chapter 11
"Archana, aku akan mati."
Halaman belakang Istana Rubi tengah sepi. Dayang-dayang bekerja seperti biasa. Kay melatih para pengawal di dekat paviliun istana, minus Archana yang dengan nekatnya menolak pelatihan dan mengusir Satin yang saat itu sedang menghibur Artha, tetapi gagal. Yah, wanita berambut pirang nan disanggul tersebut memang tidak pandai menghibur. Tentu saja, dayang-dayang lain pun sama. Masalahnya, yang mereka hibur adalah tentang kematian, sementara kematian adalah suatu hal yang pasti. Tidak jarang Artha mencuri dengar. Beberapa dayang yang kerap mengurusnya seakan bersyukur dengan berita kematiannya yang disampaikan oleh seorang tabib istana dua hari lalu.
Archana sembari memegang gagang kursi roda menggeleng. "Anda tidak akan mati."
"Kenapa kau yakin begitu? Bukankah Tabib sendiri bilang aku akan mati? Kau tidak pandai menghibur, seperti Satin dan dayang-dayang di istana." Artha justru terkekeh.
"Aku tidak berniat menghibur." Archana menggeleng lagi. "Tabib bilang Anda akan mati, tetapi bukan berarti besok, lusa, dan seterusnya. Bisa saja beberapa tahun lagi, atau ...."
"Atau apa?" Artha menyela cepat.
"... atau perkiraan Tabib salah."
Artha mengerucutkan bibir seraya bersedekap. "Kau benar-benar tidak pandai menghibur. Aku tahu kata-kata Tabib benar."
Lengang. Baik Artha maupun Archana sama-sama tenggelam dalam benak masing-masing. Artha, barang kali memikirkan kata-kata Tabib lalu saat ia diperiksa olehnya. Gagal sudah rencananya untuk menyembunyikan penyakit itu (walau Artha baru tahu yang dideritanya adalah suatu penyakit nan asing). Setelah ia pingsan, katanya Satin buru-buru memberi tahu Kay dan Kay segera memberi tahu sang Raja. Sang Raja pun mencari salah satu tabib terbaik. Namun, beliau tetap berada di singgasananya, menolak pergi untuk sekadar menengok keadaan Artha. Justru Milen dan Thera sang pangeran pertama yang mengunjungi Artha. Akan tetapi, gadis itu tak kunjung sadar saat mereka datang. Baru pagi tadi pukul lima, Artha membuka kelopak mata sambil memuntahkan beberapa helai kelopak bunga lagi. Satin lelah bukan main. Penyakit Artha membuat para dayang kelimpungan subuh-subuh. Beruntung Kay yang siaga sigap memanggil tabib itu lagi.
Sang Tabib datang kembali dan mengabarkan berita buruk itu; Artha menderita suatu penyakit yang baru ditemukan dan mematikan. Artha tidak terlalu bodoh untuk menyimpulkan bahwa penyakit yang dideritanya bisa merempas nyawanya kapan saja, meski sang Tabib tak memberitahukan kapan tepatnya. Dan berita buruk itu disaksikan oleh kedua teman dekatnya, Archana dan Freya. Raut keduanya terlihat terpukul, amat sedih. Saat itu Archana bahkan tak berani menatapnya. Gadis beriris nan berkamuflase dengan langit cerah tersebut tahu laki-laki yang disukainya selama dua tahun terakhir menitikkan air mata. Ditambah ia tahu Freya menyikut pinggang lelaki itu, membuatnya tersadar dan segera keluar dari ruangan Artha dengan hati kacau.
"Archana."
Pupil lelaki beriris kelabu sedikit membulat, lantas menunduk. "Ya, Putri?"
"Kenapa kau begitu yakin aku tidak akan mati?"
Sebenarnya Artha tak ingin melontarkan pertanyaan konyol itu. Akan tetapi, sejak subuh tadi, Archana menghiburnya dan berkata dengan yakin seolah ia takkan mati, meski mulanya—ternyata—Archana merengek pada Freya, teman masa kecilnya itu.
"Karena aku yakin Yang Mulia akan memberikan perawatan terbaik untuk Anda. Madame Giselle juga pasti bisa menyembuhkan Anda. Penyakit itu memang penyakit baru, tetapi bukan berarti selalu mematikan." Archana sekuat tenaga mencoba mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.
"Kenapa ... kenapa kau bisa begitu yakin, Archana?" Cairan bening meluncur begitu saja dari sudut mata Artha. Ia sudah tak dapat membendungnya lagi. Kata-kata formal Archana bahkan ia abaikan. "Padahal—padahal orang lain mengharapkan kematianku."
"Karena ...." Kali ini Archana tak langsung menjawab. Ia menggantungkan kalimatnya dan hanya menjawab dalam hati.
"Jawab aku, Archana!"
Bentakan Artha menyadarkan Archana, bahwa ia tak boleh hanya memendam saja. Ia ingin menyampaikannya, tetapi kenapa ... kenapa bibirnya selalu kelu?
"Karena ...," Archana meneguk saliva, bersiap untuk mengatakannya, "Anda berharga untukku, Putri. Layaknya permata nan indah, aku tidak ingin sesuatu yang berharga bagi saya terampas atau hilang."
Artha bungkam, tetapi cairan bening dari pelupuknya masih menetes dan bertambah deras.
"Archana ... kau tidak berbohong, bukan?"
Lelaki berzirah dengan logo perisai khas Eltras tersebut melangkah melewati kursi roda Artha dan berlutut di hadapan sang gadis berambut sakura. Artha kini bisa melihat senyum lelaki itu yang terlihat begitu tulus dan menenangkan. Namun, jantungnya lagi-lagi berdetak tak keruan.
"Untuk apa aku membohongi perasaanku sendiri, Putri?"
Artha bisa melihat mata lelaki itu berkaca-kaca. Bahkan pantulan bayangan dirinya terlihat dari mata kelabu nan indah dan memesona. Hal itu agaknya membuat tangis Artha semakin pecah. Jemarinya menggenggam erat lengan pakaian berbalut zirah yang dikenakan Archana.
"Bolehkah ... bolehkah aku memelukmu, Archana?"
Archana menatap ragu. Dilihatnya sekitar. Tidak ada orang selain mereka. Halaman belakang istana memang nyaris tak tersentuh.
"Tetapi, Putri ... aku merasa sangat tidak sopan. Aku hanyalah seorang—"
"Kau seorang Penyihir Musim Semi, serta kesatria tingkat kedua dari Avaroe dan berasal dari keluarga Lilichen, sang ahli pedang yang andal. Apa itu belum cukup untuk menunjukkan statusmu—yang bahkan—lebih tinggi dan mulia dibanding diriku, Archana?"
Pernyataan dan pertanyaan telak dari Artha membuat Archana bungkam. Artha lantas tersenyum.
"Aku hanya memerlukan dekapanmu, Archana. Apa kau ... tidak sudi ...?"
"A-aku bersedia!" Archana menjawab cepat hingga sang gadis tergelak. "Bahkan, dari tujuh tahun lalu, aku ingin ... memelukmu ...."
Ucapan Archana melirih. Tanpa basa-basi, ia melingkarkan kedua tangannya di leher Artha; direngkuhnya tubuh rapuh itu dengan erat sembari memejam. Archana merasakan dua tangan lembut mendekapnya, membuat tubuhnya maju dan jarak di antara mereka begitu tipis. Bau harum parfum mawar menyeruak ke indra penciuman Archana. Rasanya ia tak ingin melepaskan Artha barang sedetik pun. Wajah sang Putri berada tepat di sampingnya, maka ia berbisik, "Bertahanlah. Kau perempuan kuat, Putri. Aku yakin harapan hidupmu sangat besar. Dengan begitu kau tidak akan mati." Karena aku akan melakukan segalanya untukmu.
Pupil Artha terbeliak. Tubuhnya seakan membeku. Perlahan ia melepaskan dekapannya, lantas menatap wajah dengan garis tegas sekaligus lembut itu. Pelupuknya kembali berair.
"Archana ... akhirnya aku mengetahui satu hal."
"Apa itu, Putri?"
"Sang Dewi mengabulkan permohonanku. Aku memohon kepada sang Dewi untuk menghadirkan seseorang untukku. Dan aku yakin itu adalah kau, Archana."
Archana tersenyum. Ia melepas rengkuhan, kemudian menyelipkan helai anak rambut Artha yang mengganggu ke belakang telinga kanan gadis itu. "Aku bersyukur jika demikian."
"Tetapi, aku akan tetap mati, Archana."
Senyum di wajah Archana luntur seketika. "Tolong jangan mengatakan itu, Putri. Anda tidak—"
"Bukankah kau sendiri yang mengatakannya padaku tiga tahun lalu, Archana? Akan ada ganjaran yang setimpal atas satu permohonan berharga."
Artha mendadak tersenyum pedih. Archana termangu, tak ingin melihat gadis yang dicintainya berekspresi seperti itu.
"Dan sepertinya, ganjaran atas permohonanku adalah ... kematian."
"Jangan berbicara seperti itu! Kumohon!" Archana berkata dengan volume keras sampai ia memajukan wajahnya. Mata kelabu itu kembali berkaca-kaca. Ia menggenggam kedua tangan Artha yang mungil dengan erat, seakan tak ingin melepaskannya.
Tuan putri kedua Eltras menaikkan kedua sudut bibirnya sekuat tenaga. Kali ini ia benar-benar tersenyum, meski berat untuk menyampaikan apa yang dipikirkannya.
"Tidak apa-apa. Aku senang karena permohonanku terkabul." Sembari menepuk-nepuk bahu Archana, Artha mendengkus pelan. Bibirnya lagi-lagi naik. "Itu berarti Sang Dewi mendengar doaku, dan ... jika itu kau, Archana Lilichen, aku akan berbahagia."
🌸🌸🌸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro