yang selalu berprasangka buruk kepadanya.
"Buruan, Kak, minta tolong sama orang buat perbaiki showernya. Chika mau mandi ini, udah tanggung basah ini mah. Pokoknya, Chika gak mau dibilang ileran lagi gara-gara gak mandi," protes Chika, yang membuat Fira semakin kebingungan.
Tidak ada jalan lain. Ia harus menelepon Eriko dan meminta bantuan lelaki itu.
Fira segera mengambil ponselnya yang ia taruh di meja ruang tamu. Fira menekan nomor Eriko, kemudian menghubunginya.
"Halo, Eriko."
"Iya, kenapa Fir?"
"Shower di rumah aku rusak, kamu bisa bantu aku perbaiki?"
"Bisa. Aku ke rumah kamu sekarang."
Tut ....
Panggilan terputus.
━━━┅┅☆★☆┅┅━━━
Tanpa aku sadari, aku selalu bergantung padamu akan hal-hal kecil seperti ini. Satu pintaku, jangan pergi. Aku takut, tidak akan menemukan sandaran diri yang baik sepertimu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro