Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15

Pemilik pondok tersebut mengarahkan kedua tamu tak diundang yang memasuki kediamannya menuju ruang tengah. Pria itu kemudian menyalakan perapian menggunakan korek api yang dia bawa di dalam saku.

Di bawah temaram cahaya api yang menyinari seisi ruangan, baik James maupun Jane bisa melihat penampilan penyadera mereka. Seorang pria bertubuh agak pendek dan gempal. Dia mengenakan topi rajut, rompi sebagai luaran kaos berwarna abu-abu gelap, dan celana selutut berkantung. Wajahnya sedikit keriput, kening lebar dengan garis-garis wajah kasar, alis tebal yang nyaris terlihat menyatu di antara dahi, hidung mancung agak bengkok, bibir yang tertutupi kumis panjang putih sewarna janggut yang tumbuh dari bawah telinga sampai dagu. Di antara bibir, pria itu menjepit sebatang rokok.

Masih sambil mengacungkan senjata, pria tersebut memerintahkan kedua bersaudara untuk mengeluarkan barang bawaan mereka tanpa terkecuali.

Jane mulai membuang kain yang tadi dibasahinya, beserta pisau pemberian James kemudian membantu sang kakak mengeluarkan benda-benda yang dibawa dan diambil pria tersebut. Dua buah pisau dan satu senapan tanpa peluru.

Pria yang menangkap mereka duduk di kursi sofa berdebu sambil mengisap rokoknya. “Kalian orang-orang bodoh, berpikir tempat ini ditinggalkan hanya karena ada debu di mana-mana.” Dia meniup udara, membuang asap kelabu dari mulut.

Jane menduga bahwa pria tersebut sengaja membiarkan rumah ini tampak tak terurus untuk memancing orang-orang seperti dia dan James. Kalau dipikir-pikir, daripada repot mencari sekelompok orang untuk dijarah lebih baik menjebak mereka dengan cara seperti ini.

Gadis itu melirik kakaknya, dia tampak waspada sekali. Raut wajahnya seolah tengah merutuki kebodohan sendiri sebab tidak mencurigai apa pun, sekaligus menyumpahi pria pemilik pondok di depan mereka.

Pria tersebut memperkenalkan diri sebagai Joseph. Jane tidak mengerti kenapa dia merasa perlu untuk menyebutkan namanya, bukan berarti kedua bersaudara tersebut akan balas memperkenalkan diri hanya karena Joseph memberitahu indentitasnya. Toh, perbuatan Joseph sekarang tidak menandakan bahwa dirinya mau membantu atau mengajak mereka membuat kelompok.

Kembali Joseph mengeluarkan asap rokok dari hidung, dia kemudian melempar sisa batang rokoknya ke dalam perapian. “Pergilah, aku sedang tidak ingin menghabisi siapa pun sekarang,” akunya. Dia merogoh saku celana untuk mengambil rokok baru. Jujur saja, melihat kobaran api perapian menimbulkan sedikit rasa tidak nyaman dalam diri Jane. Dia teringat kejadian yang menimpa orang tuanya.

James sedikit bergerak maju menggunakan lutut, menutupi badan adiknya. Dia kelihatan luar biasa waspada, sampai-sampai tak mau mendengarkan kemurahan hati Joseph. James merasa bahwa masih ada yang disembunyikan pria ini, dia malah khawatir Joseph akan menembak keduanya saat berbalik untuk meninggalkan pondok dan menjadikan badan mereka sebagai umpan berburu.

Joseph melirik James, mata tuanya yang agak kelabu terlihat tak acuh. Pria itu terpejam, menikmati hisapan rokok di mulutnya.

“Kumohon, biarkan kami di sini,” ucap Jane lirih, membuat sang kakak memelototinya. Namun, gadis itu abai. “Kami tidak punya tempat tujuan.”

“Itu bukan urusanku,” balas Joseph acuh-tak acuh. Dia menjentikkan jari, abu rokok jatuh mengotori lantai kayu. “Sudah baik aku membiarkan kalian pergi, tak kurang anggota badan satu pun,” imbuhnya.

James berusaha menahan sang adik, tetapi gerakan Jane lebih mantap. Dia merangsek maju, kedua tangan menekan lantai dan sedikit membungkuk. Nyaris terlihat seperti akan bersujud. “Aku mohon padamu, pinjamkan kamu sedikit obat-obatan atau apa saja ... maka kami akan meninggalkan tempat ini segera.”

Joseph mengacungkan senapannya ke arah Jane. “Dan, kenapa aku harus mendengarkanmu?”

James hendak bersuara, tetapi Jane memotong dan mulai menceritakan kejadian yang menimpa mereka selama seharian ini. Dibandingkan James yang bergerak sesuai logika, Jane selalu mengandalkan perasaannya untuk mengambil tindakan. Bahkan di saat seperti ini, dia masih berharap bahwa pria tua di depannya punya sedikit belas kasihan untuk mereka.

Fakta bahwa pria itu tidak membunuh keduanya secara langsung, memberi Jane sedikit harapan bahwa mungkin ... mungkin saja, dia sebenarnya tidak sejahat para pejuang hidup lain di luar sana. Kalau Joseph memang berniat membunuh keduanya, maka dia seharusnya melakukan itu sejak tadi atau setidaknya, mengeluarkan tembakan peringatan selama Jane membeberkan masalah mereka sekarang.

Namun, pria itu bergeming di sofa usangnya yang berdebu. Menyimak semua tutur kata gadis pirang kurus di depannya yang tak kunjung tutup mulut. Joseph mengernyit dalam, tatapan dan wajahnya terlihat tidak bersahabat. Namun, dia tetap mendengarkan.

Sampai akhirnya Jane tiba di penghujung cerita, James sudah siap menarik lengan sang adik dan membawanya keluar dari pondok jebakan tersebut. Namun, suara dehaman Joseph membuat kedua kaki bersaudara itu membeku di lantai. Siapa yang menduga, bahwa dia benar-benar memikirkan perkataan Jane barusan?

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro