chapter 16
Archana membaringkan tubuh lunglai Artha di sofa kediaman Frau Millefuire. Napas gadis itu makin terengah-engah. Baru saja Archana menidurkannya, Artha langsung bangkit terduduk. Ia terbatuk kencang sembari memegang dada. Dahak berwarna kemerahan muncrat ke sofa putih serta lantai krem. Artha terbatuk lagi. Dadanya amat sesak. Tenggorokannya seperti diganjal sesuatu yang membuat ia tak bisa bernapas seperti biasa. Ia terbatuk, memuntahkan beberapa helai kelopak bunga berwarna merah muda berlapis cairan merah yang lengket.
Archana menatapnya dengan raut cemas. Pikirannya kacau balau. Sementara itu, Frau Millefuire terlihat kelimpungan.
"Demi sang Dewi musim semi! Sebenarnya Anda ini kenapa?!" pekik Frau melihat sofa serta lantai rumahnya kotor.
Archana menarik napas panjang, lantas menjelaskan, "Putri Artha menderita suatu penyakit baru. Ia akan memuntahkan darah dan kelopak bunga sakura kala penyakitnya kumat."
"Astaga ...." Frau menggeleng-geleng. "Izinkan saya memeriksa Anda, Putri. Barang kali saya bisa membantu mengangkat penyakit Anda."
Artha tak menjawab, hanya membalas dengan anggukan.
Frau Millefuire meminta Artha untuk berbaring lagi. Ia lantas meletakkan kedua tangannya di atas dada Artha. Cahaya kebiruan berpendar di sekitar tangannya. Pelupuk Frau terpejam, sama seperti saat Madame Giselle mencoba menyembuhkan Artha. Lima menit berlalu. Napas Artha masih sesak, terlihat dari perutnya yang kempang kempis. Beberapa saat kemudian, Frau Millefuire membuka kelopak mata dan menoleh pada Archana dengan raut putus asa.
"Ini gawat sekali. Tenggorokan dan paru-parunya dipenuhi kelopak bunga sakura. Sulit, aku bahkan hanya bisa mengangkatnya sedikit."
Itu kabar buruk, tetapi Artha tak dapat mendengarnya karena kelopak matanya sudah terpejam.
Archana mengusap wajah. "Anda bahkan tidak bisa menyembuhkannya."
"Aku memang tak bisa menyembuhkannya, tetapi bisa memundurkan waktu kematiannya karena cepat atau lambat, kelopak bunga itu akan merambat dan menggerogoti seluruh tubuh Putri Artha."
"Tidak apa-apa, itu cukup. Aku belum siap jika Putri Artha akan mati."
"Sejak kapan penyakitnya muncul?"
"Empat tahun lalu."
Frau Millefuire meletakkan telapak tangannya lagi di dada Artha. "Astaga, itu cukup lama, tetapi kenapa aku tidak tahu bahwa Putri Artha menderita penyakit seperti ini?"
"Pihak kerajaan menyembunyikannya."
"Aku mengerti." Frau mendesah panjang. "Bisa gawat kalau sampai rakyat tahu putri kedua menderita penyakit parah."
"Madame Gis—maksud saya, Yang Mulia Ratu tak dapat menyembuhkannya."
"Bahkan penyembuh terbaik di Eltras pun tak bisa menyembuhkannya." Wajah Frau Millefuire terlihat prihatin dan iba. "Malang sekali nasibnya. Sudah tak bisa berjalan, hampir tidak punya mana, dan sekarang terserang penyakit mematikan."
"Kalau Putri Artha tahu, ia pasti sudah memarahi Anda karena mengasihaninya."
Frau Millefuire tertawa kecil. "Aku tahu. Dulu sekali, aku pernah bertemu dengannya saat ia kecil. Aku mengatakan bahwa ia amat malang, tetapi ia langsung memusuhiku. Namun, sepertinya ia melupakan kejadian itu dan tampak tak mengenaliku. "
"Anda pernah bertemu dengan Putri Artha kecil?"
Frau Millefuire mengangguk. "Walaupun diasingkan, ia tak terlihat murung. Dulu Putri Artha adalah anak yang periang, berbeda sekali dengan Putri Milen yang sangat dingin. Aku mengenal ibunya, Aquina. Ia sangat mirip dengan ibunya, bahkan berpikir mungkin Putri Artha adalah Aquina versi anak-anak."
Archana mengalihkan atensinya pada Artha yang memejam, lantas berbisik, "Kenapa ia harus menerima takdir seperti itu?"
"Putri Artha adalah orang yang tegar. Mungkin Dewi memberinya cobaan seperti itu karena tahu Putri Artha mampu menjalaninya."
"Artha!"
Frau Millefuire mengangkat tangannya tatkala Lili, Freya, dan Milen memasuki kediamannya. Ia tahu dari teriakan Milen yang terdengar panik.
"Untuk saat ini Putri Artha baik-baik saja. Namun, aku tidak tahu kapan kelopak bunga itu menggerogoti tubuhnya sepenuhnya."
***
Terpancar binar ketenangan dari manik langit cerah milik Artha. Kendati ia tahu waktu kematiannya tak lama lagi, ia tetap tak berkutik. Artha sudah menerima takdirnya sejak penyakit itu muncul empat tahun lalu. Benar kata Archana. Ia harus bersyukur, keluarganya menyayanginya.
Artha juga tahu mereka sudah mencoba segala cara untuk menyembuhkan penyakitnya, mulai dari memberikan obat, ramuan, memanggil tabib, hingga dicampurtangani oleh penyembuh terhebat di Eltras.
Diam-diam Artha pergi ke taman paviliun istana tengah malam. Freya sedang bertugas keluar kota, digantikan oleh seorang pengawal lain yang kebetulan tertidur saat berjaga. Artha tak perlu orang lain untuk membantunya berjalan. Tanpa sepengetahuan Archana, sebenarnya gadis itu sudah pandai berjalan meski masih agak tertatih. Beruntung hasil latihannya bertahun-tahun akhirnya berbuah manis.
Jarak antara Istana Rubi dengan taman paviliun istana tidak sejauh Istana Safir maupun istana utama. Artha berjuang sekali meski kakinya terasa begitu sakit. Dadanya juga sudah mulai sesak. Hampir setengah jam Artha akhirnya sampai di taman paviliun istana. Beruntung gerbangnya tidak dikunci. Gadis itu lantas masuk, tak lupa kembali menutup gerbang. Tujuannya sekarang ialah 'Pohon Harapan'.
Artha berjalan terseok-seok menuju pohon yang daunnya berwarna merah muda tersebut, tetapi ia harus melewati taman dandelion yang putiknya bisa berkilauan. Entah apa yang dilakukan oleh Archana sampai bunga-bunga di taman paviliun istana terlihat bercahaya. Artha bagai melewati lampu taman yang indah. Bahkan tanpa penerangan apa pun ia tetap bisa melihat dengan baik berkat putik bunga-bunga itu.
Sesampainya ia di depan pohon yang daunnya berwarna merah muda itu, Artha langsung menyentuh batangnya yang besar dan kokoh dengan kedua tangan. Kelopak matanya memejam damai. Cahaya merah muda yang bersinar amat terang menyelimuti 'Pohon Harapan'. Tanpa disadarinya, bunga-bunga sakura yang semula tidak mekar menjadi bermekaran dalam hitungan detik. 'Pohon Harapan' seakan bangun dari tidurnya, padahal ia hanya akan bangun seratus tahun sekali dalam masa lima hari. Dan hal itu sudah dilakukannya enam tahun lalu, tahun 1570.
Artha merasakan ketenangan menerpa hatinya. Dadanya berdesir, seperti saat ia merasa jatuh cinta pada Archana. Jiwanya seolah-olah menyatu dengan 'Pohon Harapan'. Artha akhirnya membuka kelopak mata. Ia duduk bersender pada batang 'Pohon Harapan'. Diraihnya selembar kertas dan pena yang diletakkan di atas rerumputan, lalu mulai menulis.
Ketahuilah, Archana Lilichen. Aku bersyukur sang Dewi menghadirkan orang sepertimu dalam hidupku. Aku amat mencintaimu sejak enam tahun lalu.
Kuberikan liontin berbandul rubi ini padamu. Jagalah baik-baik karena liontin itu menyimpan kenangan tentang kita.
Jangan tangisi kematianku. Jalani hidupmu dengan tenang, sebagai Penyihir Musim Semi yang hebat. Katakan pada Freya dan Milen bahwa aku menghargai mereka. Kalian tidak perlu khawatir, karena aku akan senang bisa bertemu Ibu di Atas sana.
Salam cinta,
Artha Azzavier.
Kedua sudut bibir Artha terangkat. Ia menyelipkan selembar kertas itu di antara halaman buku hariannya. Pena berisi tinta biru ditaruh di atasnya. Ia lantas melepas liontin berbandul rubi yang dipakai, kemudian diletakkan di atas rerumputan, bersebelahan dengan buku harian bersampul magenta.
Artha mulai merasakan tidak enak pada dadanya. Dimuntahkannya sesuatu yang mengganjal itu. Darah, darah, dan darah. Cairan merah kental itu mengotori rerumputan hijau. Artha terbatuk kencang dan seketika helai kelopak sakura berhamburan dari mulutnya. Ia tidak bisa bernapas. Sesuatu seperti menjalar ke seluruh aliran darah di tubuhnya.
Artha menunduk, menatap telapak tangannya yang perlahan berubah menjadi kumpulan helai kelopak merah muda yang banyak, bukan daging dan kulit lagi. Sesuatu itu seperti merayap ke seluruh tubuhnya. Kendati demikian, Artha merasa tubuhnya meringan. Sekonyong-konyong angin berembus dari arah barat dan tubuh Artha yang sudah sepenuhnya berubah menjadi kelopak bunga merah muda berwujud manusia, beterbangan begitu saja mengikuti arah embus angin.
Di detik itu pun, Artha Azzavier de Eltras menghilang; menyisakan cipratan darah dan banyak helai kelopak sakura di depan 'Pohon Harapan'. Tak lupa sebuah pena dan buku harian bersampul magenta di sebelah kanannya.
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro