Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 9

Dua orang gadis kecil terlihat tengah bermain bersama di sebuah taman. Yang satu berusia empat tahun, yang satu lagi tiga tahun lebih tua darinya. Mereka duduk di bawah pohon wisteria yang rindang, berhadapan dengan hamparan bunga dandelion berbagai warna. Jemari mungil milik anak perempuan berambut merah muda layaknya kelopak bunga sakura menyentuh bunga dandelion. Bibir tipis milik anak perempuan itu terangkat.

"Cantik! Cantik! Buna cantik!" serunya kegirangan.

Sementara itu, gadis kecil lainnya yang memiliki rambut putih sedikit kebiruan bagai keping salju berkata, "Ada yang lebih cantik dari ini. Kamu mau lihat?"

Mata biru langit anak perempuan berusia empat tahun berbinar. Ia mengangguk semangat. "Mau! Mau! Atha mau lihat!"

Gadis kecil berambut putih kebiruan tersenyum, lantas meniup kelopak bunga dandelion putih tersebut. Bunga-bunga kecil beterbangan mengikuti arah angin berembus. Yang menjadi atensi si anak perempuan bukanlah bunga-bunga kecil yang bisa terbang itu, melainkan sesuatu seperti es yang menyelimutinya. Si anak perempuan mengambil satu bunga kecil yang hendak menabrak dadanya. Ia sentuh bunga itu. Dingin. Pun berkilau.

Ia mendongak, menatap penasaran sekaligus kagum pada gadis kecil berambut putih kebiruan. "He-hebat! Buna ini jadi es?"

Gadis kecil mengangguk. "Ini mana-ku. Es. Cantik, kan? Suatu saat, aku ingin menjadi penyihir besar seperti ibumu, Artha!"

Melihat kakak tirinya, Milen,  menceritakan impiannya dengan begitu semangat, anak perempuan bernama Artha bertepuk tangan. "Hebat! Atha juga mau jadi penihir besal!"

Raut Milen seketika berubah menjadi jengkel, pun tersirat iba. "Artha tidak bisa menjadi penyihir."

Sepasang mata biru anak perempuan itu membulat. "Kenapa?"

"Karena Artha tidak punya mana."

"Mana itu apa?"

"Mana itu ... energi yang mengalir di tubuh seorang penyihir yang didapat sejak lahir. Ayah bilang, Artha tidak punya mana."

Kata-kata itu mungkin terdengar sebagai penghancur mimpi bagi siapa pun yang mendengarnya. Namun, begitulah seorang Milenia Winter. Sangat blak-blakan dan tepat sasaran.

Artha hanya menunduk dalam-dalam, menekuk wajahnya dan cemberut. Jemarinya memainkan bunga kecil berlapis es yang disihir Milen tadi dan menggenggamnya erat. Tanpa keduanya sadari, es yang semula menyelimuti bunga tersebut perlahan mencair, membuat bagian kecil dari dandelion itu kembali seperti sebelumnya; berwarna putih dengan serbuk kuning.

***

"Putri! Saya mohon, sadarlah!"

Sayup-sayup indra pendengaran Artha menangkap suara wanita. Tersirat nada cemas di dalamnya. Perlahan kelopak mata Artha terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah plafon kamar berwarna abu-abu nan berhias chandelier perak. Dengan tenaga yang minim, Artha mencoba menoleh ke samping. Mata biru langitnya membola tatkala mendapati raut terkejut Satin. Wanita itu menangis haru, lantas menggenggam erat tangan kanan Artha yang tergeletak di ranjang dengan kedua tangan.

"Anda! Tolong jangan membuat saya khawatir! Apa Anda tidak tahu betapa cemasnya saya saat melihat Anda pingsan di kamar?!" Satin memekik sembari sesegukan.

Artha yang masih belum mendapatkan kesadaran penuh berbisik, "Tenanglah, Satin. Aku ... baik-baik saja."

Namun, agaknya bisikan super pelan itu tidak didengar oleh Satin.

Netra Artha menerawang. Di belakang Satin, beberapa dayang berdiri. Raut mereka juga terlihat cemas. Apa mereka benar-benar mengkhawatirkan Artha? Entahlah, Artha tak tahu. Gadis itu memilih kembali meluruskan pandangan. Dilihatnya lemari kayu nan besar yang warnanya berpadu merah dan emas.

Genggaman tangan Satin menyentuh kening wanita itu, dengan pose bak seseorang yang hendak berdoa. Dengan suara serak yang seperti habis menangis, Satin kembali berbicara, "Maafkan saya! Ini salah saya yang meninggalkan Anda sendirian! Saya berjanji tidak akan meninggalkan Anda sendirian lagi meski sedetik!"

Itu justru berita buruk bagi Artha.

Meski demikian, gadis itu hanya mengangguk dan mendengkus. Lantas ia mencoba bangun, dibantu oleh Satin dan satu dayang lain. Artha melirik pakaian yang dikenakannya sekarang; gaun terusan merah muda bercorak polkadot hitam.

"Anda tidak usah memaksakan diri, Putri," kata Dayang Jane.

"Lebih baik Anda kembali beristirahat saja," timpal Satin yang mengangguk mengiakan.

Artha menggeleng. Ia teringat buku hariannya yang di berada di meja. Namun, buku hariannya tidak lagi berada di sana. Pasti ada yang memindahkannya atau bahkan ... membacanya. Itu berita buruk.

"Satin, ada di mana buku harianku yang bersampul magenta?" tanya Artha sembari memegang kepalanya yang masih pening.

"Di laci meja Anda," jawab Satin. Kemudian ia cepat-cepat melanjutkan, "Tenang saja, saya maupun dayang lain tidak membacanya."

Artha mengembuskan napas lega. Kendati demikian, ia masih curiga. Barang kali ada yang membacanya karena buku itu dalam keadaan terbuka saat Artha jatuh tak sadarkan diri.

"Satin."

Wanita itu mendongak, menatap wajah sang putri yang terlihat lunglai. "Ya?"

"Jangan beritahukan kejadian ini pada Kay, Freya, apalagi Yang Mulia dan Ibu Suri. Jangan pula pada Archana, atau siapa pun selain dayang-dayang di istana ini. Mengerti?" ujar Artha, menekankan kata terakhir seraya menatap tajam Satin beserta dayang-dayang di belakangnya.

"Tetapi, Put—"

"Tidak ada penolakan. Atau aku harus memohon dan bersujud kepada kalian dulu?"

Satin dan dayang lain spontan menggeleng. "Baik, Putri."

"Kalian, tinggalkan ruangan ini segera. Saya yang akan mengawasi Putri Artha." Titahan Satin dibalas anggukan serempak dari dayang-dayang. Satu per satu dari mereka mulai meninggalkan kamar Artha, menyisakan sang putri dengan kepala dayang Istana Rubi.

"Putri." Suara Satin yang begitu lembut menusuk indra pendengaran Artha. Gadis itu bergidik, benar-benar tak terbiasa mendengarnya. Selama ini Satin selalu berkata kepadanya dengan nada keras, tegas, kadang kala membentak. Melihatnya melembut seperti ini membuat bulu kuduknya meremang.

"Ada apa, Satin?" Artha mencoba mengabaikannya dan menjawab seperti biasa.

"Apa Anda ingin diperiksa oleh tabib? Saya bisa memanggilnya secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan Yang Mulia."

Artha menggeleng tegas. "Tidak, Satin. Tidak perlu. Aku baik-baik saja."

Satin bangkit, tanpa sadar melepas genggamannya. Tatapan nyalang ditujukan pada Artha. Berlainan sekali dengan suara lembutnya tadi. Artha merutuk dalam hati. Inilah dia, Satin yang ia kenal.

"Saya melihat ada darah dan kelopak bunga di rok Anda. Jelas Anda sedang tidak baik-baik saja!" katanya agak membentak.

Artha menyunggingkan senyum sinis. "Jadi, apa kau benar-benar khawatir padaku atau pada jabatanmu, Satin?"

Wanita bertubuh agak tambun yang mengenakan pakaian biru gelap serta apron putih bersedekap. "Tajam sekali kata-katamu, Putri. Tentu saja saya khawatir pada Anda."

"Kau bukan khawatir padaku, tetapi pada tugasmu yang seharusnya melayani dan mengurusku. Namun, kau tidak bisa mengurusku dengan baik. Karena itu kau khawatir keadaanku yang muntah darah terdengar sampai luar."

"Lelucon yang bagus, Putri, tetapi saya tidak seperti Anda pikirkan. Anda terlalu mencurigai saya yang selama ini telah mengurus dan membesarkan Anda sejak kecil."

Satin selalu pandai membalikkan kata-kaha. Artha mengakui itu.

"Baiklah, anggap saja begitu. Aku ingin kita sepakat untuk tidak memberitahukan kejadian ini kepada pihak luar, bahkan Kay sekalipun."

Artha mengulurkan tangan kanannya, sementara Satin seakan memandang rendah telapak tangan Artha. Meski demikian, wanita itu meraih uluran tangan Artha dan menjabatnya.

"Saya sepakat."

Setelah kata itu terucap, Artha menarik tangannya kembali.

"Apa saya perlu memanggil tabib?"

"Tidak perlu. Aku yakin ini hanya terjadi sekali saja."

"Sayangnya saya tidak yakin begitu. Saya tahu dua tahun lalu Anda memohon kepada 'Pohon Harapan'. Dan mungkin ... apa yang Anda alami sekarang adalah ganjaran atas permohonan itu."

Perkataan Satin membuat Artha tercenung. Ia teringat kata-kata Freya lalu saat mereka mengunjungi taman paviliun istana dan berada di depan 'Pohon Harapan'. Satu ganjaran atas permohonan berharga adalah ....

Artha meneguk saliva, lantas menggenggam liontin rubi yang melingkar di lehernya.

"... kematian," ucap Artha lirih.

🌸🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro