chapter 7
"Freya, sejak kapan Archana kau mengenal Archana?" tanya Artha pada gadis berambut cokelat pasir yang tengah mendorong kursi rodanya menuju taman paviliun istana.
"Entahlah, Putri. Saya lupa kapan tepatnya, tetapi saya dengan Archana adalah teman masa kecil. Kami tumbuh bersama di ibu kota Avaroe." Gadis berambut cokelat pasir, Freya, menjawab dengan santai. Nada bicaranya lembut, tetapi tegas. Artha sangat menyukai suara Freya dan cara gadis itu berbicara. Elegan, pikir Artha.
"Ah ... begitu." Artha menunduk, menikmati dorongan pada kursi roda yang membawanya ke taman paviliun istana. Dengan ditugaskannya Freya sebagai kesatria yang menjadi pengawal pribadinya, Artha bisa sedikit terbebas dari kekangan Kay yang selalu mengatakan 'tidak boleh ini, tidak boleh itu'. Freya bahkan berbaik hati bersedia menemaninya mengunjungi paviliun istana, meski kalau Satin tahu, mereka berdua bisa habis. Artha begitu bersyukur Freya adalah orang yang tepat. Ia sempat mengira Freya sama posesifnya dengan Kay. Yeah, sebagian besar kesatria yang menjadi pengawalnya benar-benar mengekang Artha. Tak sedikit pula yang sebenarnya berbaik hati, tetapi takut akan hukuman Kay maupun sang Raja karena sudah membawa putri cacat ke luar wilayah Istana Rubi, terkecuali Freya. Hal itu agaknya membuat pengawal lain resah. Bagaimana tidak? Padahal gadis tujuh belas tahun tersebut baru saja ditugaskan.
"Freya," panggil Artha dengan nada rendah, "apa baik-baik saja kau mengantarku ke taman paviliun istana?"
Freya agak menelengkan kepalanya ke kanan. "Apa yang salah? Memangnya tidak boleh saya membawa Anda ke sana? Anda, kan, putri yang memang tinggal di istana. Lagi pula bukankah Anda sendiri yang meminta saya mengantarkan Anda ke sana?"
Artha menjawab ragu, "Memang ... tetapi masih ada waktu untuk kembali sebelum Kay marah. Kau bisa saja diberi sanksi."
Freya menyemburkan tawa, membuat Artha tertegun. Bahkan tawa Freya pun terlihat anggun. Artha berpikir, apakah Freya juga bangsawan seperti Archana? Namun, kenapa ia memilih untuk menjadi kesatria?
Setelah tawanya mereda, Freya sembari mendorong kursi roda Artha memasuki kawasan Istana Zamrud berkata, "Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya, Putri. Saya dengar-dengar katanya Anda senang mengunjungi taman, bukan? Kebetulan bunga-bunga di taman paviliun istana sedang bermekaran. Anda akan menyesal kalau melewatkannya."
Artha tersenyum tipis. Benaknya membayangkan kuncup-kuncup bunga aprikot yang baru bermekaran. Taman akan dipenuhi nuansa merah muda menenangkan. Tanpa sadar Artha mengulum bibir, lantas tersenyum kecil.
"Kalau kau tak masalah, aku pun tak masalah. Soal Kay yang akan marah itu urusan nanti," kata Artha, lalu terbahak. Freya ikut tergelak.
"Anda tahu? Mulanya saya tidak menyangka ternyata Anda nekat juga. Saya dengar dari Lili, katanya Anda suka diam-diam pergi sendirian ke luar kawasan Istana Rubi. Pun sering merepotkan Satin serta Tuan Kay karena gemar berkeliaran dan menghilang."
"Itu benar." Artha masih belum menghentikan tawanya. Selang beberapa detik, gadis itu akhirnya terdiam, lantas berdeham.
"Sebentar lagi kita sampai."
Tak lama kemudian, mereka memasuki sebuah gerbang berwarna merah nan megah. Freya melangkah mendekati gerbang dan membukanya, kemudian kembali mendorong kursi roda Artha. Begitu memasuki kawasan tersebut, Artha serta Freya disambut oleh desiran angin yang menyejukkan. Di sisi kanan dan kiri tumbuh pepohonan nan berjejer rapi. Ada yang berbunga, pun berbuah banyak. Freya membawanya ke kawasan bunga musim semi. Namun, tatkala ingin ke sana, Artha merentangkan tangan kanannya, mengisyaratkan Freya untuk berhenti sejenak. Sang gadis kesatria mematuhi. Ia mengikuti arah pandang Artha, lantas membulatkan pupil.
"'Pohon Harapan'," ucap keduanya serempak.
Air muka Artha berubah. Ia mengambil alih kemudinya sendiri, kemudian menggiringnya mendekati 'Pohon Harapan' yang seperti pohon biasa. Bedanya hanyalah daunnya berwarna merah muda. Jika dua tahun lalu pohon itu ditumbuhi kelopak bunga sakura, saat ini pohon itu tampak polos, tanpa berhias apa pun selain daun-daun merah muda yang berguguran dan terlihat cantik bila dilihat lebih dekat.
Freya yang baru menyadari Artha meninggalkannya di belakang, segera berlari dan kembali mengambil alih kemudi kursi roda sang putri.
"Putri ... Archana berkata pada saya bahwa Anda pernah memohon pada 'Pohon Harapan' saat bunga-bunga pohon bermekaran musim semi dua tahun lalu. Apakah itu benar?" Setelah sampai tepat di belakang Artha, Freya bertanya dengan mengecilkan volume suaranya.
Artha diam sejenak sebelum menganggukkan kepala dan menjawab dengan volume kecil pula, nyaris berbisik, "Benar. Saat itu aku benar-benar sudah pasrah. Aku kesepian, Freya. Aku ... aku butuh seseorang yang mau menerimaku apa adanya, serta membawaku pada dunia luar."
Nada putus asa terdengar di setiap kata-kata yang keluar dari mulut Artha. Hal itu membuat Freya menggeleng tegas.
"Anda tidak pasrah, Putri. Dengan Anda memohon pada sang Dewi, bukankah Anda masih memiliki secuil harapan? Karena itu Anda mengambil kesempatan yang mungkin hanya datang seratus tahun sekali, meski Anda ... tahu risikonya ...."
"Aku sangat tahu risikonya, Freya, sangat tahu. Karena itu aku pasrah. Dan, kau benar. Aku masih mau berharap. Kalau tidak, mana mungkin aku rela kabur dari genggaman Satin sampai mendapat menerima cercaan rakyat."
Artha mendengar helaan napas dari arah belakang. "Hidup Anda terlihat berat ... tetapi Anda begitu hebat sampai saya tidak bisa berkata-kata lagi."
Artha tertawa hambar. "Archana mungkin juga akan berkata demikian."
Freya langsung menundukkan kepalanya. "Maafkan saya jika membuat Anda tersinggung."
"Lupakan." Artha mengibaskan tangan di depan wajah. "Aku tidak akan mempermasalahkannya selagi kau tidak mengasihaniku."
Perkataan Artha membuat sang gadis kesatria mengangkat wajah. "Saya mengerti."
"Ah, ya. Apa Archana mengatakan sesuatu kepadamu soal janjinya?"
Freya menggeleng sebagai jawaban. Namun, gerakannya tersebut tak dapat dilihat Artha. Oleh karena itu, ia menjawab, "Tidak, Putri. Saya tidak tahu Archana menjanjikan apa kepada Anda. Namun, dia sampai meminta kepada Yang Mulia—dengan statusnya sebagai Penyihir Musim Semi—menugaskan saya yang baru dilantik menjadi kesatria tingkat pertama untuk menjadi pengawal Anda."
Mulut Artha terbuka, sementara pupilnya membulat. "Jadi, Archana ... sampai berbuat begitu?"
"Benar, Putri."
"Mulanya saya heran mengapa dia sampai melakukan seperti itu hanya demi Anda, tetapi sekarang saya mengerti." Netra hijau zamrud mengerling tajam. Berlainan sekali dengan kedua sudut bibirnya yang terangkat naik. "Archana Lilichen menyu—ah, maaf, sepertinya saya belum bisa mengatakannya." Freya berdeham, membuat sang putri nan cacat mendesah kecewa.
"Apakah itu, Freya? Aku butuh jawabanmu."
"Tidak, Putri. Biarlah Archana sendiri yang mengatakannya," ucap Freya. Ia beranjak, lantas berjongkok di hadapan Artha, persis sekali dengan yang dilakukan oleh Archana dahulu.
"Izinkan saya bertanya, Putri. Apakah Anda ... menyukai Archana?"
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro