25. Takdir
The Story is OnGoing ~ 25. Takdir
Penulis: Jafreida
Publikasi: Sabtu, 6 Maret 2021
💚💚💚
.
.
.
Menjadi mahasiswa IAIN, adalah mimpi sederhanaku. Sejak berkeinginan melanjutkan pendidikan, mungkin sejak awal tahun terakhir masa SMA ku, aku sudah memantapkan memilih kampus itu. Masih didalam kota tinggalku, juga kampus negeri satu-satunya di kota ini.
Aku ikut mendaftar SPAN-PTKIN dengan besar harapan dan doa untuk bisa lolos seleksi itu, dan ya Allah mengabulkannya. Aku lolos seleksi, diterima di kampus itu. Lega, juga senang bukan main ketika aku membuka website pengumuman itu.
Namun naas, Allah tidak benar-benar mengabulkan keinginanku. Website yang harus kukunjungi untuk melengkapi syarat-syarat masuk kampus itu error hingga h-1 deadline pengumpulan dan aku terlambat. Dan begitulah, aku gagal ketika tinggal satu langkah lagi.
Tak tahu harus menyalahkan siapa, barangkali Allah punya rencana lain untukku. Tapi, aku tak punya tujuan lain. Meski banyak kampus bagus di kota ini, tapi aku sama sekali tak berpikir untuk sekedar melirik.
Aku hanya punya plan A tanpa menyiapkan plan B, sebab itu aku bingung ntah mau berjalan kearah mana. Mungkin aku akan mencari kerja seperti temanku yang lain, tapi bahkan umurku belum mencapai tujuh belas tahun saat itu. Aku terlalu cepat masuk sekolah sehingga lulus diusia enam belas tahun.
Dalam kebingungan itu, aku menjalani hidupku berdiam diri di rumah. Melakukan hobi seperti menggambar atau menulis di waktu luang, sisanya kuhabiskan mengurus pekerjaan rumah, juga membantu mengurus keponakan-keponakanku.
Hingga suatu hari setelah dua bulan kemudian, Ardi me-reply story WhatsApp ku yang berisi gambar-gambar sketch. Dia minta ingin digambarkan juga dan meminta kertas gambar itu. Maka, kami berencana untuk bertemu.
"besok aku mau ke kampus UGC, bisa tuh mampir ke rumah kamu" balasan Ardi membuatku mengerutkan dahi. Mau apa dia ke kampus orang?
"hah? UGC? Mau ngapain?"
karna setauku, dia tidak begitu minat untuk kuliah dan memilih untuk langsung bekerja karena dia adalah anak sulung yang bisa jadi akan menjadi tulang punggung juga untuk keluarganya.
"mau coba daftar hehe, katanya disana bisa pake beasiswa bidikmisi. Kamu mau ikut?"
Aku berpikir. UGC? Hm, kampus itu memang swasta, tapi menjadi kampus terbaik di kota kami. Sepertinya tak terlalu buruk untuk mencobanya. Secercah harapanku tumbuh.
"boleh, besok nih?"
"iya, kamu siapin aja persyaratannya. Aku kesana bareng temenku yang udah daftar, tapi ya kita mah coba aja dulu"
"okee deh"
***
Pagi sekitar jam delapan, aku sudah berdiri dipinggir jalan raya. Menunggu Ardi dan temannya yang katanya sebentar lagi sampai. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka datang.
Beberapa bulan tidak bertemu, dan hanya bertukar kabar lewat chat aku merasa Ardi lebih tinggi sedikit, aku perlu mendongak untuk melihat wajahnya. Dengan segera aku duduk di belakang lelaki itu, dengan motornya kami menyusuri jalanan kota pagi itu
"apa kabar Mar? dah lama ya gak ketemu" kata Ardi di tengah perjalanan kami. Aku terkekeh menganggapi pertanyaannya.
"kangen ya?" tanyaku bercanda.
"ha? Gak kebalik?" tanyanya setengah berteriak, kami sampai diliriki beberapa pengendara motor lain yang melintasi kami. Kami sama-sama terkikik geli.
"udah focus aja nyetir, gausah ajak aku ngobrol deh" ucapku akhirnya. Lelaki itu menurut, ia kembali diam dan focus dengan jalanan di depannya.
Kami sampai di parkiran kampus lima belas menit kemudian. Aku maupun Ardi mengekori lelaki yang katanya adalah teman Ardi, lalu sampai di lobbi, lelaki itu berbicara dengan Ardi.
"saya mau ke atas dulu. Kalian ke ruang PMB aja tuh" ucapnya sambil menunjuk ruangan yang tak jauh dari kami berdiri. Ardi mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu mengajakku masuk ke ruangan yang di maksud.
"iya, memang disini bisa menerima beasiswa bidikmisi, tapi prosesnya panjang. dan juga beasiswa itu dibuka minimal untuk semester tiga"
Aku dan Ardi yang memang sangat tidak tahu-menahu soal beasiswa, mengangguk-angguk paham setelah dijelaskan oleh staf disana.
Lalu pertanyaan demi pertanyaan terjawab sudah. Ardi kemudian beranjak setelah menerima brosur mengenai kampus itu. aku ikut beranjak, lalu kami pamit keluar dari ruangan itu.
"kita duluan aja, aku udah bilang ke temenku" katanya ketika kami berjalan menelusuri lorong kampus untuk keluar. Aku mengangguk saja menanggapinya.
"tunggu disini ya, aku ambil motor dulu" katanya lagi sebelum hilang menuju parkiran. Tidak lama, dia kembali dengan motornya. Aku duduk dibelakangnya dan motor pun melaju.
"langsung pulang nih? Baru jam sepuluh" ucap Ardi sambil melirik kearahku sesekali.
"terserah kamu, aku ngikut aja, yang penting nanti dianter pulang sampe rumah" jawabku.
"ke taman kota dulu yuk" ajaknya.
"boleh" ucapku setuju.
Aku yang memang jarang ke kota, tidak begitu tahu soal tempat-tempat atau jalan di kota ini. maka aku hanya diam melihat jalan kemana Ardi membawaku. Benar, kami ke taman kota. Tidak terlalu ramai mungkin karena ini weekdays.
Kami duduk-duduk di kursi panjang, sambil membaca-baca brosur yang tadi kami dapatkan. Disana ada rincian biaya yang harus dibayar jika ingin mendaftar. Dan membuat aku megap-megap melihat deretan angka itu.
"kamu lanjut aja Mar, daftar disini" ujar Ardi serius. Aku menghela nafas.
"kayanya engga deh. Liat biaya masuknya aja udah bikin pusing" kataku jujur.
"coba aja dulu Mar. kamu kan anak bungsu, punya banyak kakak. Kalo aku jadi kamu sih aku yakin aja mau daftar" katanya lagi dengan yakin.
"hm, aku gatau. Kakakku banyak juga kan mereka punya urusan lain. Buat nikah, buat bikin rumahnya, aku gamau jadi nyusahin mereka lagi." Curhatku. Ardi terdiam sibuk dengan pikirannya sendiri.
"tapi sayang loh. Soal biaya mah bisa dipikirin nanti. Yang penting kalo kamu niat, pasti ada jalan Mar" ucapnya sok bijak. Aku menatapnya, dan dia terkekeh geli.
"kamu sendiri gimana?" tanyaku kemudian. Kini dia menatap lurus melihat orang berlalu-lalang.
"kemaren lusa aku ngelamar di perusahaan baru gitu. di daerah Plered. Doain aku ya, aku mau kerja dulu, nanti InsyaAllah nyusul kamu kuliah hehe"
Aku menghela nafas lagi. Kami kemudian sama-sama diam, sibuk memikirkan masa depan kami masing-masing.
"pulang aja yuk" ucapku sambil beranjak.
"yuk" ardi ikut beranjak dan menggendong tasnya. Kami kembali menyusuri jalan untuk pulang. Ardi mengantarku hingga depan komplek rumahku.
"makasih ya" ucapku setelah aku turun dari motornya.
"sama-sama Mar" jawabnya. Dia hendak melajukan motornya, sebelum kembali menoleh padaku.
"coba aja dulu Mar, daftar ya" ucapnya mencoba kembali meyakinkanku. Aku hanya mengangguk saja, meski tetap hatiku tak ingin, aku tidak ingin menyusahkan kakak-kakakku dengan kuliah yang biayanya begitu besar untuk orang seukuranku.
Aku melambaikan tangan ketika Ardi melajukan motornya pulang. Sosok itu hilang ditelan tikungan, lalu aku berjalan masuk ke rumahku.
***
Kita hidup di dunia kan cuma menjalani takdir.
Dan apakah kamu tahu kenapa takdir itu ghaib? Alias belum ketahuan sampai kita alami kejadiannya?
Takdir itu ghaib, karena Allah ingin memberi kita kesempatan untuk berbuat baik secara Lillaah. Karena Allah ingin melihat usaha keras kita untuk mendekat pada-Nya. Seandainya takdir tidak ghaib, maka tentu hidup ini tidak akan seru.
Dalam setiap kejadian, Allah punya peran.karena kita tidak akan bisa apa-apa tanpa kuasa Allah. Dan setiap kejadian yang kita Alami juga selalu ada alasan mengapa Allah timpakan. Tugas kita hanya perlu berbaik sangka kepada-Nya. Karena tentu Dia lebih tau mana yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya.
Lalu, sekarang aku jadi bertanya-tanya. Ada maksud apa aku bisa kuliah disini sekarang? kampus yang bahkan dulu tidak pernah aku duga aku akan menjadi salah satu mahasiswanya. Yah, sepulang dari kampus UGC saat itu, saat aku menceritakan pada kakakku, mereka menyetujui untuk aku daftar disana.
Bukan soal kampusnya yang aku pertanyakan, melainkan ini soal sosok gebetanku. Bagaimana aku bisa lupa bahwa dia sudah mendaftar di kampus itu jauh sebelum aku? ini serius, ketika Ardi mengajakku kesana, aku sama sekali tidak ingat bahwa Fajar juga mendaftar disana. Kemudian kami juga tidak membahas soal Fajar sama sekali. Jadi maksudku, apa yang Allah rencanakan untukku?
Aku kan sudah berusaha untuk move on. aku ingin menjalani kehidupan baru di kampus. Yah meskipun au dan Fajar beda fakultas, tapi tetap saja mengingat dia berada di kampus yang sama denganku membuatku terperangah.
Memang yah, jodoh gak kemana hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro