11
Terengah-engah, Jane berusaha menggapai tepian sungai. Arus air melilit badannya seperti tali dan menariknya mundur. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada dan napas putus-putus, gadis itu dapat dipastikan sudah hilang kesadaran sejak tadi kalau bukan karena James yang berusaha keras menolong.
Pria itu sekarang sudah meninggalkan lokasi duduknya tadi, dia turut berlari di pinggiran sungai yang berusaha dicapai James. Sedikit panik, James melepaskan senapan yang disampirkan pada bahu dan melemparnya ke sembarang arah. Dia menemukan batang pohon berukuran lumayan besar dan berusaha mendorongnya dengan kaki. Meskipun berukuran lumayan dengan kondisi arus air seperti sungai ini, seharusnya benda berat tersebut tidak langsung tenggelam nanti.
Selagi Jane berusaha membawa tubuhnya ke pinggir, James terus mendorong batang pohon tadi dan berhasil menceburkan benda itu ke air. Benda itu hanyut terbawa aliran air dan Jane menangkapnya, menjadikan batang tersebut sebagai pijakan sementara untuk mencapai tanah yang mulai berada dalam jangkauan. Sebelum batang besar tersebut makin hanyut dan tergulung air sungai, Jane berhasil mencengkram erat rerumputan pendek di pinggir sungai.
James menghampirinya, lebih cepat daripada apa pun dan dengan sebelah tangan yang baik-baik saja, pria tersebut berusaha menahan sekaligus menarik tubuh sang adik keluar dari dalam air. Jane menginjak dinding sungai yang licin, membuat pijakan untuk memanjat naik dan jatuh di atas badan sang kakak. Napas keduanya tersenggal-senggal, tubuh Jane berguling jatuh ke kanan sebab didorong James agar menyingkir.
Selama belasan menit, mereka hanya tergeletak tak berdaya di atas tanah basah bersama tubuh yang juga kuyup. Dinginnya udara malam berhasil membuat kedua bersaudara itu bergerak menjauhi pinggir sungai menuju bibir hutan, mereka bersandar pada dahan pohon sambil memeluk diri sendiri untuk mencari kehangatan.
Hampir tidak ada lagi yang tersisa di antara keduanya. Senapan sudah kehabisan peluru, Jane kehilangan semua pisau yang dia simpan dan James hanya punya dua buah. Pria itu memberikannya pada Jane satu. Dia menyodorkan senjata tajam itu menggunakan kaki, tetapi Jane terlalu malas untuk mengambilnya. Dia sudah terlalu lelah, bahkan untuk menggerakkan seujung jari.
“Kita tidak bisa terus berdiam diri.” Suara kakaknya bergetar, bibirnya mulai memutih. “Kalau tidak bergerak, kita bisa mati kedinginan atau diserang hewan hutan.”
“Kita mau ke mana?” Adiknya bertanya dengan nada tak sabar, putus asa sudah menghampiri Jane sejak tadi. Di sekitar mereka hanya ada kelam malam tanpa setitik cahaya. Satu-satunya sumber adalah bulan di atas, tetapi itu pun mulai tertutup awan.
Jane memandang langit dengan gelisah, bertanya-tanya kapan hari akan berganti. Kapan pagi akan menjemput. James menggeser duduknya, lebih dekat kepada Jane sambil meniup-niup tangan. Untuk kali pertama, dia merasa tidak memiliki ide apa pun.
Rencana awalnya adalah menemukan jalan keluar dari hutan dan pergi ke tepi kota, tetapi yang terjadi sekarang adalah kelelahan tak berujung bersama luka-luka baru. James berharap dia punya korek atau sesuatu untuk menyalakan api. Kepalanya disandarkan pada batang pohon yang sama dengan sang adik, mata terpejam berusaha memikirkan sesuatu.
“James, aku takut,” keluh Jane pelan, tubuhnya menggigil dan dia bersandar pada badan kakaknya yang lebih besar. Menahan diri untuk tidak jadi cengeng. “Kurasa kita akan mati,” bisik gadis itu di lengan James.
James memeluk badan adiknya yang kurus, kelelahan, dan kedinginan. “Aku akan menjagamu supaya kita tidak mati,” balasnya, ikut berbisik. “Kita akan baik-baik saja, seperti permintaan Ibu.”
Mengingat raut wajah ibunya membuat Jane kembali terisak. Banyak hal terjadi dalam satu malam. Dia kehilangan tempat tinggal, kedua orang tua, dan rasa aman-nyaman sekaligus. Hampir mati dikejar dua ekor Eyeless serta nyaris tenggelam di sungai. Rasa gelisah dan sesak menggulung badan Jane, membuatnya memeluk lutut karena pesimis.
James mengelus rambut adiknya, kemudian memberi kecupan di dahi. Rasanya masih sulit dipercaya bahwa mereka hanya saling memiliki satu sama lain sekarang. Tidak ada lagi ayah yang harus diurus atau seorang ibu yang memaksanya makan. Hanya adik ceroboh yang tidak bisa diandalkan, tetapi pekerja keras dan selalu menuruti perkataannya--sebagian besar perkataannya.
Keduanya mulai berbincang, membicarakan hal-hal yang telah terjadi di masa lalu untuk melupakan segala lelah dan perih yang menyerang fisik maupun psikis mereka. Meskipun terlalu lelah untuk saling menyimak dan membalas obrolan, setidaknya dengan begini mereka tidak tertidur dan menjadi sama sekali tak waspada terhadap apa yang mungkin terjadi di dalam hutan.
James mengenali tempat ini, dia sangat tahu mereka berada di mana sekarang. Kendati demikian, tak banyak yang bisa dilakukan pria tak bersenjata dan penuh luka sepertinya, ditambah lagi ada Jane yang bisa dikatakan kurang kompeten pada situasi sekarang. Sejenak, James merasa menyesal sudah banyak melarang sang adik untuk ikut dengannya memasuki hutan.
“Kurasa kita harus bermalam di sini,” kata James. Dia terpikirkan sebuah jalan keluar, walau merasa tak yakin.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro