chapter 15
"Freya! Astaga, kau jahat sekali!" Archana memekik dan merengut tak terima saat dikatai penyihir yang cengeng dan manja. "Aku tidak seperti itu! Kau mau menjatuhkan citraku di depan Putri Artha, hah?"
Freya menjulurkan lidah, lantas tertawa, sementara Artha terkekeh lepas.
"Kau benar, Freya. Saat tahu aku terserang penyakit itu saja dia menangis. Saat aku pingsan juga. Dan saat aku menangis, dia juga ikut menangis. Sungguh cengeng!" Artha menimpali, masih dengan kekehannya.
"Benar, kan!"
Dua gadis berbeda umur tersebut saling tergelak, menertawai Archana yang berwajah merah padam.
"Itu karena aku menyayangimu! Aku tidak ingin melihatmu kenapa-kenapa," balas Archana yang mengepalkan kedua telapak tangannya.
"Aku mengerti."
"Tetapi kau tetap kesatria, Archana, dan seorang kesatria menangis? Itu memalukan. Ditambah lagi kau seorang penyihir besar. Seorang Penyihir Musim Semi menangis tiap menumbuhkan bunga? Putri Milen jauh lebih baik darimu." Freya tertawa keras.
"Apa kau bilang?!"
Archana tanpa aba-aba mengeluarkan pedang dari saku yang tersampir di pinggangnya dan menerjang Freya. Beruntung gadis itu sigap menghindar, lantas mengeluarkan pedang yang ditenteng di belakang tubuhnya bersama anak panah lain.
Artha hanya bisa mendengkus. Agaknya sudah cukup terbiasa dengan pertengkaran kecil dua temannya. Mengabaikan mereka berdua yang saling beradu pedang, Artha membuka buku hariannya yang tergeletak di atas paha dan mengeluarkan pena dari saku.
30 Maret tahun 1576, Eltras.
Sudah tepat dua tahun semenjak Ibu Suri memundurkan waktu kematianku. Selama itu pula penyakitku benar-benar tidak kambuh lagi.
Aku dan Archana semakin dekat sejak kunjungan kami ke Avenir. Baru kemarin, Archana datang dengan bangganya karena telah naik pangkat yang semula kesatria tingkat kedua menjadi tingkat pertama. Sedangkan Freya diangkat menjadi kepala pengawal Istana Rubi, menggantikan Kay yang akan pensiun karena lelah mengurusku yang sering berkeliaran.
Hari ini musim semi. Sudah keempat kalinya aku menyaksikan bunga-bunga bermekaran di Taman Peruna. Tiap aku mengatakan bahwa bunga-bunga di sini tumbuh dengan cantik, Archana selalu saja menggodaku.
Aku ingin bersama mereka—Archana dan Freya. Karena mereka berdualah aku bisa melihat dunia luar yang indah. Dan karena mereka pulalah yang membuat aku merasa tak terasingkan lagi.
Nyatanya, sekarang sudah dua tahun berlalu. Dan aku yakin, cepat atau lambat penyakit ini akan menggerogoti tubuhku. Aku merasa kematianku tidak lama lagi. Karena itu, aku ingin membuat memori sebanyak-banyaknya bersama Archana dan Freya.
Aku berterima kasih pada sang Dewi dan 'Pohon Harapan'. Sekarang, aku percaya pada harapan, meski harapan itu yang juga membunuhku. Tetapi tak apa. Kehadiran Archana sudah cukup buatku.
Dewi, aku mencintainya—
Mencintai Archana Lilichen dari lubuk hati paling dalam.
Selesai menulis, Artha menyelipkan penanya di antara lembar yang tadi ia tulis. Tangan kanan gadis itu menggenggam liontin berbandul rubi yang melingkar di lehernya. Liontin ini sudah ia miliki sejak lahir. Katanya itu merupakan peninggalan mendiang Aquina de Eltras. Liontin itu bisa menangkap memori pemiliknya dan menyimpannya di dalam bandul yang jika disentuh akan tampak seperti layar transparan.
Artha mendongak, menatap pohon bunga plum yang berada tepat di atasnya. Kuncup-kuncup berwarna merah jambu itu sungguh indah. Lebih indah lagi jika sudah mekar. Selain bunga plum, ada pula bunga aprikot, dandelion, aster, mawar, bougenville, dan lainnya. Ia jadi teringat. Kadang kala Archana memetik setangkai bunga untuk diselipkan di belakang telinga Artha. Tentu tanpa sepengetahuan Frau Millefuire. Jika wanita itu mengetahuinya, habis sudah mereka bertiga. Freya yang tidak ikut-ikutan pun kena. Biasanya Frau akan melarang mereka bertiga berkunjung ke Taman Peruna dalam kurun waktu tertentu. Pengecualian untuk Archana yang harus bekerja sesuai gelarnya selama musim semi; yaitu menumbuhkan bunga-bunga.
"Aku menyerah!" Archana jatuh terduduk. Sebilah pedangnya ditancapkan di tanah. Peluh membanjiri tubuh lelaki itu. Sedangkan di hadapannya, Freya tersenyum penuh kemenangan.
"Kau ini dari keluarga Lilichen, bukan?" Freya menyindir.
Archana menggertakkan gigi. "Berisik! Kau mau bilang aku kemampuan berpedangku payah?"
"Kemampuanmu tidak payah, Archana." Artha menimpali. "Hanya saja, yang kau lawan itu kesatria tingkat pertama yang hebat dan seorang kepala pengawal."
Archana menoleh sekilas pada Artha, lantas menunduk, "Kau tahu, Putri? Aku selalu merasa gagal untuk melindungimu. Aku tidak sekuat Freya, padahal aku seorang kesatria dan penyihir besar."
Artha menggeleng. "Kau tetap orang yang kuat bagiku, Archana." Gadis itu tersenyum, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Kau juga, Freya."
"Keluarga Lilichen dan Antares memang hebat!"
Kendati Artha memuji mereka berdua, Archana dan Freya tahu kata-kata itu adalah hiburan untuk Archana.
Freya mendengkus. "Anda mau mencari aman ya, Putri?"
Tak ada jawaban dari Artha. Gadis itu hanya cengar-cengir. Ia lalu menoleh pada Archana yang sudah bangkit dan menaruh pedangnya kembali ke sarung.
"Putri, Anda tahu tidak, Taman Peruna dijuluki Taman Musim Semi Abadi?" Archana mulai bertanya dan mengalihkan topik.
Artha menggeleng. "Aku baru tahu, kenapa?"
Archana duduk di kursi taman di sebelah Artha. "Karena bunga-bunga di sini selalu mekar, bahkan setelah musim semi. Anda lihat, kan, setelah musim semi pun taman ini tetap mempertahankan keindahannya?"
"Benar juga. Padahal taman ini luas sekali, apa yang menyiram tidak capek, ya?" pikir Artha.
Archana dan Freya menahan tawa. "Putri, yang memilik lahan ini adalah seorang penyihir Penguasa Alam Peruna. Ia tak butuh air untuk menumbuhkan bunga-bunga di sini. Ia bisa menumbuhkannya kapan saja yang ia mau."
"Maksudmu ... Frau Millefuire?"
Archana mengangguk.
"Hebat!" Artha bertepuk tangan dan matanya berbinar seperti anak kecil. "Ah, lalu taman di paviliun istana bagaimana?"
"Itu, tentu saja aku yang merawatnya."
Artha yakin sekali Archana mengatakan itu dengan bangga.
"Baik, baik, kau juga hebat, Archana." Artha terkekeh.
Mendadak Artha terdiam. Ia merasa sesak, padahal sebelumnya baik-baik saja. Napasnya terlihat terengah-engah dan hal itu membuat Archana serta Freya menatapnya khawatir.
"Putri, ada apa?" Archana bertanya panik.
"Se-sesak ...." Artha menjawab kesusahan. Ia memegang dadanya dan terbatuk beberapa kali.
Mata hijau zamrud Freya membulat. "Jangan-jangan ... ini sudah waktunya?"
Archana ikut terbeliak, lantas menoleh pada Freya. "Tidak, tidak boleh begini!"
Archana segera membawa tubuh Artha dalam gendongannya, sedangkan Freya sigap mengambil alih kursi roda Artha. Keduanya baru hendak meninggalkan Taman Peruna andai Frau Millefuire tidak muncul dan memekik, "Demi sang Dewi musim semi! Ada apa ini?"
Sebelum Archana sempat menjawab, wanita itu berkata lagi, "Astaga, pucat sekali wajahnya! Cepat baringkan Putri Artha di kediamanku! Aku akan mengobatinya sebisa mungkin."
"Tetapi, Frau—"
"CEPAT!"
Archana mendesah pasrah. Ia lantas mengikuti Frau Millefuire dari belakang.
"Freya, kau kabarkan Lili dan Milen segera," titah Archana yang dibalas anggukan singkat Freya.
Semoga ini bukan pertanda buruk.
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro