Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27

Jane mundur beberapa langkah, mengamati Eyeless yang kini sudah mati dengan kondisi tubuh tertembus batang pohon. Gadis itu merasa ketegangan yang tadi merayapi tubuhnya seolah luruh ke tanah, napasnya yang tadi serasa ditahan mulai dibuang pelan-pelan. Jane berbalik, mulai berjalan menuju tempat kakaknya dengan sedikit bergegas.

Begitu sampai, gadis itu langsung mengambil tas yang tadi dia lepaskan dan membongkar isinya. Jane mengeluarkan perban, kain kasa, alkohol, dan obat merah. Meskipun tidak terlalu paham cara menggunakannya, dia tetap mencoba untuk membalut luka-luka James yang masih mengeluarkan darah. Kakaknya itu sendiri sudah tidak sadarkan diri, tubuhnya lemas dan pucat luar biasa. Dia tidak banyak bergerak pun mengatakan apa pun selagi Jane mengurus luka di badannya, terutama di kaki.

Melihat kondisi James, Jane mulai menangis. Kakaknya itu tertembak, dia tidak mungkin mengeluarkan pelurunya dengan tangan kosong. Jane takut hal itu malah membuat luka di bahu kanannya makin lebar. Gadis itu takut, tubuhnya bergetar pelan. Bahkan dia tanpa sadar sudah menggunakan seluruh obat-obatan yang didapat dari tempat Joseph ke James sendiri, sempurna melupakan fakta bahwa bukan hanya pria itu yang terluka.

Matahari sudah muncul dari cakrawala, mengusir dinginnya malam. Di tengah-tengah semburat cahaya yang perlahan berubah warna menjadi jingga, Jane berusaha mengangkat tubuh besar dan tinggi James di atas punggungnya. Gadis itu merasa bahwa dia akan langsung roboh ketika menahan bobot tubuh sang kakak di punggung, tetapi dia berusaha menguatkan diri sekalipun harus sangat membungkuk dan berjalan sepelan kura-kura hamil. Lebih baik seperti ini daripada harus meninggalkan James di tempat itu sendirian.

Tiap langkah yang Jane ambil terasa luas biasa berat, dia bahkan sampai dibuat kesulitan bernapas karena berjalan sambil membopong James. Di sisi lain, James pelan-pelan mendapatkan kesadarannya. Namun, masih terlalu lemah untuk bergerak barang seujung jari.

“J-Jane ... ist-istirahat dulu sa-ja.” Pria itu berucap, kepalanya yang bersandar di bahu kanan Jane membuat adiknya bisa mendengar suara seraknya dengan mudah.

Jane menggeram pelan, dia menggeleng. “Kita harus keluar dari sini. Aku tidak mau lagi harus berhadapan dengan Eyeless-Eyeless sialan itu, berengsek.” Napas Jane terputus-putus. Gadis itu berpikir mereka bisa menemui seseorang atau sekelompok orang yang ... mungkin bisa membantu mereka. Dia harap begitu, gadis ini punya sejumlah makanan dan sedikit pisau milik Joseph.

Kalau Jane menceritakan rencananya itu, James pasti akan menertawakannya. Memang sedikit tragis karena harus meminta pertolongan pada orang lain di tengah-tengah kondisi seperti ini, tetapi Jane tidak merasa mereka punya pilihan. Apalagi keduanya sudah menerima luka-luka berat, semoga saja rasa kasihan dan hati nurani bisa menyelamatkan mereka.

Toh, Jane masih punya senapan walau sisa satu dan tidak ada isinya sebagai penguat kalau dia bisa berkelahi melawan dua Eyeless dalam semalam. Dia yakin kemampuannya itu bisa berguna apabila diberi kesempatan untuk bergabung ke dalam kelompok penolong.

James memberi Jane sedikit arahan untuk keluar dari hutan. Di tengah-tengah kondisi setengah sadar, pria itu masih berusaha untuk membantu dan tidak menjadi beban. Tak sampai setengah jam, mereka berdua sudah berada di luar hutan. Ternyata lokasi hutan tempat Jane dan Eyeless terkahir bertarung tadi, letaknya tak terlalu jauh dari tepi hutan.

Jane merasa dia akan pingan, pandangannya juga sudah berkunang-kunang sementara cahaya matahari makin menyengat. Perut gadis itu keroncong, belum makan sejak semalam. Belum juga tidur. Dia benar-benar kelelahan setengah mati. Namun, perasaan itu hilang begitu melihat rumah lamanya yang sudah gosong. Aroma kayu hangus tercium, Jane terpejam dan berusaha berjalan lebih cepat. Usahanya tidak begitu berhasil karena jantung gadis itu berdebar-debar dan kakinya jadi gemetaran ketika melewati rumah tua itu.

James membisikkan kalimat-kalimat penenang dan penyemangat, membuat Jane berhasil menahan tangis dan mendapatkan kekuatan lebih untuk terus berjalan demi melewati tempat yang dahulu pernah disebutnya sebagai rumah. Gadis itu menelan ludah, dia menaikkan James di punggungnya dan bisa mendengar pria itu mengerang kecil. Sambil terus berjalan, Jane berdoa dalam hati agar sekali ini saja ... mereka berdua diberi kemudahan oleh Tuhan.

James memberi saran agar Jane pergi ke pinggir kota, letaknya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Gadis itu menurut, dia memang sudah berencana untuk ke sana demi menemukan seseorang yang bisa dimintai tolong. Tepat sekitar pukul tujuh---Jane hanya mengira-ngira---kedua bersaudara itu sudah sampai, mereka melewati area padang rumput luas yang rerumputannya sudah tidak hijau dan mengering untuk sampai ke pinggir jalan utama tempat—dulu—orang-orang selalu melintas.

Jane menurunkan kakaknya dan merebahkan James, dia sendiri langsung meluruskan kakinya yang sakit luar biasa dan mulai membuka tas punggung yang sedari tadi digunakan di depan dada. Jane membuka isinya, berusaha menemukan makanan yang langsung bisa dimakan. Tangannya menemukan sebungkus roti yang besarnya tak lebih dari ukuran telapak tangan.

Dengan semangat, Jane merobek plastik pembungkus makanan itu dan menggigit rotinya. Dia menyodorkan makanan itu pada James, tetapi seperti biasa, James menolak makan dan menjauhkan kepala. Membuat adiknya terpaksa merobek roti itu dan mengepalnya untuk dipaksa masuk ke dalam mulut sang kakak.

James meronta, tetapi tiap kali bergerak dia bisa merasakan sengatan rasa sakit di tubuh dan terpaksa menyerah cepat. Membiarkan Jane menyuapi roti hampir basi itu ke dalam mulut. Jane tersenyum kecil merasa senang.

Di tengah-tengah acara makan sederhana mereka, dari titik kejauhan di sebelah kiri, Jane yakin melihat sebuah mobil bergerak ke dekat mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro