chapter 2
Empat tahun Artha terasingkan di Istana Rubi. Di usia kedua belas, ia dihadiahkan sebuah kursi roda oleh sang Raja. Bukan main, Artha sering kali pergi dari Istana Rubi tanpa sepengetahuan Satin maupun Kay, padahal jalan pun ia tak bisa (meski sudah diam-diam latihan berjalan selama lebih dari empat tahun). Tetap saja ia tertatih-tatih. Jika lututnya terluka, bahkan hanya luka gores segaris, Satin akan langsung mengetahuinya. Di usia kedua belas, tepat di hari ia mendapatkan kursi roda itu, penjagaannya jauh lebih ketat. Kay bahkan tak mengizinkannya keluar Istana Rubi tanpa penjagaannya (sekali lagi, meski dari dahulu memang begitu). Di Istana Rubi pun, Artha senantiasa dikintili oleh Satin dan beberapa dayang lain, termasuk saat mandi dan berganti pakaian.
Akan tetapi, saat itu ... sekali saja, Artha berhasil lolos dari Satin dan Kay. Di musim semi tahun 1570 Eltras, bunga-bunga 'Pohon Harapan' bermekaran di taman paviliun istana. Meskipun terasingkan, Artha pernah mendengar desas-desus tentang pohon yang hanya tumbuh seratus tahun sekali itu. Pohon itu dapat mengabulkan harapan, dan Artha ingin berharap. Syukurlah ia sempat menyebutkan permohonannya sebelum Satin menangkap basah dirinya dan membawanya kembali ke ... oh, tunggu, bukan Istana Rubi.
Kening Artha mengerut heran tatkala Satin justru membawanya ke Istana Safir, tempat Milen-saudari seayah dari sang Ratu-tinggal.
"Kenapa Satin membawaku ke sini?" Artha menatap Satin yang ada di belakang dan tengah mendorong kursi rodanya menuju basemen
"Tuan Putri Milen baru saja lulus dari sekolah penyihir," jawab Satin tanpa ekspresi.
Artha tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Sekolah penyihir. Ia iri pada Milen yang bisa sekolah normal, bergaul dengan orang-orang, punya teman .... Namun, jangankan sihir, mana pun Artha tak punya barang sedikit. Padahal sang ibu, selir pertama, dikenal sebagai penyihir pengendali air yang hebat. Mana airnya begitu tenang dan memukau, layaknya air sungguhan.
"Satin, julukan apa yang Milen dapat?"
Artha ingat, setiap lulusan penyihir terbaik dari Akademi Sihir Avaroe selalu mendapat julukan khusus, seperti pangeran tertua, Thera, nan mendapat julukan Akar Tanah Abadi berkat sihir tanahnya yang kokoh dan sulit dirobohkan.
"Saya juga tidak tahu, Putri. Anda bisa melihatnya saat upacara nanti." Sekali lagi Satin menjawab dengan datar. Wanita bertubuh agak tambun tersebut menghentikan dorongannya di tribune Istana Safir yang terlihat tiga kali lebih luas daripada Istana Rubi. Bisik demi bisikan mengenai putri cacat yang menghadiri upacara putri pertama memenuhi ruangan, menggema sampai-sampai siapa pun bisa mendengarnya. Artha menulikan telinga, dalam hati mengumpat kesal. Meski sudah beberapa kali berada dalam situasi di mana orang-orang terus mengolok-oloknya karena cacat dan tidak memiliki mana, Artha tetap belum terbiasa dengan pandangan orang-orang terhadapnya.
Sebuah podium berlapis emas berada di tengah-tengah ruangan luas dan besar yang dijadikan ruang upacara. Artha tetap di kursi rodanya, berada di antara tribune walau seharusnya ia duduk di singgasana di depan sana bersama saudara serta saudarinya yang lain. Tatkala ia memandang sang Raja, Ratu, dan saudara-saudaranya, Artha bersitatap dengan bola mata seputih salju milik Milen Winteria. Gadis yang lebih tua tiga tahun dari Artha tersebut menatapnya cukup lama, sebelum sebuah senyum tipis disunggingkan. Artha tidak tahu itu senyum ramah, atau justru senyum mengejek. Sungguh, ia hampir tak pernah berinteraksi dengan Milen, apalagi kedua saudaranya yang lain.
Acara dimulai. Sambutan meriah berupa tepuk tangan memenuhi ruangan. Milen dianugerahi julukan sang Bunga Musim Dingin berkat sihir esnya yang berkombinasi dengan sihir alam dan dapat menumbuhkan bunga-bunga di musim dingin. Mata Artha berbinar melihat Milen yang menunjukkan sihirnya dengan indah. Bunga-bunga yang semula layu, kini tumbuh segar. Tak lupa dibubuhi serbuk salju di sekitarnya. Dalam hitungan detik, bunga-bunga tersebut dilapisi es; membeku sempurna. Semua orang yang ada di ruangan bertepuk tangan tanpa terkecuali, bahkan Satin yang selalu memasang wajah datar pun terkesima.
"Satin, bukankah Milen sangat hebat?" Tanpa sadar, Artha menggumam. Satin hanya melirik Artha sekilas, tak berniat menjawab.
"Katanya Putri Milen tadinya akan diangkat menjadi Penyihir Musim Semi, tetapi kini diganti dengan yang lain." Pemuda yang duduk di depan Artha berbisik. Namun, Artha masih dapat mendengarnya. Sementara itu, gadis berusia dua puluhan di samping kirinya membalas, "Dengar-dengar julukan itu diberikan kepada putra keluarga Lilichen."
"Lilichen? Keluarga ahli pedang itu?" Orang di samping kanan si pemuda tiba-tiba ikut menimpali.
"Kenapa keluarga Lilichen mengambil gelar penyihir?" lanjutnya keheranan.
"Entahlah—oh, hei, lihat! Orang itu Penyihir Musim Semi yang kumaksud." Si Pemuda berseru kaget sembari menunjuk ke arah laki-laki berambut cokelat dengan jubah ungu tua yang menjuntai hingga kaki berdiri di sisi kiri platform.
Artha mengikuti arah pandang pemuda itu—dan, alangkah terkejutnya ia melihat mata kelabu milik laki-laki itu. Artha merasa seperti pernah melihatnya di suatu tempat, tetapi di mana?
Upacara penganugerahan berakhir setengah jam kemudian. Orang-orang yang menonton satu per satu mulai pergi meninggalkan istana. Artha meminta Satin mendekati Milen. Dilihat dari dekat, gadis itu terlihat tinggi semampai. Padahal usianya baru lima belas tahun. Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, Artha mengulurkan tangannya pada Milen. "Selamat atas kelulusanmu—anu, Kak—eh, Mil—eh, maksud sa-saya, sang Bunga Musim Dingin."
Batin Artha menjerit. Betapa canggungnya!
Sebelumnya Artha tak pernah bicara lagi dengan Milen setelah ia pindah ke Istana Rubi. Artha tetap tersenyum. Keberaniannya itu ditonton oleh anggota keluarga kerajaan lain, juga Satin yang berdiri di belakang kursi roda Artha. Milen hanya menatap telapak tangan Artha yang pucat itu. Beberapa detik, tak ada respons. Hingga mungkin satu menit kemudian, Milen memutuskan untuk menjabat tangan Artha. Telapak tangan mereka bersentuhan. Artha bisa merasakan sensasi dingin pada kulit tangan Milen.
"Terima kasih. Tidak perlu canggung begitu. Panggil saja aku, Milen ...," Milen menjeda, tampak canggung saat berkata,
"A—Artha."
"Sihirmu hebat sekali. Kau pantas mendapat julukan itu." Artha menunduk sembari memainkan jarinya. Ia malu. Di satu sisi ia menganggap Milen adalah saudarinya yang hebat. Artha ikut bangga padanya. Namun, di sisi lain ... sebagian diri Artha menjerit tak terima. Kenapa harus Milen? Kenapa harus saudarinya? Kenapa bukan ia yang hebat?
Milen tersenyum tipis. "Terima kasih lagi, tetapi aku kalah hebat jika dibandingkan dengan Archana," ujar Milen, menoleh pada laki-laki berjubah ungu tua di sisi kiri platform. Merasa disebut, laki-laki itu melangkah mendekat, berdiri di antara Milen dan Artha. Lantas ia sedikit membungkukkan badan.
"Tidak begitu, Putri. Sihir es Anda lebih hebat," sanggah laki-laki bernama Archana dengan sopan.
"Kalau itu sudah pasti, tetapi sihir tanamanmu jauh lebih hebat."
Archana berdeham. "Tentu saja. Kalau tidak begitu, saya tidak akan dianugerahi sebagai Penyihir Musim Semi."
Senyum Milen berubah menjadi sinis. Ekor matanya melirik ke arah lain, sementara tangannya bersedekap.
"Sudahlah, Milen, Archana. Bukankah kalian harus pergi ke Taman Peruna?" Sang Raja menginterupsi.
"Taman Peruna?" cicit Artha. Matanya birunya berbinar, menatap Milen dan Archana bergantian.
Milen mengangguk, lantas menatap Artha. "Kau mau ikut, Artha?"
"Bo-boleh?" Artha bertanya dengan hati-hati, takut-takut kalau Satin menatapnya tajam dan melarangnya. Namun, saat ia melirik Satin, wanita tambun itu tampak biasa saja.
"Tentu. Ada yang harus kami lakukan dengan 'Pohon Harapan'. Kau boleh ikut kalau mau."
"Saya mau!" Artha spontan berseru. Ia bahkan sampai berdiri dari kursi rodanya. Namun, begitu menyadari kesalahannya, Artha segera duduk kembali, dengan wajah terlipat. Alih-alih diomeli, sang Raja justru menyuruh Artha ikut dengan mereka.
"Archana Lilichen, kau bawa dia." Sang Raja menunjuk Artha.
Archana mengangguk singkat, lantas mengambil alih kemudi kursi roda dari Satin.
Batin Artha bersorak senang karena untuk pertama kalinya setelah empat tahun—ah, tidak, mungkin lebih—akhirnya sang Raja memperbolehkannya jalan-jalan bersama orang lain selain Satin, dayang, dan Kay. Ditambah lagi, Taman Peruna ... tempat pertama yang Artha kunjungi saat keluar dari wilayah istana.
Sesampainya di sana, mereka berdiri di hadapan pohon bunga aprikot yang masih kuncup, terkecuali Milen yang menyusuri Taman Peruna bagian bunga-bunga musim dingin. Archana menghela napas, kemudian tersenyum melihat Artha yang tampak senang dengan bunga-bunga cantik yang bermekaran, juga berguguran di taman terindah sepenjuru Eltras.
"Bukankah taman ini masih indah seperti empat tahun lalu, Putri?"
Pertanyaan dari Archana membuat Artha sontak menoleh. Raut terkejut tak dapat disembunyikannya.
"Bagaimana kau ...?"
Bukannya menjawab, Archana tersenyum lagi. Kali ini sangat manis hingga wajahnya terlihat begitu tampan di mata Artha.
"Mata biru nan indah bagai langit milik Anda-lah yang membuat saya teringat. Namun, saya tidak menyangka, orang yang saya temui empat tahun lalu di taman ini adalah seorang tuan putri. Oh, sungguh saya sangat tidak sopan." Archana mundur selangkah, lantas berlutut pada Artha.
Sang gadis memekik tertahan, menyadari pesona mata kelabu itu. Pantas ia merasa familier. Laki-laki ini yang ditemuinya di Taman Peruna empat tahun lalu saat ia kabur dari pandangan Kay.
"Maafkan ketidaksopanan saya, Putri. Saya akan memperkenalkan diri." Archana bangkit. Mata kelabunya menatap Artha penuh makna. "Saya Archana Lilichen, putra kedua keluarga Lilichen yang dijuluki sebagai sang Penyihir Musim Semi."
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro