
14
Setelah berjalan melintasi hutan, hampir kira-kira setengah jam lamanya, James dan Jane bisa melihat sebuah bangunan tua berdiri tak kokoh di tengah-tengah sepetak tanah lapang dipagari pepohonan tinggi.
Pondok itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk, beberapa anak tangga menuju terasnya sudah terangkat. Jendela tidak tertutup rapat, kusennya pun rusak dimakan waktu, dan seluruh bangunannya gelap gulita.
Berdasarkan arahan James, kedua bersaudara itu mengendap mendekati pondok tersebut dan berkeliling di sekitarnya. Memeriksa apakah tempat itu benar-benar kosong atau tidak, sembari mengintip ke dalam sesekali.
Setelah beres memeriksa keadaan luar, James berjalan menaiki tangga teras lebih dulu untuk mencari pijakan yang masih kuat menahan bobot tubuh sebelum membiarkan Jane naik. Pintu pondok sedikit terbuka dan dengan dorongan kecil, benda rapuh itu berderit terbuka.
James menatap lantainya yang berdebu. Dia tidak bisa memperhatikan dengan jelas tanpa cahaya, tetapi setelah berjongkok dan menarik garis lurus di lantai. Tumpukan debu yang berkumpul di ujung jari membuatnya berspekulasi bahwa tidak ada orang yang masuk setelah sekian lama.
“Tunggu di sini,” ujarnya pada Jane, lantas melangkah masuk lebih dulu. James meraba-raba dinding, merasakan sekumpulan debu di jari-jari tangan dan terus berjalan ke dalam. Dia bergerak perlahan ke tengah-tengah ruangan, merasakan sebuah sofa dan menduga bahwa ruangan yang dimasukinya adalah ruang tengah.
Kalau desain ruangannya sama dengan rumah kami, harusnya perapiannya di sekitar sini. James berjongkok, berjalan rendah sambil memegangi lantai dan merasakan tekstur kasar dari batuan yang tersusun agak tinggi dari lantai. Dia meraba batu tersebut, kemudian menghidu bau dari bekas arang. Yakin bahwa benda di depannya adalah perapian, James menjulurkan tangan untuk meraih bahan bakar penghangat ruangan tersebut dan merasakan bahwa kayu-kayu bakarnya terasa dingin. Memperkuat dugaan bahwa pondok ini memang sudah ditinggalkan.
“Masuklah, Jane!”
Mendengar perintah itu, Jane berjalan masuk. Sebisa mungkin melihat bekas jejak kaki kakaknya yang tercetak di atas debu untuk berjalan ke ruang yang sama dengan James. Tidak banyak membantu karena pondok tersebut minim cahaya.
“Mulailah mencari ....” Walau tak yakin Jane bisa melihat, James memberi gestur gerakan tangan yang merujuk ke sekeliling ruangan. “Mulailah mencari apa pun ... yang bisa kau temukan!” pintanya.
Jane mengangguk dalam gelap, dia meninggalkan posisinya berdiri dengan perlahan. Berjalan kian dalam ke pondok tersebut sambil berusaha menerka-nerka ada apa di depan. Gadis itu menemukan sebuah lemar pendek dengan sejumlah laci. Setelah berjongkok, Jane mulai menggeledah benda setinggi pinggang itu. Tangan digunakan untuk meraba bagian dalam laci. Dua dari tiga laci itu kosong, tetapi ada sesuatu di laci ketiga dan Jane memasukkannya ke dalam saku meskipun tak tahu itu apa.
Sementara itu, James menggeledah meja yang berada di dekat perapian. Mungkin saja ada korek api terletak di sana. Namun, nihil. Dia meraba bagian atas perapian yang setinggi dada, nihil juga. Hanya ada beberapa patung dan asbak yang jatuh ke lantai terkena tangannya.
Pria itu berjalan ke sisi lain ruangan sambil meraba dinding, mengira-ngira apakah tempat ini pernah memiliki kotak P3K atau tidak. Di sisi lain, Jane tengah memasuki sebuah kamar. Dia mengetahuinya karena merasakan kasur di dalam sana juga berkat bantuan cahaya bulan yang menembus celah-celah dinding kamar.
Jane membuat lemari pakaian dan terbatuk-batuk saat debu berterbangan ke luar. Dia mengibas udara, lantas mencari-cari kain yang bisa digunakan untuk menutupi luka-luka yang diterima James dan dirinya sendiri. Gadis itu mengambil beberapa potong kain yang berdebu, setelah mengibaskannya beberapa kali dia berjalan keluar menuju kakaknya. Berharap bahwa kain tadi tidak terlalu kotor untuk digunakan menutup luka. Kalaupun kotor, semoga saja James terpikir untuk kembali ke sungai demi membersihkan ini.
James masih belum menemukan apa pun. Sekarang dia sepertinya berada di dapur karena tadi merasakan kompor dan sekarang tengah memegangi westafel. Tangan kasarnya bergerak liar meraba meja, berusaha menemukan benda yang pasti ada di dapur. Pisau. Tangan James tak sengaja menabrak sebuah wadah berbentuk tabung, isinya berhamburan jatuh ke dalam westafel disertai bunyi berdenting nyaring.
Menyadari suara apa itu, James tersenyum kecil dan perlahan merasakan benda-benda yang jatuh tadi. Beberapa sendok dan garpu, ada juga sumpit dari aluminium dan tentu saja, pisau. Ukurannya tidak sebesar milik James yang digunakan untuk berburu. Pisau ini ramping, jenis yang biasa digunakan untuk memotong sayuran dan bukan daging. Sambil memasukkan pisau tadi ke dalam saku celana.
Jane muncul dari balik badan pria tersebut, nyaris membuatnya jantungan. “Kau menemukan sesuatu?”
“Aku menemukan sebuah pisau. Kau?”
“Cuma kain.” Jane mengangkat kedua tangannya yang penuh. “Eh, ini westafel, ya? Coba nyalain.” Tangan gadis itu bergerak ke sebelah tubuh James untuk meraih pemutar westafel yang berada di sebelah pipa melengkung.
James berdecak, hampir berkata bahwa mustahil ada air di sini ketika ucapannya terpotong oleh deras suara aliran dari westafel tersebut. James memelotot, sementara adiknya sibuk membasahi kain di tangan. Tak menyadari keanehan sebuah rumah ditinggalkan, tetapi ledingnya malah masih bagus.
“Jane!” Belum sempat pria itu menarik adiknya dan membawa sang gadis pergi. Dia bisa merasakan seseorang tengah mengokang senapan dan menempelkan ujung laras panjangnya ke belakang kepala.
Jane berbalik dan menjatuhkan kain basah yang dia pegang.
“Wah, wah. Coba lihat, siapa yang menyusup ke rumah ini sekarang.”
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro