Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 6

Dada Artha seakan berdesir mendengar suara itu, yang entah sejak kapan rasanya ia rindukan. Artha yakin sekali, suara Archana dahulu tidak sememesona seperti saat ini.

"A-archana?" Lidah Artha mendadak kelu. Ia ingin menjawab pertanyaan Archana, tetapi mulutnya malah berkata lain. Gadis itu menggerakkan kursi rodanya sendiri mendekati Archana yang berdiri di depan pintu utama Istana Rubi hingga membuat Lili melepas genggamannya pada kursi roda Artha.

"Kau ... kenapa bisa ada di sini?"

"Untuk menemui Anda, tentu saja." Archana masih mempertahankan senyum merekah nan manisnya. Di mata Artha, lelaki dengan seragam kesatria tingkat tiga Eltras tampak gagah dan berwibawa.

"Dari mana kau tahu aku ada di sini?" tanya Artha sembari menyelipkan helai rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. Ia sengaja tak mengatakan akan mendatangi istana utama hanya untuk melihat pelantikan Archana menjadi kesatria Eltras. Sedikit malu mengakuinya, tetapi Artha tidak ingin Archana tahu ia ingin menagih janjinya.

"Sang Bunga Musim Dingin." Archana menjawab singkat. Mendengar lelaki itu yang memanggil Milen dengan julukannya, Artha mengira mereka semakin akrab saja. Archana bahkan tak menambahkan embel-embel tuan putri pada Milen.

"Sepertinya Anda hampir tak pernah kelihatan lagi sejak itu," tuturnya. "Bahkan tiada seorang pun rakyat yang melihat Anda selama dua tahun terakhir."

Artha tertawa masam. "Tentu saja. Kau lupa bahwa aku putri yang diasingkan, Archana? Yang Mulia takkan membiarkan putri gagal sepertiku terlihat di hadapan rakyat. Sungguh memalukan, bukan?"

Keheningan melanda. Baik Archana maupun Lili sama-sama terdiam. Sigapnya, gadis itu tahu perkataannya membuat suasana menjadi tidak enak.

"Lili, antarkan Archana ke dalam. Buatkan teh terbaik dan camilan."

"Baiklah, Putri." Titahan Artha dibalas anggukan singkat oleh Lili. "Mari, Tuan."

Lili beranjak, lantas mempersilakan Archana. Raut lelaki itu mulanya terlihat ragu, tetapi Artha yang mendahuluinya mengisyaratkan untuk masuk dan berbisik, "Kita akan membicarakannya di dalam."

Tentu saja Archana tidak langsung beranjak. Ada sebuah peraturan tak tertulis yang melarang orang asing—selain dayang serta kesatria terpilih yang diutus sang Raja—untuk memasuki istana. Namun, Lili tampak tak begitu mengindahkan tatapan protes Archana dan tetap menunggu; mempersilakannya masuk. Dengan satu tegukan saliva, Archana melangkah memasuki Istana Rubi. Netranya diam-diam menyusuri Istana Rubi. Nuansa putih, cokelat, serta merah menyambutnya. Sepengamatan Archana, untuk seukuran istana kerajaan, Istana Rubi tidaklah luas. Bahkan kediaman Count Lilichen jauh lebih luas daripada ini. Bangunan serta perabotan pun terkesan sederhana dan tradisional. Berbeda sekali dengan Istana Safir tempat Milen tinggal yang penuh dengan kemewahan dan nuansa biru-emas.

"Archana, duduklah."

Artha yang entah sejak kapan sudah berpindah duduk ke sofa berwarna merah memanggil. Jari telunjuknya mengarah pada sofa di hadapan yang kosong. Sementara itu, dua cangkir teh beserta beberapa potong kue sudah tersaji di meja. Archana menghampiri sang putri, lantas duduk di sofa, berhadapan Artha yang duduk dengan kaki miring ke kanan dan telapak tangan diletakkan di atas paha. Tiada dayang lain yang berada di sekitar mereka. Itu karena Artha menyuruh siapa pun untuk tidak menguping pembicaraan mereka. Pikir Artha, bisa gawat kalau salah seorang mendengar obrolan mereka dan mengadukannya ke sang Raja seperti Lili.

Sang tuan putri mengangkat cangkir dan menyesap teh chamomile favoritnya, lantas berkata, "Selamat atas pelantikanmu sebagai kesatria, Archana."

Artha mengulas senyum, mencoba berbasa-basi.

Dua sudut bibir Archana terangkat. Air mukanya tampak bahagia dari sebelumnya. "Terima kasih, Putri."

"Bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan?" Pertanyaan Artha dijawab anggukan singkat oleh Archana.

"Silakan."

"Ehm, baik." Artha berdeham. Ia tak tahu mengapa jantungnya berdetak lebih kencang kala mata biru langitnya bersirobok dengan mata kelabu Archana yang terlihat lebih berbinar dibanding dua tahun lalu.

"Pertama, kabarku baik, Archana. Kedua, bagaimana kabarmu? Ketiga, bagaimana kau bisa ke sini? Aku tidak yakin Kay mengizinkanmu. Keempat, apa kau sudah boleh berkeliaran dan tinggal di istana? Kelima ...."

Artha menggantungkan kalimatnya. Mendadak lidahnya kelu untuk berkata demikian; janji Archana dua tahun silam. Si lelaki agaknya menunggu Artha melanjutkan kata-kata. Artha bisa melihat peluh mengalir di dahi Archana. Ternyata lelaki itu sama gugupnya dengan ia.

"Apa yang kelima, Putri?"

"Kelima ...," Artha menghela napas, "apakah kau benar-benar akan menepati janjimu?"

Archana tak dapat menyembunyikan raut terkejutnya, lantas dia tersenyum. Namun, Artha bisa melihat sebersit kekecewaan di ekspresi Archana.

Lelaki itu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan nada begitu tenang, "Pertama, saya senang Anda baik-baik saja. Kedua, kabar saya amat baik, meski terkadang saya sibuk berkunjung ke taman-taman sepenjuru Eltras. Ketiga, saya sudah izin pada Senior Kay dan beliau memperbolehkan saya menemui Anda walau hanya lima belas menit dan tidak boleh membawa Anda ke luar. Keempat, sayangnya belum, Putri. Statusku sekarang hanya kesatria tingkat tiga. Kelima ... untuk itulah saya menemui Anda."

Archana mengakhiri perkataannya dengan senyum tipis. "Maafkan saya, Putri. Saya belum bisa memenuhi janji saya. Tidak sekarang. Saya akan berusaha keras agar bisa mencapai posisi di mana saya bisa berada di sisi Anda. Selama itu pula, saya percayakan seseorang yang saya andalkan untuk berjaga di sisi Anda."

Artha mencoba untuk tersenyum, meski hatinya seakan tercoblos. Ia benar-benar terlalu berharap pada Archana. Gadis itu menunduk sembari memainkan jemarinya.

"Belum bisa, ya ...."

"Iya, maafkan saya."

Artha mendongak tatkala lelaki di hadapannya bangkit dan membungkukkan badan, bahkan sambil menunduk dalam-dalam. Senyum manisnya sirna, berganti raut serius yang tak pernah dilihatnya.

"Sekali lagi, maafkan saya karena membuat Anda menunggu lagi."

"Archana, jangan meminta maaf." Tangan Artha spontan terulur, entah untuk apa. Ia ingin ikut bangkit andai tak teringat tubuhnya akan langsung terjatuh. Terlebih, tidak ada dayang di sekitar sini.

Suara pintu terbuka menggema di dalam istana. Keduanya spontan menoleh. Seorang pria berseragam seperti Archana dengan zirah di dadanya ditambah jubah kecil berwarna keemasan di bahu kiri memasuki istana, diikuti seorang ... perempuan? Entahlah, tetapi Artha menerkanya begitu. Rambut orang itu cokelat pasir dikucir kuda. Pakaian yang dikenakannya khas kesatria. Selain simbol kesatria Eltras, ada lambang kesatria tingkat satu di dada kanannya.

"Archana Lilichen, waktumu sudah habis," ujar Kay. Pria tiga puluhan tersebut berhenti di samping sofa, menatap Artha lamat-lamat, kemudian mengerling pada Archana.

Archana menyadari posisinya. Ia mengangguk sembari tersenyum.

"Kay." Artha menoleh pada pria itu. Kepalanya agak melongok untuk melihat sosok di belakang punggung Kay.

Seakan mengerti kebingungan sang putri, Kay mengisyaratkan sosok di belakangnya untuk maju dan memperkenalkan diri.

"Halo, Putri Artha. Saya Freya Antares, kesatria tingkat satu dari Avaroe. Mulai sekarang, saya akan bertugas sebagai kesatria Anda, di bawah bimbingan Tuan Kay." Sosok yang ternyata seorang gadis tersebut membungkukkan badan sekilas pada Artha. Senyum manisnya entah kenapa membuat Artha teringat pada Archana. Dan benar saja, lelaki itu juga ikut mengulas senyum.

"Putri, dialah orang yang saya maksud; orang yang akan menjadi perisai Anda selama saya belum bisa menepati janji saya."

🌸🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro