3
Jane menggesek korek api ke permukaan kotaknya yang kasar dan mulai menyalakan lilin. Dia berjalan perlahan mengintari bagian rumah dengan hati-hati. Meskipun sudah menyalakan perapian, James bilang tetap harus menyalakan lilin di sejumlah titik karena takut ada hewan masuk yang tidak terlihat.
Gadis itu mengibaskan tangan, membuat mati api kecil di ujung korek dan membuang sampahnya sembarang. Mengikuti cahaya-cahaya api kecil yang mengarah ke ruang tamu, Jane berjalan pelan untuk menemui ibunya.
Martha tampak gelisah, tangannya saling remas hingga tampak memerah. Disiram cahaya perapian, wajah tuanya yang kelabu dan suram jadi makin terlihat jelas. Saat melihat anak gadisnya muncul dari balik tembok yang diselimuti kegelapan, dia langsung duduk tegak sampai-sampai Jane mengira ibunya akan tiba-tiba bisa berjalan lagi.
“Apa kau melihat James atau ayahmu?”
Jane menggeleng. “Aku tidak dari luar, Bu.”
Bahu ibunya melorot. Diiringi embusan napas panjang, dia kembali bersandar ke sandaran kursi roda. Tangannya terangkat untuk memijat kening. “Perasaanku tidak enak,” bisik Martha saat Jane mendekat. Wanita itu langsung meraih tangan putrinya yang melingkari leher. “Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada mereka.”
Jane terdiam. Dia tidak pandai berkata-kata halus untuk memperbaiki suasana. Mau dilihat dari sudut manapun, jelas saja kondisi saat ini tidak menguntungkan atau 'baik-baik saja' di mata siapa pun. “Mereka pasti kembali,” bisik Jane, lebih terdengar seperti putus asa daripada memberi kekuatan. Namun, usapan lembut tangan Jane berusaha semaksimal mungkin menenangkan tubuh ringkih sang ibu.
Baru saja Jane hendak duduk di atas karpet depan kaki ibunya, suara lantai kayu yang berderit menghentikan gerakannya dan gadis itu cepat-cepat menoleh ke arah belokan menuju ruang tamu. Jane terbelalak saat melihat bayangan yang diciptakan pantulan lilin, bayangan hitam itu memanjang sampai ke dinding.
Jane kembali berdiri, Martha menahan tangannya saat gadis itu hendak mendekati bayangan tersebut. Putrinya menggeleng, memberi kode bahwa dia tidak apa-apa---untuk sekarang---perlahan, gadis itu meraih tangan ibunya dan melepaskan genggaman wanita beruban tersebut. Dia lanjut mendekati dinding yang memisahkan ruang tamu dengan teras dalam rumah, samping pintu masuk dekat rak-rak sepatu.
Begitu gadis tersebut sampai di di dinding, dia menoleh sebentar ke arah ibunya yang kentara ketakutan dan mengumpulkan keberanian untuk memutar tubuh dan menghadap lurus pintu masuk. Di depannya, berdiri seorang pria berpakaian usang. Kaos berwarna abu rokok dengan celana panjang berwarna kuning pudar, rambutnya berwarna hitam gelap dan acak-acakan. Di tangan kiri pria tersebut, tergenggam sebuah lilin yang menyala separuh.
“Ayah.” Jane bernapas lega, tersenyum lebar. Mendengar ucapan anak perempuannya, Martha langsung tersenyum.
“Apa yang kau lakukan di sana, Jane? Minta ayahmu duduk di sini!” Martha berseru, tangannya terangkat dan memberikan gestur memanggil.
Jane mengangguk patuh. “Ayah ke mana saja, sih? Semuanya mencarimu.” Gadis pirang itu berbasa-basi sambil tertawa kecil dan mencoba meraih lilin yang meleleh di tangan Robert. Namun, pria itu bergeming saat anaknya sudah menarik lilin. “Ayah, ini panas bukan? Lepaskan saja. Aku akan meletakkannya di dapur, supaya bisa menyiapkan makanan untukmu.”
Robert tetap bergeming.
Jane mengernyit. Dia tahu ayahnya lambat memperoses informasi dari perkataan. Jadi gadis berkulit kecoklatan itu tidak terkejut kalau pria tinggi ini bergeming, tetapi apa yang membuatnya merinding adalah Robert menatapnya lekat-lekat. Melotot, sampai-sampai bagian putih mata beserta garis-garis urat merahnya terlihat sangat jelas. Di bawah pantulan cahaya lilin, wajah pria tersebut jadi makin menakutkan. Ketika Jane bergerak sedikit ke kanan sambil melepas cengkraman pada lilin, mata Robert masih lekat mengikuti gerakan-gerakan kecilnya membuat Jane menelan ludah.
“Jane? Robert? Apa yang kalian lakukan di sana?” tanya Martha heran. Dari posisi duduknya, dia hanya bisa melihat Jane saja. “Jane, kau tidak apa-apa?”
“Iy-ya, tidak apa,” balas Jane sambil tersenyum kaku dan menoleh sebentar ke Martha, keningnya mengernyit samar. Akhirnya gadis itu mundur dua langkah, memberikan ruang agar Robert berjalan.
Pria itu tidak mengatakan apa pun, masih menatap Jane lekat-lekat dan Jane merasa tatapan menyeramkan itu akan menghantuinya entah sampai berapa lama. Dia tidak pernah melihat ayahnya bertindak demikian, padahal di rumah ini, dialah yang paling sering menghabiskan waktu bersama Robert.
Akhirnya pria itu mulai bergerak. Setiap derapa langkahnya membuat lantai kayu berbunyi. Dia berjalan pelan melewati dinding yang membatasi ruang tamu, berbelok memasuki ruangan tersebut ke arah tempat perapian. Tangannya masih menggenggam lilin yang terus meleleh. Jane khawatir lelehan lilin dan api panasnya akan menyakiti kulit Robert cepat atau lambat, tetapi dinginnya ekspresi pria tersebut membuat gadis tersebut sangsi. Dia bahkan tidak yakin, apakah ayahnya merasakan panas itu atau kegilaan otaknya membuat saraf reseptornya jadi malfungsi.
Jane memperhatikan punggung ayahnya. Pria itu berjalan sedikit lebih membungkuk dari biasanya. Langkahnya pelan sekali, lebih pelan dari yang Jane tahu. Membuat gadis itu makin curiga bahwa sesuatu terjadi pada Robert.
“Oh, kemarilah Robert. Kau membuat anak-anak khawatir.” Martha merentangkan tangan, seperti hendak memberi pelukan begitu suaminya mendekat. Namun, ekspresi wanita itu berubah begitu melihat jelas wajah suaminya yang terkena cahaya perapian. Sebelum Martha menyadari apa pun, Jane sudah lebih dulu bergerak untuk mencegah lilin yang dilempar Martha menyambar wanita tersebut. Namun, reaksinya terlambat dan benda putih pendek tersebut langsung membakar baju ibunya.
“IBU!”
Tangan Jane menepuk-nepuk rok cokelat ibunya, tetapi dia merasakan cengkraman keras pada bahu dan tubuh kurusnya dibanding ke sebelah kiri menjauhi Martha. Robert meraih bahu sang istri, mengangkatnya sedikit ke udara lalu melempar wanita tersebut ke arah perapian. Jane berteriak, Martha menjerit-jerit kepanasan. Kayu-kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar mengeluarkan bunyi keretak saat penahan besinya lepas dan menggelinding membakar karpet.
Robert bergeming, tidak ada ekspresi di wajahnya. Hanya kosong, kehampaan, kelabu, suram. Tidak ada setitik pun cahaya kehidupan, seolah-olah pria tersebut sudah mati seperti cangkang kosong. Menyisakan raga yang dikendalikan makhluk lain.
Jane berdiri, dia berlari ke arah Robert dan menabrak pria tersebut sekuat tenaga menggunakan bahu. Robert terpukul mundur, punggung menghantam lemari berisi foto-foto keluarga yang langsung jatuh berantakan.
Air mata mengaburkan pandangan Jane, dia meraih ibunya dan berusaha mematikan api dengan tangan. Namun, nihil. Gadis itu panik, meraih vas bunga di ujung ruangan dan membasahi api yang membakar habis punggung Martha. Itu saja tidak cukup, karena kini apinya merambat membakar karpet di sekitar wanita itu.
Jane berlari ke kamar, meraih selimut dan mencelupkannya ke dalam bak mandi. Dia cepat-cepat kembali ke ruang tamu yang memanas dan membentangkan selimut basah tadi di atas badan ibunya.
“I-ibu, ibu.” Gadis itu meringis pelan, ketakutan seperti tikus kecil yang terpojok. Tangan Martha dingin, tubuhnya tidak bergerak. Jane makin menangis dan tiba-tiba perutnya ditendang.
Robert berdiri di dekat tubuh Martha, separuh badannya sudah terbakar pula. Api menyala-nyala melalap pakaian beserta lengan pria tersebut. Namun, ekspresinya masih sama seperti tadi.
Jane merasakan nyeri di perut. Namun, dia tetap bangun dan kembali menerjang Robert yang dihentikan pria itu dengan mudah. Pria itu baru berusia 40 tahun, tubuhnya lebih tinggi dan gemuk daripada James. Jane menggigit tangan Robert kuat-kuat, berpikir bahwa itu bisa melemahkan cengkraman pria tersebut pada bahunya, tetapi usahanya sia-sia.
Jane menendang selangkangan Robert, menjambak rambut, mencakar wajah, meninju perut, menggigit tangan, memukul-mukul kepala ayahnya. Dia melakukan semua yang bisa dia pikirkan. Pandangan gadis itu makin buram karena asap hitam kini menyakiti mata dan hidungnya juga.
Gadis itu ditampar hingga terhuyung, tetapi dengan cepat Jane kembali sadar dan kali ini menabrakkan diri ke kaki ayahnya sampai pria itu jatuh. Dia kemudian mendekati badan Martha, mencoba mengangkatnya ke punggung.
“Ibu, Ibu, Ibu. Jangan tinggalkan aku.” Jane mulai terisak, tangan ibunya sudah ditaruh di kedua bahu. Gadis itu hampir menangis lagi karena kini ibunya bergerak sedikit.
“Jane.” Suaranya seperti tercekik. Jane berlutut dengan satu kaki, badan ibunya berat dan dia kesulitan bernapas. “Jane, temukan kakakmu.” Martha terbatuk-batuk.
Asap hitam dan panas api memenuhi ruangan tersebut, Jane tidak tahu sampai berapa lama dia akan bertahan. Martha berbisik lagi, “Temukan kakakmu,” katanya. Lalu wanita itu mendorong bahu putrinya sampai Jane terjungkal.
Setelahnya Jane merasakan tendangan kuat di wajah saat dia berusaha kembali meraih ibunya. Robert berdiri menjulang di depannya, sementara rumah mereka akan runtuh kapan saja. Robert hendak berjalan maju, tetapi langkahnya tertahan dua lengan lurus yang mengelilingi kakinya.
“Ibu!”
“Pergi, Jane!”
Jane memejamkan mata kuat-kuat, tidak sanggup melihat ayahnya menjambak rambut pirang sang ibu dan membenturkan kepalanya ke lantai berkali-kali. Gadis itu berdiri dengan kaki bergetar, dia batuk-batuk dan terhuyung-huyung menuju pintu depan. Tangannya gemetaran, pandangan buram oleh air mata, dadanya sakit dan sesak di waktu yang sama.
Api mulai membakar kusen rumah mereka. Jane terbatuk dan meraih gagang pintu, dia mencabut kunci rumah dan berjalan keluar. Menutup pintu dan menguncinya kembali. Berharap dengan itu, ayah gilanya tidak bisa melarikan diri. Rumah mereka memang terbakar, tetapi kalau Jane bisa melarikan diri maka ada kemungkinan bahwa pria itu juga mampu.
Gedoran di balik pintu depan membuktikan kekhawatiran Jane, dia memekik sambil mundur. Ayahnya sudah di sana, bayangan kondisi ibunya membuat gadis itu makin menangis. Api kian melahap rumah mereka, makin tinggi dan makin besar. Asap hitam membumbung, tampak kontras dengan langit malam.
Berusaha menelan rasa sakit dan perih, Jane berbalik meninggalkan rumah menuju hutan sambil menangis. Dia benar-benar berharap bisa menemukan James. Padahal itu kali pertama dia kembali memasuki hutan setelah sekian lama.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro