1
Jane memperhatikan kakak laki-lakinya yang perlahan-lahan mengenakan sepatu, seperti berusaha memasukkan benang ke lubang jarum. Sedikit-sedikit pria itu meringis, kemudian mengeluarkan lagi telapaknya yang baru masuk bagian jari-jarinya saja.
Hampir genap sepuluh menit dan yang James lakukan hanyalah sibuk melebarkan bagian dalam sepatu menggunakan tangan, seolah bagian dinding dalam benda kulit tersebut tidak akan menyakiti kakinya yang dibalut perban, apabila dipukul-pukul begitu.
“Kau tahu, lebih baik hari ini kita gantian saja. Kau jaga Ibu dan Ayah, biar aku yang pergi ke hutan.” Jane berkacak pinggang. Sejak semalam, dia telah memikirkan rencana untuk menggantikan James berburu di hutan. Mengingat sehari sebelumnya, pria itu pulang dengan kondisi terpincang-pincang. Terdapat luka robek yang memanjang dari atas betis sampai ke mata kaki. “Kau hanya memberitahuku, di mana jebakan hewan-hewan itu dipasang.”
Mendengar celotehan adiknya, James memaksakan kaki yang terluka untuk melesak ke dalam sepatu. Dia berdeham keras, menyembunyikan ringisan yang akan membuatnya dianggap lemah oleh Jane. Pria berambut pirang itu menggeleng. “Tidak usah. Kau jaga saja Ibu dan Ayah.”
“Kau selalu bilang begitu, apa kau meremehkanku? Aku juga bisa pergi berburu sepertimu.”
“Jangan kekanakan.” James meraih senapan yang tergeletak di atas rak sepatu, menyelempangkan benda itu di atas bahu. “Kau bahkan tidak bisa membaca peta, bagaimana caramu pergi ke hutan dan kembali ke sini? Mungkin kau tidak hanya akan terluka sepertiku, tapi kehilangan seluruh kakimu.”
Menelan ejekan James adalah hal terakhir yang mau Jane lakukan setiap hari. Rasanya masih terlalu dini untuk mencecap pahit cibiran yang seperti ampas kopi dari kakaknya itu. Bahkan matahari belum bersinar sempurna, saat pria berompi hijau pudar tersebut telah sukses mengacaukan mood saudarinya.
“Paling tidak, aku bisa jalan lebih baik daripada anjing pincang.” Jane mengangkat bahu. Berusaha terdengar semenyebalkan mungkin.
Banyak hal yang berubah sejak lima tahun silam, ketika pemerintah mengeluarkan pengumuman besar-besaran mengenai marabahaya yang melanda kota. Baik James maupun Jane, tidak mengingat detail bagaimana tempat kelahiran mereka mendadak berubah jadi kuburan massal karena penghuninya saling membunuh. Namun, mereka tahu jelas bahwa tidak peduli itu siang bolong atau larut malam. Tidak peduli apakah itu di jalanan umum atau di rumah sekalipun. Mayat-mayat manusia bergelimpangan, lebih banyak daripada nyamuk-nyamuk berterbangan.
Penyebab semua katastrofe besar yang membuat Jane gagal lulus SMA dan James tidak akan pernah mendapatkan pelantikannya sebagai polisi adalah makhluk-makhluk bernama Eyeless. Monster. Begitulah tepatnya. Makhluk itu punya codename resmi pemberian peneliti, tetapi orang-orang lebih suka menyebutnya seperti itu. Terlepas dari namanya, makhluk-makhluk setinggi dua setengah meter tersebut justru memiliki mata yang dapat menggangu fungsi kerja otak manusia.
James mengabaikan adik perempuannya dan berjalan lurus menuju pintu depan tanpa berbalik. Sebagai yang tertua dalam keluarga, dia punya harga diri tinggi untuk tidak membiarkan siapa pun selain dirinya mempertaruhkan nyawa di luar rumah. Kondisi acak-acakan kota membuat mereka harus mengungsi dari rumah lama di ibu kota, ke kediaman tua milik mendiang kakek-neneknya yang berdekatan dengan hutan.
Dahulu, lokasi ini adalah tempat industri sawah dan ladang terbaik di kota. Sejumlah hasil ternak juga dihasilkan di tempat ini. Namun, semenjak tragedi jatuhnya pesawat ruang angkasa berisikan monster-monster aneh yang gemar membunuh makhluk hidup selain jenis mereka, area ini jadi tidak terurus. Tanahnya seperti dikutuk, sehingga apa pun yang ditanam tidak bisa tumbuh. James berpikir, bahwa yang salah bukanlah tanahnya. Melainkan para petani yang masih berniat menanam di tengah-tengah kiamat seperti ini. Sektor peternakan juga sama merosotnya, hewan-hewan itu lebih dulu mati di tangan Eyeless sebelum sempat jadi santapan makan malam.
Jane berlari keluar rumah, menatap punggung James yang sudah mengecil dan berteriak, “Dasar pengecut!” Dia tidak tahu alasannya, kenapa berteriak seperti itu pada satu-satunya saudara yang Jane miliki. Mungkin karena dia kesal, sebab sejak dulu kakaknya tidak pernah berubah dan terus saja melihatnya sebagai anak kecil yang tidak bisa diandalkan.
Terkadang Jane berpikir, bahwa James hanya malas dan muak dengan keluarganya sendiri.
Gadis itu membuang napas panjang, rambutnya yang berwarna kuning jagung terasa kusut ketika dia mencoba menyisirnya menggunakan jari. Kapan terakhir kali aku mandi? Dia membaui tangannya dan membuat gestur mual.
“Apa James sudah pergi?” Seseorang muncul dari ambang pintu di belakang Jane, sambil memutar roda kursi. “Dia tidak sarapan lagi?”
Jane berbalik. “Ibu, percayalah. Kalau ada hal lain yang dibenci James selain aku. Maka itu adalah makan.” Gadis itu tersenyum kecil, berusaha menghibur wanita di depannya yang sudah lama duduk di kursi roda. Jane bahkan tidak ingat, kapan terakhir kali melihat ibunya berjalan.
“Kau harusnya bisa memaksanya Jane.” Martha selalu terlihat khawatir, itulah opini yang tertanam dalam benak Jane. Garis-garis halu yang dahulu tidak ada, mulai menghiasi wajah wanita berambut hitam tersebut. Garis-garis halus berwarna putih tampak mencuat dari sela-sela ikat rambutnya.
Ibu tidak pernah tenang, tidak bahagia, dan selalu khawatir. Mungkin mengkhawatirkan anak-anaknya yang setiap hari bisa saja mati muda, mengkhawatirkan masa depan mereka, mengkhawatirkan suaminya yang suka tertawa dan berbicara sendiri sampai harus dikurung di kamar, atau mengkhawatirkan hal-hal lain.
Jane menghampiri ibunya, mengusap dan memberi pijatan ringan di kedua bahu wanita tersebut lalu. Lantas membantunya memutar kursi menuju ruang makan. “Biarkan saja. James punya kapasitas perut yang beda dengan kita. Makan sedikit, kenyang lama. Begitulah mekanismenya.” Gadis itu tidak merasa ucapannya lucu, tetapi dia melihat senyum timbul di wajah mulai keriput sang ibu.
“Terima kasih, ya, Jane.” Tangan Martha terangkat, berakhir mengelus punggung tangan Jane yang menggenggam gagang kursi.
Kalau James bertanggung jawab untuk mengisi panci-panci rumah mereka dengan bahan makanan. Maka Jane bertanggung jawab mengurus orang tua mereka yang tak lagi muda. Membantu memandikan keduanya, mengurus bekas buang air besar dan kecil ayahnya, merapikan rumah, memasak, mencuci dan menjemur pakaian, memastikan ibunya minum obat dan tidur siang tepat waktu, mengawasi rumah mereka agar tidak ada Eyeless sejauh mata memandang, menyuapi ayahnya sambil meladeni semua ocehannya yang tak masuk akal, dan lain-lain. Robert Morgaine jadi sedikit gila, gara-gara kejadian monster-monster ini. Dulu James dan Jane tidak perlu menguncinya di kamar, karena dia hanya akan duduk depan televisi atau berbicara pada dinding. Namun, secara bertahap Robert menjadi kian sulit dikendalikan dan kerap kali mencoba kabur dari rumah.
Robert bertubuh sedikit lebih tinggi dari James dan gempal. Kalau Jane saja, tidak akan mampu menahannya di rumah seorang diri. Karena kini, ayahnya itu tidak akan segan-segan menabrakkan putrinya ke dinding demi bisa terlepas dari pitingan. Martha tidak banyak membantu, mengingat kondisi kakinya dan fakta bahwa wanita itu lima tahun lebih tua dari sang suami. Akhirnya, mencegah agar Robert tidak kabur-kaburan dari rumah, James memutuskan untuk mengunci pria itu dan mengisi kamar dengan hal-hal yang bisa mengalihkan perhatiannya seperti kertas gambar dan pensil warna.
Terkadang Jane berpikir, bahwa mungkin menembak hewan buruan di hutan lebih mudah daripada melakukan pekerjaan rumah seperti ini. Karena itulah James lebih memilih melakukan itu.
Jane meletakkan mangkuk berisi bubur di depan ibunya dan menyiapkan satu lagi untuk dibawa ke kamar atas, tempat ayahnya berada. Seharian itu, dia mengurus kedua orang tuanya dan setelah memastikan ibunya beristirahat di kamar usai minum obat nyeri sendi, gadis itu mulai berkeliaran di sekitar rumah dan memperbaiki atap yang rusak bersama kontruksi lainnya.
Menjelang sore, gadis itu baru teringat untuk menyuapi ayahnya makan siang--yang hari ini jadi agak terlambat, karena dia baru selesai mengurus leding--begitu menaiki lantai atas. Jane mendapati pintu kamar ayahnya terbuka lebar sekali dan pria itu tidak ada di dalam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro