Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 10

"Archana! Kau tidak boleh melakukan itu!" Gadis yang duduk di kursi roda mengulurkan tangan, hendak mencegah yang ingin dilakukan oleh lelaki berambut cokelat yang disisir rapi. Sementara itu, si lelaki terbahak. Jemarinya sudah memetik satu tangkai bunga plum, lantas diberikannya kepada sang gadis dengan seulas senyum.

"Tenang saja, Putri. Aku bisa menumbuhkannya lagi. Yang lebih lebat kalau kau mau," kata lelaki berseragam kesatria Eltras, Archana Lilichen. Ia menyugar rambutnya ke belakang tatkala menyerahkan setangkai bunga itu kepada seorang putri yang duduk di kursi roda.

Artha Azzavier gemas ingin menjitak lelaki itu, tetapi ia tak bisa dan malah menyunggingkan senyum saat menerima bunga plum nan cantik dari tangan Archana.

"Coba kau selipkan di telingamu."

Artha menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ia tak lantas melakukannya, melainkan memandang Archana terlebih dahulu.

"Mengapa tidak kau saja yang menyelipkannya, Archana?" goda Artha sembari terkekeh. Kelakaran gadis itu ternyata dianggap serius oleh Archana.

"Bolehkah aku?"

"Tentu saja."

Gadis berambut semerah bunga sakura tersebut langsung terdiam tatkala Archana mengambil bunga itu dari tangan Artha lantas menyelipkannya di telinga kiri sang gadis. Wajah mereka yang berdekatan dan hanya berjarak beberapa senti membuat keduanya merasakan embusan napas masing-masing. Bising degup jantung nan berpacu cepat membuat Archana tersadar dan segera melangkah mundur.

Senyum semanis buah persik kembali menghiasi wajah tampan lelaki itu.

"Cantik," puji Archana. "Maksudku—eh, bunganya cantik."

Archana berdeham, lalu cepat-cepat melanjutkan lagi, "Maksudku, kau dengan bunga itu terlihat cantik, tetapi pada dasarnya Putri memang sudah cantik sejak dahulu."

Terlihat semburat merah muda di kedua pipi Artha, padahal ia tak menggunakan perona pipi. Wajahnya memanas. Seakan belum terbiasa dengan kelakuan Archana selama setahun belakangan, Artha masih saja bersemu merah. Keduanya kerap mengobrol canggung meski sudah berbicara nonformal satu sama lain—Artha yang memintanya untuk tidak terlalu formal walau tetap saja, Archana tidak enak hati. Hari ini sudah setahun sejak Archana dilantik menjadi kesatria. Dan selama itu pula sang lelaki bekerja keras hingga menyabet gelar kesatria tingkat kedua dalam waktu kurang dari setahun.

Tentu hal itu merupakan pencapaian yang luar biasa untuk seukuran pemuda tujuh belas tahun. Tak jarang ada orang yang mencibirnya, mencurigainya melakukan guna-guna atau memanfaatkan hak istimewanya sebagai penyihir tingkat tinggi. Namun, mengingat latar belakang keluarga Archana yang secara turun menurun mengabdi kepada kerajaan sebagai kesatria tingkat pertama serta ahli pedang yang andal, siapa pun pasti akan dibuat bungkam dengan fakta itu. Meski demikian, bagian Archana yang empat bulan lalu meminta kepada sang Raja untuk menjadi kesatria pribadi Artha memang benar-benar menggunakan hak istimewanya. Hanya Freya, Kay, dan sang Raja yang tahu.

Sementara itu, Artha tak pernah sekalipun menceritakan kejadian saat ia muntah darah dan kelopak bunga kepada siapa pun, bahkan Kay, Archana, Freya, Milen, apalagi sang Raja. Artha selalu menolak jikalau Satin dan beberapa dayang lain memaksanya untuk diperiksa. Ia mencoba untuk melupakan kejadian itu. Namun, tiap ia tidur, bayang-bayang kematian selalu menghantuinya. Artha tersenyum getir. Kenapa tiba-tiba ia teringat kematian?

"Anda kenapa, Putri?"

Archana menepuk bahu gadis itu. Gaya bicaranya kembali formal. Melihat raut Artha yang tampak pucat, Archana berinisiatif untuk membawa Artha kembali ke Istana Rubi. Namun, kesatria wanita yang di belakang punggungnya tersampir busur dan tas bulat berisi anak panah tiba-tiba saja muncul. Wajahnya memerah dan tampak panik.

"Astaga! Kalian ini, kucari ke mana-mana ternyata ada di sini!" Freya berseru kesal seraya menghampiri keduanya, lantas mengambil alih kursi roda Artha dan hendak membawanya pergi. "Frau Millefuire menuju kemari! Kalian cepatlah bersembunyi, terutama kau, Archana!"

"Kenapa aku?!" Archana merengut, tetapi ia tetap mengangguk dan mengikuti kata-kata Freya.

"Lalu, Putri ...."

"Aku akan membawa Putri Artha ke bagian selatan yang paling dekat dengan pintu keluar yang lain." Freya memotong kata-kata Archana sembari menunjuknya. "Kau, terserahmulah mau sembunyi di mana. Yang penting jangan ketahuan kalau tidak mau statusmu sebagai kesatria dan penyihir terancam."

Setelah berkata demikian, tanpa mengucapkan apa pun lagi, Freya dan Artha berlalu dari sana. Sang putri bahkan hanya melambaikan tangan. Archana baru menggunakan sihirnya yang bisa menumbuhkan semak-semak tatkala seorang wanita berambut biru kehijauan dengan pakaian formal berwarna merah muncul bersama tongkat kayu jati khasnya datang. Archana mengaduh. Ia tak sempat bersembunyi. Wanita yang disebut Frau Millefuire memukul kepala Archana dengan tongkat kayunya.

"Kali ini kau tidak bisa kabur, Tuan Penyihir Musim Semi." Frau Millefuire berkata sinis dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Aku tahu kau memetik bunga-bunga lagi. Sudah berapa kali kubilang untuk tidak merusak tamanku!" lanjutnya menggebu-gebu.

"Saya tidak merusak taman Anda, Frau. Saya bisa menumbuhkan lagi—"

"Lalu itu menjadi alasanmu?! Aku tidak peduli! Tuan Putri Artha juga pasti ada di sini. Di mana dia?! Akan kukatakan pada tua bangka Satin untuk tidak membiarkan anak asuhnya berkeliaran di tamanku bersama perusak taman sepertimu!"

Pupil Archana membulat, lututnya luruh dan entah bagaimana lelaki itu jatuh bersimpuh. "Saya mohon, jangan katakan pada Satin!"

Karena kalau orang itu tahu, Artha tidak akan diperbolehkan keluar istana lagi.

Sudah susah payah Archana meminta izin kepada dua penjaga Artha, meski taruhannya adalah nyawanya.

"Jangan pikir aku—"

"Satu-satunya tempat di luar kerajaan yang bisa Putri Artha kunjungi hanya taman ini, Frau! Mengertilah. Apa Anda tidak kasihan pada Putri?"

Frau Millefuire mendengkus. "Hentikan tatapan memelasmu itu, Archana. Baiklah-baiklah, aku tak akan mengatakannya pada Satin. Asal kau tidak merusak tamanku LAGI!"

Archana meringis mendengar penekanan kata 'lagi'. Padahal ia hanya memetik beberapa tangkai bunga, bukannya bermaksud merusak Taman Peruna.

Archana bangkit lantas membungkukkan badan. "Baik, terima kasih, Frau."

"Sekarang, di mana Putri Artha?" Frau Millefuire tak mengindahkan perkataan Archana. Wanita berambut toska tersebut celingak-celinguk. Namun, hanya ada mereka berdua di jantung Taman Peruna.

"Freya sudah membawanya ke Istana Rubi." Atau kuharap begitu.

"Baguslah. Kau pergilah sebelum aku memberimu hukuman—dan, oh, jangan lupa kembalikan semak-semak itu seperti semula."

Archana mengangguk-angguk. "Saya pamit."

Kemudian, ia pergi ke Istana Rubi. Kali ini Archana sungguh beruntung wanita yang usianya hampir setengah abad tersebut tak menghukumnya. Kendati Archana seorang Penyihir Musim Semi—seperti kata Freya—ia tak ada apa-apanya dibanding Frau Millefuire yang merupakan penyihir tingkat tinggi dengan julukan 'Penguasa Alam Peruna'.

Mata kelabu Archana membulat tatkala sesampainya ia di Istana Rubi, para dayang dan pengawal yang ada—salah satunya Freya— menjerit histeris. Dayang Jane bahkan sampai menjatuhkan cangkir teh yang semula di genggamannya untuk diberikan kepada sang Putri. Archana meneguk saliva sembari mencoba membelah kerumunan. Matanya kembali membola melihat Artha tubuh lunglai Artha terjatuh. Beruntung Dayang Lili menangkapnya. Atensi Archana teralih kepada taris di hadapan. Lantai marmer yang semula berwarna putih dengan nuansa krem kini ternoda genangan cairan kental kemerahan beserta beberapa helai kelopak bunga sakura.

🌸🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro