2. How We Met
This Story is OnGoing ~ 2. How We Met
Penulis: Jafreida
Publikasi: Kamis, 11 Februari 2021
💚💚💚
.
.
.
"Allah itu lebih tau mana yang terbaik untuk kita, melebihi kita sendiri."
Begitulah sepenggal kalimat yang ustadzah Halimah katakan waktu itu.
Aku tau pasti bahwa apa yang dikatakannya adalah benar. Aku tau meskipun aku tidak suka dengan sekolah favorit ini, Allah sudah menyiapkan banyak hadiah yang mungkin aku hanya bisa mendapatkannya disini.
Dan aku juga tau, jika keinginanku sekolah di yayasan Nurul Huda bersama teman-temanku dulu, mungkin aku tidak akan berubah sebanyak sekarang ini. Dengan lingkungan yang sama, teman-teman yang sama, sepertinya akan tetap membuatku menjadi seorang introvert yang sering dimanfaatkan.
Dan ya, bukan berniat sombong atau bagaimana meskipun aku tidak bersungguh-sungguh mengerjakan tes masuk sekolah favorit itu, nyatanya aku tetap diterima disana, dan aku tidak mungkin untuk membatalkannya.
Tidak. Aku tidak pintar, hanya saja Sang Kuasa seperti memang menempatkan jalanku disana. Aku hanya tidak suka harus beradaptasi dengan orang baru, lingkungan baru, yang sepertinya jauh berbeda dengan masa Madrasah Tsanawiyah dulu.
Tapi setelah dipikir-pikir, ini juga bisa menjadi kesempatanku untuk berubah. Berbekal pelajaran dari sebelumnya, seharusnya aku bisa menjadi diri yang baru ditengah orang yang belum mengenalku ini.
Masa ospek dua minggu yang lalu berlangsung menyenangkan. aku bertemu banyak teman baru yang beruntungnya akan jadi teman satu kelas denganku hingga lulus.
Dan di sana juga awal pertemuanku dengan seseorang yang aku harapkan bukan hanya menjadi teman kelas, melainkan juga teman hidup.
Seseorang itu bernama Fajar Dhiaurahman. Remaja lelaki yang pada jam kosong atau istirahat lebih sering duduk di pojok ruangan sendirian daripada bergabung dengan teman laki-lakinya bersenda gurau di luar kelas. Aku tidak pernah berpikir bahwa kedepannya ia adalah orang yang selalu berada dipikiranku, yang mampu membuat aku jatuh, sejatuh-jatuhnya.
Fajar. nama itu sangatlah pasaran, tapi aku menyukainya. Makna nama itu, atau si pemilik nama itu sendiri. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa menyukai lelaki introvert itu. Dia yang lebih banyak diam, dan sepertinya memang sulit beradaptasi. Aku sering memperhatikannya diam-diam sejak hari itu, saat dia menempati tempatnya di kelas yang sama denganku.
Kadang aku mengambil fotonya diam-diam, atau mencuri fotonya dari media sosial. Aku suka melihatnya berjalan bersama teman-temannya dengan wajah segar bekas wudhu dan lengan kemeja baju muslimnya yang digulung asal hingga siku. Aku suka melihatnya berlarian di lapangan saat jam olahraga, aku suka mendengar suaranya melantunkan ayat suci saat ibu Susi---guru PAI kami--- memintanya tilawah sebelum jam pelajarannya dimulai. Dan aku tau dan sadar bahwa rasa sukaku lebih dari teman-temanku yang juga 'nge-fans' dengannya.
Hingga waktu berjalan begitu saja. kebahagiaanku cukup sekedar melihat ia di tempatnya, melihat tawa yang perlahan semakin banyak ia keluarkan. Melihat senyum dari bibir pink yang tidak hanya ia tunjukkan padaku.
Melihat punggungnya saat ia turun dari bus yang kami naiki bersama sepulang sekolah. Tanpa sadar, dia menjadi salah satu dari banyak alasan aku datang dengan semangat ke kelas ini setiap harinya.
***
Jumat siang itu, aku sedang duduk di depan kelas ketika sekelompok anak laki-laki datang dari koridor menuju kelas kami. Tatapanku terfokus pada salah seorang diantaranya.
Fajar dengan seragam muslim sekolah kami. Lengan panjangnya ditekuk asal hingga siku, wajahnya terlihat segar dengan jejak bekas air wudhu, ia menyisir poninya ke belakang dengan jemarinya. Dengan cool-nya, ia berjalan melewatiku, tanpa melirik padaku sama sekali.
"Mar, pulang sekolah ikut kumpulan kan?"
Bukan Fajar, melainkan Ardi yang kini menjadi teman dekat Fajar juga teman dekatku. Dia duduk disampingku, membiarkan sekelompok teman-temannya masuk kelas, termasuk Fajar.
"iya. Tapi nanti aku mau ke perpus dulu"
"sama Ara?" Tanya Ardi antusias. Aku mengangguk.
"oke, aku ikut"
"gaada yang ngajak kamu kali" ucapku datar.
"gapapa, nanti biar bareng kan kita kumpulan"
"bilang aja mau ketemu sama Ara. Ya kan?"
Aku beranjak dari dudukku, hendak masuk ke kelas, Ardi mengikutiku dengan menjawab pertanyaanku dengan cengengesan.
"tau aja kamu Mar. hahaha"
Remaja itu berjalan melewatiku, menuju Fajar yang duduk di tempatnya. Sedangkan aku duduk di tempatku, bergabung dengan sekelompok cewe yang sedang berbincang sana-sini.
Tak begitu menarik, aku memperhatikan suasana kelas yang riuh manusianya sibuk dengan urusannya masing-masing. Tatapan mataku berhenti pada dua orang yang sedang melihat layar handphone di hadapannya, Fajar dan Ardi.
Aku mengenal mereka sejak masa ospek dulu. Fajar yang bersikap dingin, dan Ardi yang ramah. Lihat, mereka akur-akur saja, bahkan menjadi teman dekat. Sikap Ramah Ardi membuat aku mudah mengenal dan berteman dengannya, tapi kedekatannya dengan Fajar tidak membuat aku ikut dekat dengan lelaki dingin itu.
"Maryam!"
Nah, kalo perempuan yang berdiri di pintu kelas dan memanggil namaku itu, adalah Ara. Anak kelas sebelah yang dalam dua minggu ini sering terlihat bersama aku dan Ardi. Kami bertiga dekat, dalam waktu yang singkat itu, ditambah kami memiliki minat di bidang yang sama, maka kami memilih satu organisasi.
Aku beranjak menghampiri Ara.
"kenapa Ra?" tanyaku.
"tadi pagi kelas kamu ada jadwalnya Pak Arya kan?"
"ooh iya"
"ngerangkum bab dua kan?"
"iyaa"
"aku pinjem buku kamu dong hehe biar bisa nyalin duluan"
"ooh oke, bentar" aku kembali ke tempatku, mengambil buku yang dimaksud, dan memberikannya pada Ara.
"gamau pinjem buku aku aja Ra?" tiba-tiba suara Ardi terdengar dari belakangku, entah kapan ia berjalan kemari.
"jangan mau Ra, tulisan dia kaya cacing kepanasan" ucapku dengan tawa, Ara ikut tertawa.
"engga kok, tadi pagi aku nulisnya niat jadi tulisannya bagus"
"nanti aja, kapan-kapan aku pinjemnya ke Ardi ya"
Ardi terlihat senang mendengar itu, cengirannya melebar seketika.
"yaudah, aku ke kelas dulu yaa. Makasih Mar, Ardi juga" pamit Ara dengan melambaikan tangan padaku dan Ardi kemudian bergegas menuju kelasnya yang berada tepat di sebelah kelasku.
Tak lama kemudian, bel tanda masuk pelajaran terakhir berbunyi bersamaan dengan kedatangan Pak Gias dengan sebuah buku tebal di tangannya. Dan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pun dimulai.
"kaki kamu sakit?" Tanya Ardi saat kami berjalan menuju kelas Ara setelah Pak Gias menutup kegiatan belajar beberapa menit yang lalu.
"engga kok" aku menjawab dengan bingung.
"beneran? Bisa jalan?" Tanya Ardi lagi.
Kenapa si ni anak? Jelas-jelas aku sedang berjalan bersamanya sekarang, rasanya tidak ada yang aneh dengan cara berjalanku.
"bisa" jawabku singkat.
"yaudah kapan?" kali ini Ardi berjalan mendahuluiku, kemudian berhenti dan bersandar di tembok samping pintu kelas Ara.
"hah? Apanya kapan?" tanyaku dengan mengangkat kedua alis. Ikut berhenti dan bersandar disampingnya.
"jalan Mar, sama aku" Ardi menjawabnya dengan tawa.
"oh aja. Ooooh" jawabku jengah dengan mengangkat jari-jariku yang membentuk huruf 'o' di depan wajahnya.
Ardi semakin tergelak dan baru berhenti ketika Ara keluar kelas, disusul dengan teman-teman sekelasnya. Ardi menyapa beberapa siswa yang ia kenal, sedangkan aku langsung menarik Ara dan kami berjalan menuju perpustakaan, Ardi menyusul kami tak lama kemudian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro