chapter 5
"Putri! Jangan berlari-lari!" Dayang Lili memekik kencang tatkala gadis dengan gaun terusan selutut berwarna merah muda berenda putih dengan entengnya berlari-lari meski tertatih di padang rumput dekat Istana Rubi. Tak terhitung berapa kali gadis itu terjatuh, tersungkur, dan wajahnya mencium rumput serta tanah yang kotor. Namun, bukan Artha Azzavier, sang putri yang diasingkan oleh kerajaannya sendiri, kalau tidak mengenal kata menyerah.
"Tuan Putri! Saya mohon, berhenti berlarian!" Sekali lagi Lili memekik sembari berlari kecil menghampiri Artha yang bangkit dan melangkah lagi kendati gadis itu baru saja terjatuh. Lili yakin lutut gadis itu terluka. Habislah ia.
Di lain sisi, Artha tahu alasan Lili menyuruhnya berhenti berlari. Kalau ia terluka, Lili pasti akan dimarahi oleh Satin maupun Kay. Lebih-lebih diberhentikan. Artha tergelak. Tak apa bukan, jika ia sedikit 'membalas dendam' pada dayang satu itu yang telah membuatnya harus berlutut dan menangis di hadapan sang Raja? Namun, Artha masih cukup berbelas kasihan pada Lili yang namanya mirip dengan nama Archana Lilichen, laki-laki yang ditemuinya enam dan dua tahun lalu di Taman Peruna. Karena itulah, pada menit kesepuluh sejak Artha mulai berlarian di padang rumput, gadis itu berhenti beranjak juga, kemudian berjalan pelan dengan tongkat kayu sepanjang satu meter menuju kursi rodanya.
Lili mengembuskan napas lega, lantas menghampiri Artha. Wanita yang mengenakan pakaian biru tua hingga mata kaki dengan apron putih tersebut berlutut di hadapan Artha, menggenggam tangan sang putri erat. Tatapannya melunak, tebersit pula seperti memohon. Peluh membanjiri pelipisnya, barang kali sudah lelah dengan kelakuan Artha nan tak bisa diam.
"Putri, saya mohon, berhenti berlarian dan jadilah tuan putri yang baik dan anggun."
Artha menautkan alis, keningnya mengerut. Memangnya selama ini ia bukan putri yang baik? Soal anggun—baiklah, Artha mengakuinya. Ia memang 'sedikit' tidak bisa diam. Empat tahun terakhir ia memang kerap diam-diam pergi dari Istana Rubi untuk latihan berjalan. Terlebih dua tahun sejak ia bertemu Archana Lilichen, progres Artha berkembang cukup pesat. Gadis itu bahkan sudah bisa berlarian meski tertatih-tatih dan harus menggunakan tongkat kayu. Kemajuannya itu hanya diketahui oleh beberapa dayang yang kebetulan melihat atau mengurusnya seperti Lili sekarang ini.
Meski demikian, progres Artha yang sudah bisa berjalan pada akhirnya diketahui oleh Kay, berkat ulah Lili yang dengan sengaja mengadu jika Artha sukar sekali diatur dan kerap menghilang dari Istana Rubi. Dan Lili mengatakan itu tepat di depan sang Raja saat beliau datang berkunjung ke Istana Rubi tiga bulan lalu. Alhasil, Artha harus memohon-mohon sambil berlutut dan menangis agar ia tak dipindahkan ke Istana Amber, tempat yang lebih terasing lagi di kerajaan. Posisinya terletak di pelosok, dekat perbatasan kerajaan seberang yang mana hampir tidak ada rakyat yang mengetahui lokasi itu.
Sebenarnya Artha tak begitu masalah. Toh, selama ini ia memang diasingkan. Akan tetapi, jika demikian terjadi, Archana akan sulit untuk menemuinya dan Artha tak lagi bisa berkeliaran diam-diam di luar Istana Rubi. Ia juga tak bisa meminta Satin mengantarnya ke Istana Safir untuk bertemu Milen—ya, gadis itu memang sudah lebih dekat dengan kakak tirinya yang lebih tua tiga tahun. Kini Milenia Winter sudah berusia tujuh belas tahun. Tinggal setahun lagi menuju upacara kedewasaannya yang mungkin akan digelar sangat meriah. Entah Artha diundang atau tidak, tetapi gadis itu menantikannya.
"Lili, antarkan aku ke istana. Hari ini pelantikan kesatria bukan?" Artha memilih mengabaikan kata-kata Lili. Ia jadi teringat Archana Lilichen dan janjinya. Meskipun Artha tak benar-benar memercayai lelaki itu, hati kecilnya tetap mengharap janji manis yang diucapkannya dua tahun lalu di Taman Peruna. Dan sekaranglah saatnya ia menagih janji tersebut.
"Putri ... saya ...." Raut Lili terlihat ragu. Matanya bergerak ke sana kemari, masih menggenggam tangan Artha erat.
"Ada apa, Lili? Kau tidak mau menuruti perintahku?"
Lili tersentak, tampak panik. "Bu-bukan begitu, Putri! Tuan Kay pasti akan marah dan tidak mengizinkan. Lagi pula untuk apa Anda pergi ke sana? Yang Mulia pun akan—" Lili seketika menghentikan ucapannya tatkala Artha menatapnya tajam.
"Kalau begitu aku akan pergi sendiri."
Artha menepis tangan Lili, lantas menggerakan kursi rodanya sendiri untuk berbalik dan hendak pergi. Namun, Lili berlari terlebih dahulu, berhenti di depan Artha kemudian jatuh terduduk. Dengan mata memelas, Lili menangkupkan kedua tangannya.
"Saya mohon, Putri! Yang Mulia bisa memecat saya! Kalau saya tidak bekerja di istana, saya tidak tahu harus bekerja di mana lagi, Putri! Apa Anda tidak mengasihani saya, seorang orang tua tunggal yang harus menafkahi empat orang anak ini?"
Sementara Lili memohon-mohon sembari menangis tersedu-sedu, air muka Artha justru mendatar. Ia mendengkus memikirkan banyak sekali ular yang berkeliaran di kerajaan, khususnya Istana Rubi. Tidak sedikit dayang-dayang yang hanya memanfaatkannya dan tidak menjalani tugas mereka dengan benar sebagai dayang. Sebagian besar acuh tak acuh pada Artha, bahkan sejak gadis itu kecil pun, ia kerap mendapatkan perlakuan yang tak pantas padahal statusnya sebagai seorang putri raja.
"Apa Anda tidak bisa sebentar saja, menjadi tuan putri yang penurut dan—"
Artha menggigit bibir bagian bawahnya, menggeram. Tak mengindahkan Lili yang masih terduduk di rumput hingga pakaiannya sedikit motor, Artha segera menggerakan sendiri kursi rodanya, meninggalkan Lili yang cepat-cepat berlari ke arahnya lagi, menghalangi pandangan. Kala Artha berbalik, lagi-lagi wanita itu mengejar. Perempatan seakan muncul di kepala Artha. Gadis empat belas tahun tersebut menoleh ke belakang, memandang sinis Lili yang terkejut.
"Dengar, Lili! Aku tidak peduli kau akan dipecat atau tidak. Kau juga tidak peduli bukan, saat aku akan diasingkan lebih parah lagi oleh Yang Mulia? Jadi jangan berharap pada belas kasihku. Aku bukan Putri Milen yang baik hati."
Mata kehijauan milik Lili mulai berkaca-kaca. Dia menangkupkan tangan lagi, lantas bersujud sembari menangis. "Ampuni saya, Putri! Saya benar-benar tak bermaksud—"
Artha berdecak kasar. Ia memalingkan wajah. Meski demikian, ia tak bisa melihat seseorang berlutut di hadapannya.
"Antarkan aku kembali."
Lili mendongak. Matanya masih berkaca-kaca, sedangkan rautnya menunjukkan kebingungan. Namun, wanita dengan rambut hitam kelam yang disanggul berhias pita putih tersebut tetap mengangguk, lalu berdiri dan mengambil kemudi kursi roda.
"Baiklah, Putri."
Lili mengantarkannya kembali ke Istana Rubi. Dalam hati Artha meracau kecewa. Lagi-lagi ia yang harus mengalah. Jika yang dihadapinya Satin ataupun Kay, Artha masih punya sedikit kekuatan untuk berontak dan melakukan yang diinginkannya walau mereka melarang dan berujung Artha tidak diperbolehkan keluar Istana Rubi selama waktu tertentu. Namun, sekarang, Artha benar-benar ingin bertemu Archana. Dirinya ingin membuktikan kebenaran janji sang Penyihir Musim Semi. Meski demikian, Artha pun sebenarnya tak tahu kapan tepatnya pelantikan kesatria berlangsung. Ia hanya dengar-dengar dari dayang-dayang di istana jikalau pelantikan seluruh kesatria, baik veteran maupun baru, adalah hari ini.
Ketika sampai di Istana Rubi, Artha tak bisa tak melebarkan matanya. Saking terkejutnya ia, jantungnya bisa copot sekarang juga.
Masalahnya ... seseorang ternyata tengah menunggunya. Laki-laki berambut cokelat gelap klimis dengan pesona mata kelabu menoleh pada Artha saat gadis itu datang. Ada zirah perak yang melapisi tubuhnya. Logo kesatria Eltras berupa perisai berwarna merah-putih terpampang di dada kiri lelaki itu. Tak lupa sebilah pedang yang tersampir di pinggang.
Dengan senyum semanis buah persik, laki-laki dengan tinggi semampai dibanding saat Artha bertemu dengannya dua tahun silam menyapa ramah.
"Halo, Putri. Bagaimana kabar Anda selama dua tahun ini?"
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro