chapter 4
Jantung Artha berdegup kencang. Tatapan mata kelabu Archana entah kenapa begitu memesona. Artha menggeleng-geleng. Tanpa sadar dia sudah terlalu lama menatap Archana. Gadis itu berdeham dan memalingkan wajah ke arah taman tempat bunga tulip berbagai warna tumbuh. Ia menyadari perkataan Archana yang terkesan nonformal, tetapi hatinya sedang tidak sehat, jadi ia memilih abai.
"Bagaimana caramu membawaku ke dunia luar?" Artha bertanya tanpa mengalihkan pandangan. Jantungnya berdegup makin tak keruan. Artha kelimpungan. Benaknya berkecamuk. Sebelumnya, ia tak pernah merasa seperti ini. Apakah gerangan?
"Saya sudah resmi menjadi penyihir istana dan mungkin akan mengajukan diri sebagai kesatria kerajaan. Dengan begitu, saya bisa bertemu Anda selalu."
"Satin dan Kay takkan melepaskanku. Ditambah lagi Yang Mulia ...." Artha menangguhkan ucapannya. Ia kembali menunduk. Rasanya pesimis mengingat kebijakan sang Raja adalah mutlak.
"Kalau begitu, apakah Anda bisa menunggu saya? Dua tahun saja, saya berjanji akan menjadi kesatria Anda."
Kata-kata itu terdengar seperti janji manis yang palsu bagi Artha. Sebenarnya secuil hatinya ingin memercayai kata-kata Archana. Bolehkan ia berharap? Akan tetapi, Artha takut jatuh; jatuh dalam ekspektasinya yang begitu tinggi. Ia pernah berharap pada seseorang yang mengatakan akan membawanya pada dunia luar. Orang itu adalah laki-laki, kesatria tingkat kedua dari Avaroe. Mulanya orang itu berjanji, sama seperti Archana. Namun, laki-laki itu kemudian dipindahtugaskan, entah karena murni perintah sang Raja atau karena sudah lelah harus menuntun Artha yang tidak bisa berjalan ke mana-mana.
Artha menimang, teringat akan permohonannya pada 'Pohon Harapan'. Orang yang akan menerimanya apa adanya, tanpa memedulikan kekurangan serta statusnya sebagai putri terasing. Apakah Archana orangnya?
Artha tak tahu. Ia tak ingin berharap lagi. Bodohnya ia. Tetap berharap pada sang Dewi meski ia sendiri tak memercayai kesaktian 'Pohon Harapan' tersebut.
"Kenapa kau setangguh itu, Archana? Kenapa? Padahal aku bukan siapa-siapa. Aku cuma orang cacat, tidak punya mana, dan diasingkan. Tidak ada orang yang mau menerimaku, bahkan orang tua dan saudara-saudariku sendiri!"
Cairan bening menetes dari mata Artha, mengalir melalui pipi lalu terjatuh di gaun terusan berwarna putih-biru yang dikenakannya.
Archana mengeluarkan sebuah saputangan putih dengan motif bunga berwarna merah muda di salah satu sisinya dari saku celana panjangnya. Lantas, ia menyeka air mata Artha dengan saputangan itu.
"Tidak begitu, Putri. Saya yakin banyak orang yang menyayangi Anda. Yang Mulia Raja, walaupun terlihat dingin, beliau sebenarnya peduli pada Anda. Tuan Putri Milen juga perhatian. Satin dan Senior Kay yang sudah menemani Anda selama bertahun-tahun pun begitu—"
"Kau tahu apa, Archana?" Suara Artha terdengar bergetar, jelas seperti menahan emosi. Tubuhnya ikut bergetar, kepalanya menunduk sementara pipinya yang sudah kering basah oleh air mata lagi.
Artha menyunggingkan senyum sinis. "Kau hanya orang baru, Archana. Kita baru saja bertemu beberapa saat lalu dan kau berlagak seperti orang yang paling tahu tentang sekitarku."
Archana tentu saja tertegun. Ia tak menyangka orang yang di matanya terlihat rapuh tersebut bisa berkata sedemikian kejam. Namun, Archana tak bisa menyangkal. Kata-kata sang putri benar. Ia sendiri pun tak mengerti; mengapa sebegitunya hendak bertindak demikian, padahal mereka baru saja saling mengenal. Janji itu terucap begitu saja dari mulut Archana. Meski benaknya tak yakin, tetapi hatinya sangat yakin. Dan ia, pada akhirnya memilih sang putri nan cacat dan terasing yang dicemooh banyak orang, bahkan rakyatnya sendiri untuk dilindungi.
"Putri ... tahukah Anda? Saya sendiri pun tidak mengerti mengapa saya harus berjanji pada Anda. Akan tetapi, hati saya berkata demikian dan saya entah kenapa, malah mengikuti kata hati saya." Archana tersenyum kembali. Tangannya tanpa sadar menyentuh punggung tangan Artha, menggenggamnya. "Sampai saat itu tiba, saya berjanji akan membawa dan memperkenalkan Anda pada dunia luar yang jauh lebih indah dari Taman Peruna."
Lagi-lagi angin berembus kencang. Kali ini tangan kiri Artha sigap mencengkeram topi lebarnya agar tidak terbang dicuri angin. Namun, yang dilakukannya justru membuat tangannya terbebas dari genggaman Archana yang lembut dan tidak kokoh. Archana yang baru menyadari segera menarik kedua tangannya dan menyembunyikannya di belakang punggung sembari berdeham malu dan berkata, "Maafkan ketidaksopanan saya."
Tatapan Artha tertuju pada sepasang mata kelabu Archana.
"Aku hanya tidak mau berharap lebih, Archana."
"Tapi bukankah Anda baru saja memohon kepada 'Pohon Harapan'?"
Air muka Artha berubah. Ia tak menjawab. Batinnya merenungi tiap kata-kata Archana, pun berpikir mungkin harapannya sudah terkabul. Archana-lah jawaban dari permohonan Artha yang dikirim oleh sang Dewi. Namun, jika benar demikian, bukankah ini terlalu cepat? Bukan maksud Artha ingin permohonannya terkabul lama. Ia hanya tak percaya 'Pohon Harapan' mengabulkan permohonan secepat itu. Bahkan, ia cukup pesimis harapannya akan terkabul.
"Itu berbeda, Archana. Berharap pada manusia akan membuatmu kecewa." Artha tertawa masam. "Tetapi, aku sebenarnya juga tidak percaya pada sang Dewa maupun Dewi. Jika benar mereka ada, kenapa mereka membiarkanku hidup dengan ketidakadilan?"
Archana terdiam, lantas mengembuskan napas. "Suatu saat, saya akan menunjukkan sesuatu kepada Anda, Putri. Sesuatu yang akan membuat Anda membuka mata Anda lebih lebar."
Sesuatu seperti mengganjal di hati Artha. Ia merasa Archana seperti menyindirnya, menganggapnya kurang bersyukur. Akan tetapi, bukankah ia yang belasan tahun hidup dalam pengasingan pantas mengatakan demikian? Orang-orang mencacinya, hanya karena ia cacat dan tidak punya mana. Anggota kerajaan lain yang seharusnya menjadi keluarganya pun tak berfungsi semestinya. Selama ini Artha hidup dalam bayang hitam-putih, seolah hidupnya tak berwarna dan tak ada maknanya. Kendati demikian, Artha tetap menantikan apa yang ingin ditunjukkan oleh sang Penyihir Musim Semi.
"Aku ... menantikannya," balas Artha pelan.
Sebuah senyum terbit di wajah Archana. Dalam posisi bercangkung, Archana mengulurkan tangan kanannya kepada Artha. Sepasang mata biru indah menatap tangan dengan kulit kuning langsat tersebut.
"Jadi, apa jawaban Anda, Putri?"
Artha meneguk saliva. Perlahan tangannya meraih telapak tangan Archana. Gadis itu bisa merasakan sensani tenang yang menerpa hingga tanpa sadar membuat matanya memejam damai dan berucap, "Aku memilih untuk menunggumu, Archana; memberimu kesempatan. Aku akan mengikuti alur dari 'Pohon Harapan' dan membiarkan permohonanku mengalir dengan sendirinya."
Artha membuka kelopak mata. Di hadapannya, lagi-lagi Archana tersenyum manis. Artha jadi bertanya-tanya, di umurnya yang sekarang saja, Archana sudah memesona. Tak ia mungkiri, Archana memang tampan dibanding anak seusianya. Bagaimana saat dia dewasa nanti? Diam-diam Artha menantikannya.
"Putri Artha Azzavier!"
Panggilan itu sontak membuat keduanya menoleh. Satin dengan wajah yang memerah—sepertinya karena marah—bergegas menghampiri Artha dan Archana sembari mengangkat pakaian biru gelap khas dayang. Kaki jenjangnya yang agak gemuk dan bersepatu hitam terlihat meski dari jauh.
Artha meringis, kemudian menatap Archana. "Sepertinya kita sudah pergi terlalu lama."
"Tuan Archana! Haruskah saya katakan pada Anda untuk tidak berlama-lama membawa Putri Artha ke luar istana?" Satin bertanya sinis, lantas mengambil alih kursi roda Artha.
Sang Penyihir Musim Semi bangkit. Ia menatap Satin sejenak sebelum menundukkan badan.
"Maafkan saya, Dayang Satin."
"Astaga! Yang Mulia Raja sampai mengomeliku karena ulah kalian." Satin membalikkan kursi roda, hendak menggiring Artha pergi dari sana. Wanita bertubuh agak tambun tersebut melirik Archana. "Tuan Archana, Anda tidak boleh membawa Tuan Putri pergi ke luar lagi. Selamat tinggal."
Sebelum Archana sempat berkata-kata, Satin sudah membawa Artha pergi. Gadis itu tak sempat memberikan salam perpisahan, hanya menoleh ke belakang sekilas dan memberikan sebuah lambaian tangan. Kini, Archana bisa melihat helai merah muda yang terlihat dari balik punggung Satin berkibar indah mengikuti arah angin berembus.
Putri, tahukah Anda? Sepertinya aku ... telah jatuh cinta.
Sampai saat itu tiba, aku berjanji akan bertambah kuat agar bisa menjadi tameng dan melindungimu selalu, Putri.
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro