chapter 3
Artha termangu. Mata biru sejernih langit masih menatap Archana dengan sorot bingung. Sementara itu, Archana Lilichen mendorong kursi roda Artha mendekati pohon aprikot yang bunga-bunganya masih kuncup. Angin berembus kencang dari arah barat. Helai rambut merah muda Artha yang diurai sepunggung berkibar mengikuti arah embus angin, sesekali menusuk mata Archana yang ada di belakangnya.
"Jadi, kau ... anak laki-laki itu ...." Artha tiba-tiba saja menggumam. Pandangannya kembali lurus menatap pohon aprikot dua meter di hadapan.
"Dan Anda adalah anak perempuan yang dahulu jalannya tertatih-tatih dengan bantuan tongkat kayu," lanjut Archana. Ia mendongak, mengikuti arah pandang Artha.
"Archana," panggil Artha. Archana mendekatkan kepalanya ke telinga kanan gadis itu. "Saat aku kabur dari istana, kau adalah orang pertama yang kutemui selain orang-orang kerajaan."
Archana tampak terkejut. Namun, wajahnya begitu tenang.
"Saya tersanjung," kata Archana dengan kekehan, "tetapi kenapa Anda menolak bantuan saya saat itu?"
Artha membisu, lantas menjawab dengan volume pelan, "Kupikir ... tidak ada yang mau mendekati orang cacat sepertiku. Aku takut kau menghinaku."
"Saya bukan orang yang seperti itu."
"Siapa tahu." Artha mengedikkan bahu. "Archana, kenapa kau mau membawaku? Biasanya orang-orang akan menolak membawaku karena menganggap aku yang cacat ini merepotkan."
"Saya—"
"Atau karena ini perintah Raja?" sela Artha. Nada bicaranya berubah menjadi dingin.
Archana langsung menggeleng tegas, kendati Artha tak melihatnya. "Bukan, Putri. Memang benar Yang Mulia memerintahkan saya, tetapi membawa Putri memang kemauan saya. Lagi pula Tuan Putri Milen juga mengajak Anda."
"Hebat." Artha tertawa sinis. "Aku tidak percaya ada orang yang mau membawa putri cacat sepertiku."
Angin berembus makin kencang, sampai-sampai topi lebar dengan hiasan bunga aster putih yang dipakai Artha nyaris terbang andai Archana tak sigap menangkapnya. Archana memakaikan topi itu di kepala Artha.
"Terima kasih," ujar Artha lirih, lantas ia kembali menoleh ke belakang. Laki-laki yang sepertinya berusia beberapa tahun di atasnya tersebut mengenakan kemeja, masih dengan jubah ungu tua yang menandakan bahwa ia adalah penyihir serta lulusan Akademi Penyihir Avaroe.
"Kau tidak perlu berbohong, Archana. Kalau kau keberatan, aku bisa menggerakkan kursi roda ini sendiri," lanjut Artha. Entah kenapa gadis itu merasa skeptis pada Archana. Baiklah, mungkin sang Penyihir Musim Semi terlihat baik dan santun, tetapi Artha tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Archana. Boleh jadi laki-laki itu sama seperti yang lainnya. Diam-diam mencela Artha yang tak bisa berjalan dan tak punya mana.
"Saya tidak berbohong, Putri. Saya murni ingin membantu Anda. Malah, justru saya ... sedikit kasihan dengan Anda." Archana mengecilkan volumenya pada kalimat terakhir.
Telapak tangan Artha mengepal. Itulah! Kalau tidak mencela, pasti ia dikasihani. Artha yang selama dua belas tahun hidup dalam perasingan sudah biasa dipandang seperti itu. Namun, ia jauh lebih baik dicela daripada dikasihani. Itu membuatnya terlihat lemah dan tidak berdaya.
"Terima kasih, tapi aku tidak butuh belas kasihmu, Archana."
Taman Peruna seketika lengang. Hanya ada mereka berdua di taman terindah sepenjuru Avaroe. Milen? Sang Bunga Musim Dingin itu pergi entah ke mana. Laki-laki dengan gelar Penyihir Musim Semi yang baru dilantik sebulan lalu makin bingung ingin menjawab kata-kata sinis Artha bagaimana. Hati kecilnya memang mengasihani Artha. Namun, ia tulus ingin membantu gadis yang terlihat rapuh itu. Ia hanya ingin ... mendekati Artha, mengobati lukanya, dan menemani masa-masa remajanya karena ia tahu, Artha tak menikmati masa kecilnya layaknya anak-anak lain. Belasan tahun hidup dalam perasingan pasti membuat gadis itu menjadi penyendiri dan hatinya dingin, tak tersentuh.
"Maafkan saya."
Pada akhirnya, hanya itulah yang terucap dari bibir merah pucat Archana.
"Di mana Ka—maksudku, Milen?" Alih-alih merespons permintaan maaf Archana, Artha malah mencoba mengalihkan topik. Kepalanya celingak-celinguk, mencari keberadaan gadis dengan mata seputih bola salju itu. Namun, tiada siapa pun selain mereka berdua di sana, jika kupu-kupu serta lebah yang sedang melakukan penyerbukan tidak dihitung.
"Tuan Putri Milen mungkin berada di Taman Musim Dingin," jawab Archana.
"Di manakah itu?"
"Bagian barat Taman Peruna. Sekarang kita berada di bagian pusat, wilayah utama. Taman Peruna terdiri dari lima bagian dan setiap bagian melambangkan musim tertentu, Putri."
"Aku tidak tahu hal itu." Artha tertegun, juga tercengang. Ia pikir, taman tempat mereka berada sekarang saja sudah terbilang luas. Jejeran bunga tulip, aster, dandelion, dan beberapa bunga lain terhampar luas di tanah berukuran dua puluh hektare tersebut. Dan katanya, keindahan Taman Peruna tak hanya itu? Artha merasa seperti baru keluar dari kandang (meski nyatanya begitu).
"Putri, pernah dengar tentang 'Pohon Harapan' yang tumbuh di taman paviliun istana dan bunganya hanya mekar seratus tahun sekali?" Archana memulai topik yang menarik bagi Artha.
Gadis dua belas tahun tersebut mengangguk. "Beberapa jam lalu aku baru saja ke sana."
Archana terbatuk, segera menatap Artha tak percaya. "Saya dengar kawasan tersebut terlarang. Bagaimana Anda bisa ke sana?"
Raut Artha berubah seketika. Rasa tak sukanya terlihat jelas. Archana diam-diam terkekeh tanpa suara. Jika Artha melihatnya, mungkin ia akan dianggap kurang ajar.
"Kau pikir, bagaimana aku bisa kabur dari pandangan Kay empat tahun lalu? Juga lepas dari genggaman Satin serta dayang lain atau saat diam-diam belajar berjalan di luar Istana Rubi—meski yah, tidak ada dampaknya." Jawaban Artha membuat tawa Archana tersembur.
"Sepertinya Anda pelari yang andal," kelakar Archana.
Wajah Artha semakin menunjukkan ketidaksukaan. "Tapi aku tidak bisa berlari."
"Hanya kiasan, Putri. Maaf jika Anda tersinggung."
"Lupakan, aku tidak tersinggung."
"Baik, jadi," Archana berdeham, kembali meluruskan topik, "kenapa Anda pergi ke sana?"
Artha membisu. Ia menunduk kembali, ragu untuk menjawab. Matanya tergulir ke sana kemari sembari memainkan jemari lentik dengan kuku berhias warna merah muda. Artha tidak berniat untuk menjawab. Namun, Archana tiba-tiba melangkah, lalu berhenti di depan Artha dan berjongkok. Raut laki-laki tersebut yang semula ramah dan penuh senyum seketika berubah serius. Tangan kiri mencengkeram kursi roda Artha.
"Aku ... aku ...." Tanpa sadar, Artha bicara tergagap.
"Bicaralah, Putri. Saya ingin mendengar alasannya." Archana berujar dengan nada tegas hingga Artha tersentak dan menatapnya terkejut.
"Aku hanya memohon kepada sang Dewi."
"Permohonan?"
Artha mengangguk.
"Apa Anda tahu, ada ganjaran atas satu permohonan berharga?"
"Aku tahu ...." Artha menjawab pelan. Tentu, ia sangat tahu. Meski terasing, ia pernah mendengar soal desas-desus perihal 'Pohon Harapan' itu dari dayang-dayang istana atau para kesatria penjaga yang ditugaskan mengawasinya. Artha tidak segagap itu pada dunia luar. Kawasan itu juga dilarang dimasuki, bahkan bagi keluarga kerajaan karena orang-orang tidak akan tahu, ganjaran apa yang akan diterima oleh sang pemohon. Namun, apa pun itu ganjarannya, jika permohonannya bisa terkabul, Artha tak peduli apa pun lagi.
Sayangnya, saat itu ia tak tahu. Ganjaran yang diterima Artha akan membuatnya berpisah dengan orang-orang yang dicintainya.
"Lalu mengapa Anda tetap memohon?"
Lamunan Artha buyar oleh pertanyaan yang diajukan Archana.
"Karena aku ingin berharap, Archana. Aku ingin ada orang yang melepasku dari belenggu ini; orang yang bisa membuatku menatap dunia luar dan tidak terkekang oleh penjara pengasingan."
Pupil Archana membulat. Sesuatu menggerayang hatinya tatkala bersitatap dengan sorot hidup dari sepasang mata Artha. Archana bisa melihat langit cerah berhias gumpalan awan putih yang terpantul dari bola mata gadis itu. Tanpa sadar, sang lelaki mengulas senyum yang membuat wajahnya bertambah manis layaknya bunga aprikot yang baru saja bermekaran.
"Kalau begitu, izinkan aku membawamu pada dunia luar, Putri."
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro