chapter 14
Ini kali pertama Artha pergi ke luar kerajaan selain Taman Peruna. Kalau bukan karena ia bersama dengan Archana, sang Penyihir Musim Semi, mungkin ia tak akan pernah menjejakkan kaki di luar wilayah ibu kota Avaroe. Meski Kay membuntuti dari belakang. Mulanya Kay tak mengizinkan Artha turun dari kereta kuda, tetapi Avenir hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki karena letaknya di lembah. Juga tur kali ini bukan hanya karena kata-kata Archana dahulu, melainkan tugas dari sang Raja untuk mengunjungi Avenir yang daerahnya nyaris tak terurus
Sejak mereka memasuki Avenir, yang dilihat Artha hanya permukiman kumuh yang terbuat dari kardus atau tripleks. Baju yang dikenakan para rakyatnya begitu lusuh. Rambut mereka tampak awut-awutan seperti tak pernah diurus. Para wanita mengenakan terusan lusuh berwarna hitam dan cokelat, sedangkan prianya hanya mengenakan kaus sobek. Begitu pun dengan anak-anak kecil yang mengenakan pakaian tak layak pakai.
Avenir terletak di lembah dan dibangun sepanjang tepi sungai yang kecokelatan dan penuh limbah. Artha sampai harus menutup hidung karena baunya. Padahal sungai di Eltras sangat jernih airnya, tetapi kenapa Avenir berbeda?
Artha menggeleng-geleng. Keduanya lantas pergi ke jantung desa, kawasan pepohonan yang seharusnya tumbuh lebat dan rindang. Padahal sekarang sedang musim semi, tetapi Artha tak melihat satu pun bunga yang tumbuh dan menghiasi tanaman-tanaman di Avenir. Anak-anak berkumpul di jantung desa. Mereka antusias melihat Archana yang mengenakan jubah kebesaran khas penyihir tingkat tinggi, bukan zirah khas kesatria lagi. Tak hanya anak-anak, para warga yang lain pun turut menonton, dari ibu-ibu hingga kakek-kakek renta.
Archana menoleh pada Artha yang tepat di belakangnya bersama Kay. "Putri, Anda belum pernah melihat sihir yang membuatku menjadi Penyihir Musim Semi, bukan?"
Artha mengangguk. Dipikir-pikir, selama bersama Archana ia memang belum pernah melihat sihir lelaki itu selain sihir kecil-kecilannya yang dapat menumbuhkan bunga.
"Kalau begitu, saksikanlah."
Dengan percaya diri Archana melangkah maju ke jantung desa, berdiri tepat di tengah-tengah lingkaran berpola bintang. Lantas ia berlutut dan menyentuh tanah berbentuk lingkaran berpola bintang dengan mata terpejam. Garis-garis pada pola memancarkan sinar hijau yang kemudian merambat ke segala tumbuhan yang ada di dekat mereka. Dalam hitungan detik, pohon yang semula tandus menjadi lebat seketika. Bunga-bunga cantik berbagai warna pun bermekaran. Tanaman rambat serta perdu menjalar di sekitar jantung desa, menjadikan kawasan itu sebagai lahan hijau. Anak-anak sampai orang dewasa bersorak gembira menyambut kembalinya alam mereka.
"Terima kasih, Penyihir Agung!"
"Bersorak untuk Penyihir Agung!"
"Hidup Penyihir Musim Semi!"
"Andalah pahlawan kami!"
Archana bangkit dengan senyum hangat. Ia senang mendengar sorakan gembira dari rakyat Avenir. Dialihkannya atensi pada Artha. Gadis itu bertepuk tangan dengan senyum merekah. Kay di belakangnya ikut menaikkan kedua ujung bibir. Sungguh pemandangan yang amat langka.
***
"Daerah ini sering dilanda banjir jika air sungai meluap. Mereka tidak bisa mengungsi ke mana pun karena kawasan ini karena mereka tak punya kendaraan tetap untuk pergi ke ibu kota, kendati letaknya tak jauh dari Avaroe." Archana menjelaskan sembari mendorong kursi roda Artha yang tengah mengamati lingkungan sekitar.
"Tetapi mengapa? Bukankah kerajaan sudah mengirimkan kereta kuda? Bagaimana kerja baron yang ada di wilayah ini?" Artha tak habis pikir. Rautnya jelas-jelas menunjukkan keheranan dan protes.
"Itulah yang sedang aku selidiki, Putri. Selama beberapa tahun daerah ini tampak tak terurus, padahal kerajaan kerap mengirim pasokan makanan, uang, kendaraan, dan lain-lain. Anda lihat, Putri? Para bangsawan tadi mengenakan pakaian bagus. Tubuh mereka berisi, tidak ringkih seperti rakyatnya. Kemungkinan mereka menjarah yang seharusnya rakyat dapatkan."
"Ya, aku melihatnya."
Baik Artha dan Archana sama-sama mengembuskan napas. Mereka kini tengah berdiri di tepi sungai yang berarus cukup deras, pinggiran Avenir.
"Daerah ini, meski berada dekat dengan ibu kota dan kerajaan, selalu telantar. Sebelumnya, Avenir adalah daerah yang diasingkan karena tempat pembuangan penjahat dan kriminal. Mereka yang tidak eksekusi dibuang ke sini, lalu puluhan tahun berlalu, daerah ini menjadi sebuah desa sendiri. Alasan daerah ini dilantarkan dan dilalaikan oleh kerajaan tidak lain dan tidak bukan adalah karena penduduknya keturunan penjahat dan pengkhianat Eltras. Bukankah nasib anak cucu mereka sial karena dicap anak cucu penjahat? Padahal mereka tidak salah apa-apa, tetapi mereka harus kena akibatnya dan mengalami penderitaan itu.
"Namun, Avenir pernah ada dalam kondisi primanya sejak seorang penyihir hebat lahir di sini. Ia adalah seorang penyihir dengan mana air yang hebat. Selama penyihir itu hidup dan besar di Avenir, daerah ini begitu segar. Air sungai begitu jernih, tanaman dan pohon-pohon tumbuh dengan lebat. Rakyat hidup tercukupi."
Selama bercerita, baru kali ini Archana berani memandang mata sebiru langit cerah Artha yang juga menatapnya. Seulas senyum terbit di wajah Archana.
"Orang itu adalah Aquina de Eltras, yang dijuluki 'Air Kehidupan'."
Pupil Artha membulat, sedangkan mulutnya terbuka lebar. Ia menggeleng-geleng tak percaya. Artha pernah mendengar nama itu-ah, bukan pernah lagi. Nama itu begitu familier. Tentu, sang Air Kehidupan adalah penyihir besar yang diagungkan rakyat. Bahkan Artha yang terasingkan pun tahu rumor itu. Kerinduan seketika merayap hatinya. Andai ... andai ia bisa bertemu sekali saja dengan Aquina de Eltras, ia ingin memeluk wanita yang sudah membawanya ke dunia itu.
"Archana ... aku ini payah, ya?"
"Kenapa Anda tiba-tiba bicara begitu?"
"Ibuku adalah seorang penyihir besar, mana-nya hebat. Tetapi aku justru terlahir cacat. Tidak bisa berjalan dan tidak punya mana. Mungkin benar kata-kata Ibu Suri bahwa aku adalah anak terkutuk—"
Kedua tangan Archana menggenggam bahu Artha. Iris kelabunya menatap sang gadis serius.
"Apa, Archana? Apa? Kau mau mengomeliku? Tetapi begitulah kenyataannya!" Bulir air mata mengalir dari pelupuk Artha. "Sekarang aku tahu alasannya, Archana. Ibuku berasal dari Avenir. Aku pernah mendengar dari Satin, bahwa selama menjadi selir ibuku juga diasingkan di sini, tetapi—ah, Avenir bahkan tempat tinggalnya. Tidak heran bukan jika aku pun turut diasingkan? Yang Mulia menyembunyikanku karena aku putri yang berasal dari daerah kumuh ini."
Tanpa aba-aba Archana membawa tubuh Artha ke dalam dekapannya.
"Ar ... chana?"
"Ketahuilah, Artha. Sesungguhnya mereka—keluargamu—menyayangimu. Mereka tidak berniat melakukan itu, percayalah. Aku pernah melihat betapa tulusnya sang Raja dan Ratu padamu."
"Kau tidak tahu apa-apa, Archana." Tangan Artha yang hendak membalas dekapan Archana terhenti, lantas ia menyunggingkan senyum getir. "Mereka baru peduli padaku saat penyakit ini muncul."
Mata kelabu Archana membulat. Tanpa disadarinya ia melepas dekapan dan menatap Artha tak percaya.
"Bagaimana Anda ...."
"Aku tahu semuanya, Archana. Ibu Suri tidak bisa menghapus ingatanku." Artha berujar dengan suara bergetar sembari menahan tangis. "Milen memberi tahu semuanya saat aku bertanya kenapa semua orang seakan melupakan penyakitku."
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro