Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

Jane berhenti berlari untuk mengatur napas, dia bersandar di sebatang pohon berkulit kasar dan merosot ke bawah. Dadanya naik-turun tak karuan dan lututnya lemas bukan main. Perlahan dia memejamkan mata, tidak lagi menangis. Hanya merasakan sakit dan perih di mana-mana. Dalam hati gadis itu berdoa untuk kedua orangtuanya dan berusaha berpikiran jernih agar bisa menemukan sang kakak, satu-satunya keluarga yang tersisa.

Jane melihat ke belakang, bumbungan asap dari kebakaran rumahnya masih terlihat. Seharusnya itu berarti belum lari terlalu jauh, dia juga merasa dirinya baru lari sebentar. Kembali menatap depan, hanya ada hamparan hutan dan pepohonan hitam sejauh mata memandang. Gambaran itu membuat kepala Jane pening.

Gadis itu terpejam, mengetuk-ngetuk kepalanya dan berharap bisa mengorek sedikit ingatan. Seminggu yang lalu, dia pernah diam-diam mengikuti James ke hutan atas perintah Martha.

Seperti biasa, pria sok jago dan sok-anti-kelaparan itu meninggalkan rumah tanpa sedikit pun menyendok sarapannya. Jadi Martha meminta Jane untuk mengikuti James sambil membawa sejumlah buah di tangannya. Atas perintah itulah, gadis bungsu tersebut mengendap mengikuti pria yang lebih tua empat tahun darinya tersebut.

Meskipun sempat tertinggal beberapa kali, Jane berhasil sampai ke tempat James memasang jebakan dan karena dia malas mendengar celotehan abangnya kalau tahu gadis tersebut membuntuti sejak tadi, alih-alih menjalankan tugas rumah. Jane mengeluarkan buah-buahan yang dia bawa dari dalam kantong plastik dan membuatnya seolah-olah natural ada di sana---meskipun dia tidak yakin James mampu tertipu trik murahan tersebut, mengingat tidak ada pohon belimbing hutan di sekitar sana.

Setelah merasa membaik, Jane kembali berdiri. Dia membungkuk sedikit untuk membersihkan kotoran tanah yang menempel di celana selututnya. Bawahan berwarna hijau pudar itu sudah gosong di sana-sini, Jane juga baru menyadari bahwa bau rambutnya hangus dan ia menerima sejumlah luka bakar di tangannya.

Membaca peta bukanlah keahlian Jane, apalagi sekarang dia harus menyusuri jalanan gelap dan berbau liar ini seorang diri tanpa bantuan apa pun. Berbekal insting dan ingatan yang samar-samar, gadis berambut pirang itu mulai berjalan menembus muka malam.

“James!” Dia berteriak, berharap mendengar balasan. “James!” Setiap teriakan selalu lebih kencang dari yang sebelumnya. Meskipun sadar bahwa tindakannya berbahaya, Jane tidak punya pilihan yang lebih bagus untuk menemukan kakaknya.

“James!” Tanpa menurunkan tingkat kewaspadaan, Jane melihat sekeliling hutan dengan awas. Dibandingkan James yang terlatih, sosok seperti Jane jauh lebih waspada darinya. Karena tidak pernah menerima pelatihan khusus untuk melindungi diri, Jane secara alami selalu waspada dalam keadaan apa pun demi bertahan hidup. Itu satu-satunya hal yang bisa dia banggakan di depan James.

Cahaya bulan pucat menyinari jalan, awan-awan hitam meninggalkan posisinya seolah tahu bahwa seorang gadis tengah kebingungan di tengah kelamnya hutan. Jane menepuk lengan bergantian, merasakan gigitan serangga di sana-sini. “JAMES!” Gadis itu terbatuk-batuk karena berteriak terlalu keras.

Dia berdeham dan mengerang pelan. Lama-lama pandangannya terbiasa juga dengan kondisi hutan. Pohon-pohon tinggi yang tidak terlalu rapat, bunyi kepak sayap kelelawar, suara-suara hewan kecil yang mirip seperti suara tikus, dan bunyi kasak-kusuk dari arah semak-semak. Kembali Jane meneriakkan nama kakaknya, berharap dia belum mati juga di dalam sana.

Masih tidak ada balasan. Jane mulai putus asa. Kendati demikian, dia tetap berjalan sambil memperhatikan semua hal di sekitarnya. Menggali ingatannya yang tidak cukup bagus, berusaha meyakinkan diri bahwa abangnya tidak berbelok suatu memasuki hutan hari itu.

Kali ini ketika Jane berteriak untuk yang entah ke puluhan berapa, ada suara kecil yang membalasnya. Dia berteriak sekali lagi untuk memastikan, suara yang tidak jelas itu kembali menyahut. Sekali lagi, sekali lagi, dan sekali lagi. Setiap kali Jane berteriak, sebuah sahutan akan terdengar meskipun tidak begitu jelas. Bahkan ketika Jane tak lagi berseru, balasannya senantiasa terdengar seolah-olah tengah menuntun.

Merasa bahwa dia mulai menemukan titik terang, Jane buru-buru meninggalkan tempatnya berdiri dan memantapkan hati untuk terus menerobos hutan. Melompati bebatuan dan batang-batang kayu yang patah, menginjak-injak dedaunan kering, menghindari batang besar, dan sesekali memekik sebab ada hewan yang melintas menjadi teman perjalanan sang gadis. Dia meneriakkan nama James lagi, kali ini balasannya terdengar lebih jernih.

“JAAAMMMMESSS!” Kedua tangannya Jane letakkan di sekitar mulut untuk memperkeras suara. Dia mendengar balasan tak sampai sedetik setelah itu.

“Jane.”

Lemah, tetapi lebih jelas daripada yang sebelum-sebelumnya. Kembali Jane memacu langkah memasuki hutan. Dia berlari dan terus berlari, memasang telinganya sebaik mungkin ketika setiap hitungan kedua puluh teriakan-teriakan yang memanggil namanya terus terdengar. Setelah ucapan yang hampir ketiga puluh, Jane tiba di tanah yang agak lapang dan dipenuhi dedaunan kering. Daerah sekitar area itu dipagari semak-semak belukar dan pohon-pohon yang lebih rapat dari tempatnya memulai perjalanan.

“James! Di mana kau?”

“Jane! Jane!”

Suara itu berasal dari dekat pohon raksasa, lingkar batangnya mungkin lebih besar dari pelukan satu orang dewasa. Jane berjalan cepat menuju pohon tersebut, lantas menyadari bahwa terdapat lubang sebesar sumur di dekat akarnya. Dia berlutut dan melongok ke bawah, menatap wajah kakaknya yang berlumuran tanah basah berwarna hitam.

“Astaga, James!”

James merintih. “Keluarkan aku dari sini,” ringisnya. Berusaha bergerak, tetapi gagal. “Tolong, Jane. Aku terjepit, tanganku patah. Ulurkan tanganmu dan ambil senapan ini.”

Jane menjulurkan tangan ke dalam lubang, tetapi terlalu jauh. Dia maju, menjulurkan separuh badannya ke dalam lubang jebakan tersebut dan berhasil menyentuh mulut senapan.

“Tidak sampai,” keluhnya. “Coba naikkan lagi.”

James mengerang pelan, lantas mendorong bagian belakang senjatanya makin tinggi dengan satu tangan. Kali ini Jane dapat meraih sedikit mulut senapan dan berhasil menarik senjata itu keluar.

Setelah ruang lebih tercipta, James mencoba untuk naik dengan menyandarkan punggung dan menekan dinding tanah depan wajahnya menggunakan kedua kaki. Ia berniat memanjat naik dengan posisi itu. Meskipun tidak pernah mencoba secara langsung, dia pernah melihat adegan serupa di acara televisi dan mempraktikkannya beberapa kali.

Agggh. Ssst.” Tubuh rampingnya perlahan naik, sedikit sekali dan hampir meluncur turun beberapa kali.

Di ujung lubang, Jane menjulurkan tangannya untuk meraih pakaian James dan berniat menariknya ke atas. “Bertahanlah, James!”

Setelah hampir lima belas menit mencoba naik, James akhirnya berada dalam jangkauan tarikan Jane dan pekerjaan pria itu membawa tubuh keluar jadi lebih mudah. Dia akhirnya bisa meloloskan diri dan langsung berguling di tanah akibat kelelahan.

---

“Pergelangan tanganku patah.” James membuka percakapan saat sang adik membantunya bersandar di batang pohon.

Gadis itu bergeming, membiarkan kakaknya mengangkat tangan kanan ke atas dada. Sedikit lebih tinggi daripada jantung. “Aku tidak bawa apa pun yang bisa membantumu,” lirihnya.

James menelan ludah, kemudian memberikan kode agar Jane menyalakan senter kecil dari ikat kepala di kepalanya dan gadis itu menurut. Jane menyipit saat cahaya putih senter mengenai matanya.

“Apa yang terjadi, Jane?”

Diingatkan seperti itu membuat Jane kehilangan napasnya sejenak. Dia kembali merasa dadanya menyempit, bahu berat, dan lutut lemas. Jane menggeleng, dia membungkuk dalam-dalam sampai keningnya beristirahat di paha James. Dengan suara pelan, gadis itu mulai menceritakan semuanya.

Meskipun terkejut, James menerima berita kematian orang tuanya dengan lebih lapang dada dan tidak menangis sama sekali. Meskipun sakit bukan main, dia tidak mungkin membiarkan adiknya menangis lebih lama kalau melihatnya ikutan kalut. Dengan tangan kanan yang masih baik-baik saja, pria itu mengelus puncak kepala sang adik yang kusut dan berusaha menenangkannya.

Dari ciri-ciri yang dikatakan Jane, James meyakini bahwa Robert telah dipengaruhi oleh Eyeless. Menjadi wadah yang dikendalikan monster itu untuk membunuh orang lain dan manusia yang terdekat dengannya pada saat itu, adalah rumahnya sendiri. James menyesal karena tidak bisa menemukan Robert lebih awal.

Di tengah rasa dukacita yang membungkus kedua bersaudara. James mendengar bunyi ganjil berisik dari kejahuan, terdengar seperti langkah kaki yang terburu-buru. Mirip ketika seekor rusa kabur akibat kakinya tertembak. Namun, James tahu dan yakin bahwa itu bukanlah rusa.

“Jane, bangunlah. Berhenti menangis,” titahnya sambil menekuk lutut dan berdiri, membuat Jane yang masih menangis berhenti bersandar di sana dan ikut berdiri.

“Ada apa? Kenapa?” Meskipun suaranya panik, Jane mampu mengendalikan diri.

“Sepertinya monster itu akan datang.”

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro