Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 12

Wanita berambut sebiru laut dalam yang digerai hingga punggung meletakkan kedua telapak tangannya di dada Artha yang mengatupkan mata. Seberkas cahaya merah jambu menyelimuti telapak tangan wanita bernama Giselle Magnolya de Eltras, sang Ratu Eltras. Layaknya putri tirinya, Giselle pun ikut memejam. Mungkin ia terlihat damai. Namun, hanya ia sendiri dan beberapa orang yang tahu seberapa keras usahanya untuk menyembuhkan penyakit Artha. Giselle bergumul dengan kelopak-kelopak bunga sakura yang menguasai paru-paru serta tenggorokan gadis itu. Sulit. Sang Raja yang berdiri di sampingnya bersedekap, memandang tajam dan serius sang putri yang terbaring di ranjang.

Subuh-subuh sekali, Artha memuntahkan banyak sekali cairan merah kental dan helai kelopak sakura. Mulanya Artha hanya pingsan sebentar. Saat terbangun lagi lima belas menit kemudian, gadis yang sekarang amat terlihat rapuh tersebut memuntahkan lebih banyak kelopak bunga dan mengotori lantai yang baru saja dipel oleh Dayang Jane beberapa saat sebelumnya. Archana yang merasa instingnya buruk, segera menyadari penyakit Artha kambuh. Satin yang begitu panik segera memanggil Kay dan beberapa pengawal lainnya begitu Artha tak kunjung sadarkan diri dalam waktu satu jam. Kay, tanpa basa-basi membawa Artha dengan menggendongnya sampai ke istana utama. Diam-diam hal itu memicu kecemburuan dalam hati Archana, tetapi pikirnya, siapa ia sampai berhak cemburu?

Archana—salah seorang yang diizinkan mendampingi Giselle bersama Kay, Satin, dan Milen—menatap wajah Madame Giselle dengan raut cemas. Badannya berdiri tegap, tetapi tidak dengan kepalanya sampai Kay harus mendelik dan menyikutnya agar bersikap selayaknya seorang kesatria Eltras yang gagah. Bagaimana bisa seorang kesatria tingkat kedua bersikap seperti itu di hadapan sang Raja? Milen yang mengerti kekhawatiran Archana menggenggam punggung tangan lelaki itu, memberikan sentuhan sensasi dingin, tetapi menenangkan yang membuat Archana tersenyum simpul kepada Milen. Meski tak hanya Archana, Kay dan Satin apalagi Milen memandang cemas-cemas. Terlebih tatkala Giselle mengatakan denyut nadi dan degup jantung Artha melemah. Napasnya memburu sampai siapa pun yang melihatnya ikut merasa lelah.

Butuh jeda beberapa menit sejak Madame Giselle—begitulah panggilannya sebagai penyihir dengan julukan 'Anugerah Tangan Dewi'—meletakkan telapak tangannya di dada Artha. Ia akhirnya membuka pelupuk dan mengangkat tangan, lantas menoleh pada lima orang di dalam ruangan yang menanti di belakangnya. Dengan raut sedih, ia menggeleng lemah.

"Bagaimana?" tanya sang Raja.

"Aku hanya bisa menunda penyakitnya hingga setidaknya dua tahun. Kelopak bunga di paru-parunya begitu kuat, sulit untuk diangkat."

Sang Raja, Caira Alphonso de Eltras, hanya mendengkus kasar dan mengusap wajah. "Itu berarti, kematiannya tidak dapat dihindari?"

Madame Giselle mengangguk.

Sementara itu, mata kelabu Archana membola dan tubuhnya tremor. Kendati demikian, ia tetap berlutut kepada Madame Giselle, membuat empat orang lainnya menoleh serentak dan mengerjap bingung. Yang lainnya tak dapat menyembunyikan keterkejutan mereka tatkala Archana lantas bersujud kepada Madame Giselle.

"Terima kasih, Madame. Saya sungguh amat berterima kasih," ucapnya dengan suara bergetar.

Raut wajah Madame Giselle yang semula sedih berubah. "Bangunlah, Archana. Aku merasa payah. Penyembuh macam apa aku yang tidak bisa menyembuhkan penyakit putriku sendiri. Bahkan saat ia lahir, aku tak bisa menyembuhkan kaki dan mengembalikan mana-nya." Madame Giselle berkata dengan senyum getir.

"Kau tahu bukan, itu artinya kematiannya tetap tak dapat dihindari? Aku tidak tahu pasti, tetapi ini seakan menjadi kutukan untuk Artha sejak ia lahir," lanjutnya.

Archana mendongak, kemudian duduk bersimpuh. "Saya tahu." Diucapkannya dua kata itu dengan pedar.

Kutukan? Archana tak pernah berpikir demikian. Namun, jika dipikir-pikir ... kaki Artha tak dapat berfungsi dengan baik, meski pihak kerajaan sudah memanggil tabib serta penyembuh terbaik sekalipun; Artha hampir tak punya mana,  walau entah sudah beberapa kali penyihir besar rela menyalurkan mana-nya pada sang Putri; dan sekarang ... sebuah penyakit yang tak pernah ditemukan sebelumnya menyerangnya, tengah dan terus menggerogoti paru-paru serta tenggorokannya sampai ia mati.

"Aku hanya bisa melakukan satu hal lagi untuk Artha," Madame Giselle menatap mereka semua, lalu menghela napas, "yaitu menghapus ingatan soal penyakit yang dideritanya."

Lima pasang mata spontan mendelik ke arah Madame Giselle, tak menyangka keputusan itu keluar dari mulut sang Ratu. 

"Yang Mulia ...!" Kay dan Satin nyaris melontarkan protes.

"I-ibu ...." Milen bahkan sulit berkata-kata.

Sementara Caira bungkam, hanya Archana yang mengangguk mengiakan.

"Kalau itu memang keputusan terbaik, lakukanlah, Madame. Saya—saya tidak ingin Putri Artha menderita." Archana menunduk, mengepalkan kedua tangannya di atas lutut. Ia ingin yang terbaik untuk Artha, bahkan jika kenangan mereka saat berpelukan dan pernyataan perasaan Archana di halaman belakang Istana Rubi saat itu terhapus.

"Tetapi, Ibunda—"

"Itu cara terbaik yang bisa Ibu lakukan sekarang, Sayang." Madame Giselle menyelak. Ia melangkah mendekati suami dan anaknya. Tangan kanan wanita itu mengelus kepala Milen dengan sayang.

Milen mendongak. Ia menggenggam pergelangan tangan Madame Giselle yang mengelus kepalanya. "Bagaimana ... bagaimana jika penyakit Artha mendadak kumat bahkan sebelum dua tahun?" 

Archana langsung bangkit. "Benar, Madame—"

Madame Giselle menoleh pada Kay dan Satin yang berdiri berdampingan. "Selama dua tahun, jangan pernah mengungkit soal penyakitnya itu. Beri tahu para dayang dan pengawal lain untuk tidak membahasnya."

Satin dan Kay mengangguk.

Madame Giselle melanjutkan lagi, "Aku memang sudah mengangkat kelopak-kelopak bunga di tubuhnya, tetapi bukannya tidak mungkin penyakitnya mendadak muncul lagi dan memorinya akan kembali. Jika itu terjadi, bawa dia padaku." Atensi Madame Giselle teralih pada Archana. "Aku percayakan Artha pada kalian, terutama kau, Archana."

Archana cepat-cepat mendongak. "Saya?"

Caira berdeham dan melirik Archana. "Kami sudah tahu hubunganmu dengan Artha. Berhati-hatilah, Archana. Aku memang mengizinkanmu menjaga putriku, tetapi bukan berarti kau bisa bersanding dengannya."

Archana membungkukkan badannya sekilas. "Baik, saya mengerti, Yang Mulia," ujarnya, kendati perkataan sang Raja begitu menusuk hati Archana.

"Sayang ...." Madame Giselle tersenyum, lantas melingkarkan lengannya di leher sang Raja. "Biarkan putrimu bersama Archana. Aku yakin dia satu-satunya orang yang pantas untuk Artha."

Mau tak mau, Caira mendengkus dan mengangguk. "Harusnya aku curiga melihatmu yang seakan terus-menerus menyudutkanku agar bisa menjadi pengawalnya. Di Eltras, hanya kau yang berani, Archana."

Archana menggaruk tengkuknya canggung. Haruskah ia merasa tersanjung atau tersindir? Sang Raja sampai menggeleng-geleng.

"Ah, ya. Milen sayang, bisakah kau keluar dulu, Nak?" pinta Madame Giselle dengan suara selembut sutra.

"Ibunda, aku bukan anak kecil! Usiaku delapan belas tahun—"

Madame Giselle mengelus bahu Milen. "Bukan masalah kedewasaan, Sayang. Ada yang ingin Ibu bicarakan dengan Satin dan Kay. Tolong, ya?"

"Ikuti kata-kata ibumu, Milenia." Titah sang Raja seketika membuat Milen bungkam dan mendengkus kecewa.

"Baiklah, Ibu, Ayahanda."

Dengan berat hati, Milen keluar ruangan. Barulah sorot mata Madame Giselle yang semula lunak berubah menjadi setajam pisau dan terarah pada Satin. Archana meneguk saliva. Meski Madame Giselle belum berkata apa pun, Archana tahu ia akan terlibat. Dan yang dikatakannya adalah ... yang berhubungan dengan penyakit Artha, atau kutukan. Itu berarti—

"'Pohon Harapan'." Dua kata itu terucap dari bibir bergincu merah menyala. Benar saja terkaan Archana. Madame Giselle akan membicarakan itu. Mata tajamnya kini beralih pada Kay hingga membuat pria itu agak menunduk.

"Satin Agrev, Kay Maxmillen."

Baik Satin maupun Kay segera berlutut di hadapan sang Raja dan Madame Giselle.

"Ya, Yang Mulia Ratu."

Madame Giselle bersedekap, menunduk dan menatap lamat-lamat keduanya. "Kenapa kalian membiarkan Artha pergi ke taman paviliun istana dan berdoa pada 'Pohon Harapan'? Kalian tahu bukan kawasan itu merupakan kawasan yang amat terlarang?"

Pupil Satin membola. Ia yang semula berlutut, langsung bersimpuh. Matanya berkaca-kaca dan mulai menangis.

"Ma-maafkan saya, Yang Mulia! Saat itu—saat itu Putri Artha lepas genggaman dari saya. Beliau kabur. Saya sungguh tidak tahu beliau malah pergi ke taman paviliun istana—"

"Kay." Madame Giselle tampaknya tak ingin memberikan Satin kesempatan untuk berbicara lagi. Semua orang yang ada di ruangan itu tahu, apa ganjaran yang akan diterima oleh Satin. Karena itu, sang wanita sampai bersujud.

"Yang Mulia, Yang Mulia, tolong maafkan saya! Saya memang lalai, tetapi saya—"

"Aku tak menyuruhmu untuk bicara lagi, Satin!" Bentakan Madame Giselle membuat Satin bungkam seketika.

"Saya, Yang Mulia." Seakan sadar diri, Kay menundukkan kepalanya.

"Ada di mana kau saat Artha pergi taman paviliun istana?"

"Maaf, Yang Mulia, tetapi saya bahkan tidak tahu Putri Artha pergi ke sana."

Madame Giselle menoleh pada Satin. "Kapan tepatnya, Satin?"

"Tahun 1570, di hari Tuan Putri Milen lulus dari Akademi Penyihir, Yang Mulia."

Kay langsung menunduk lagi. "Saat itu saya sedang melatih para kesatria tingkat ketiga di Istana Zamrud."

"Lalu, Archana ...." Lirikan sini dari Madame Giselle tak luput saat ia memandang Archana. "Kau tahu jika Artha pergi ke taman paviliun istana?"

Archana mengangguk. "Putri Artha pernah menceritakannya."

"Kenapa kau tidak memberi tahu kami?" Caira menyelak. Suaranya amat menusuk.

"Karena saat itu saya bukan siapa-siapa bagi Putri Artha dan Yang Mulia."

Madame Giselle mendengkus. Ia membuang wajah pada sang Raja. "Bagaimana keputusanmu, Sayang?"

"Kalian bertiga mendapatkan hukuman atas kelalaian masing-masing. Archana Lilichen, kau tidak boleh menemui putriku selama sebulan penuh dan selama itu pula kau harus berlatih di Istana Zamrud. Jika kau berani-beraninya menemui Artha sekali saja, aku akan mengambil gelar kesatriamu."

Sang Raja kini beralih menatap Satin dan Kay. "Kay Maxmillen, kau tak boleh melepaskan pandanganmu dari Artha barang sedetik, bahkan saat ia tidur," titahnya yang diangguki Kay. "Dan Satin Agrev ... kau dijatuhi hukuman mati karena secara tidak langsung telah membawa putriku pada kematian."

Satin dan Archana terbeliak. Wanita bertubuh agak tambun tersebut menangis histeris.

"Yang Mulia, tolong maafkanlah sa—"

"Kay, bawa dia ke ruang eksekusi."

"Baik, Yang Mulia."

Satin tak dapat melawan lagi karena Kay dengan cepat menyeret tubuhnya keluar, menyisakan Archana yang bungkam. Kini ... tidak ada lagi dayang yang akan mengurus Artha, satu-satunya orang yang mengasihi dan membesarkan gadis itu seperti anak sendiri.

🌸🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro