Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 1

Artha Azzavier terlahir cacat. Ia punya kedua kaki, tetapi kaki kirinya tak berfungsi dengan baik. Ke mana-mana, ia selalu digendong oleh Satin, sang kepala dayang, atau Kay, sang penjaga. Mulanya rakyat tidak tahu; Artha putri yang disembunyikan. Namun, suatu hari saat Artha merengek meminta pergi ke Taman Peruna yang katanya ditumbuhi banyak bunga-bunga cantik, Artha lepas dari pandangan tatkala gadis kecil itu menyuruh Kay mengambil kelopak bunga aprikot yang paling cantik. Dengan bantuan tongkat kayu yang dipungutnya, ia berjalan tertatih-tatih memasuki Taman Peruna, meski tak terhitung berapa kali ia terjatuh dan berakhir lututnya terluka serta kakinya terkilir.

Memasuki gerbang Taman Peruna, ia melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia sepantarannya tengah memetik kelopak bunga plum. Tangan lainnya menggenggam keranjang berisi bunga-bunga lain seperti mawar, dandelion, dan aprikot. Saking fokusnya melihat anak itu, gadis kecil delapan tahun tersebut tak menyadari sang anak lelaki menoleh ke arahnya. Mata bulat berwarna kelabu yang kelam, tetapi indah menatap Artha dengan sorot penasaran. Artha tergagap, lantas membalikkan badan. Sebelum sempat kabur, anak laki-laki itu berlari kecil dan menepuk pundak Artha, membuatnya jatuh terduduk.

"Kau siapa? Aku belum pernah melihatmu." Anak laki-laki itu menyodorkan tangan. Artha meraihnya, lalu diangkatlah tubuh ringkih itu hingga berdiri. Si anak laki-laki mengambil tongkat kayu yang tergeletak, kemudian memberikannya kepada Artha yang berdiri dengan siku menopang pagar.

Artha tidak menjawab, ia ketakutan. Satin bilang, tidak ada yang boleh mengetahui jati dirinya, selain keluarga kerajaan dan orang-orang yang diperintahkan mengurusnya sejak kecil.

Artha menggeleng lemah. Ia kembali membalikkan badan, mengabaikan anak laki-laki itu. Namun, di gerbang Taman Peruna, tiga orang pria dengan pakaian seperti tukang kebun menghadang. Artha tersentak, tubuhnya gemetar.

"Hei, siapa anak ini?" tanya salah seorangnya yang mengenakan kaus merah dan celana pendek cokelat.

Pria lainnya menggeleng, sementara satunya mendekatkan kepala ke Artha, memasang postur berpikir dan mengamati seluruh tubuhnya.

"Anak ini mengenakan perhiasan mahal," tutur salah satunya, yang mengenakan topi lebar.

"Dan pakaian bagus," tambah si pemegang penyiram tanaman.

"Sepertinya dia bangsawan ... oh, tunggu." Pria Berkaus Merah terdiam, mengamati dada Artha. Jantung gadis itu berdegup kencang. Artha tahu apa yang dilihat pria itu, maka ia menggenggam kalungnya erat, seolah menutupi liontin merah rubi yang melingkar di lehernya.

"Dia berasal dari keluarga kerajaan!" seru pria Berkaus Merah, disusul pekikan kaget dari yang lainnya.

"Seorang putri?"

Pria Bertopi Lebar mengibaskan tangan. "Tidak mungkin! Putri Eltras hanya Tuan Putri Milen. Dan jelas sekali dia bukan Putri Milen."

"Tetapi aku yakin betul liontin itu adalah simbol keluarga kerajaan!" ujar Pria Berkaus Merah kukuh.

"Nak, kau-"

Kata-kata pria yang membawa penyiram tanaman terhenti begitu tengkuknya dihantam sesuatu nan berat. Tubuhnya ambruk seketika, disusul kedua pria lainnya.

Kay, sang penjaga menatap bengis Artha. "Artha Azzavier, sudah saya bilang jangan ke mana-mana," ucapnya penuh penekanan. Di saat-saat seperti ini, Kay memang kadang kali memanggil Artha dengan nama panjangnya, tanpa embel-embel 'de Eltras' yang biasa disematkan di nama putra-putri kerajaan.

"Maafkan saya." Artha menunduk. Tangan kirinya yang tak menggenggam tongkat kayu meremas lapisan terluar baju terusan ungu berenda. Tak sedikitpun ia nyali menatap Kay dengan tatapan bengis itu, padahal Artha sudah tahu Kay membencinya.

"Tidak perlu minta maaf. Ini salah saya juga yang membiarkan Anda berkeliaran sendirian." Kendati Kay berkata demikian, nadanya sama sekali tak terdengar menyesal, bahkan terkesan dingin. "Tetapi lihatlah ulah Anda yang ceroboh dan tidak hati-hati. Tiga orang ini mengetahui identitas Anda, dan mungkin tak lama lagi, informasi ini bocor dan rakyat akan mengetahui kebenaran soal Anda."

Artha meneguk saliva. Cengkeraman pada terusannya semakin kuat hingga meninggalkan lecek. Apakah itu buruk jika identitasnya sebagai putri diketahui? Apakah ia memang tak pantas sebagai putri Eltras?

Perlahan, cairan bening mengalir dari kedua mata Artha yang senada dengan langit. Tubuh Artha seakan terdorong ke depan, menubruk Kay. Lantas, Kay mengangkat punggung dan kaki Artha, menggendongnya.

"Hari ini dan keesokannya, Anda tidak boleh keluar dari Istana Rubi. Apa pun alasannya, kecuali atas perintah Yang Mulia." Sekali bertitah, kata-kata Kay harus dituruti. Titah seorang Kay sama mutlaknya seperti titah sang Raja. Maka dari itu, Artha tak pernah berani membantahnya, kendati ia bisa. Namun, dikata apa jika status 'putri raja' hanya seperti sebagai pajangan.

Kay yang menggendong Artha meninggalkan taman, tanpa menyadari ada seseorang di belakangnya yang mengintip dari semak-semak dan berbisik penasaran, "Seorang putri ...?"

🌸🌸🌸

Tepat seperti kata-kata Kay. Hanya butuh dua hari, kabar mengenai adanya putri Eltras yang disembunyikan menyebar cepat ke penjuru Eltras, khususnya ibu kota Avaroe. Rakyat berkumpul di gerbang istana utama, mendesak sang Raja untuk mengonfirmasi hal ini. Selama tiga hari penuh, istana penuh oleh ribuan rakyat. Pasukan kerajaan kewalahan menghadang, memberi penjelasan satu per satu kepada rakyat yang menuntut nan sebenarnya percuma dilakukan.

Artha pikir sang Raja tidak akan mau mengumumkan keberadaan dirinya sebagai putri kedua, sampai seminggu setelah kejadian di Taman Peruna, sang Raja mengunjungi Istana Rubi dan menyuruh Artha bersiap. Beliau bahkan menyuruh ia didandani oleh dayang terbaik. Satin hanya menghela napas berat, sementara Kay, makin bengis saja tatapannya pada Artha. Di hari ketika sang Raja memerintahkan Artha berdandan, di hadapan sang Raja, Ratu, selir ketiga, Milen, Thera-pangeran pertama-dan Yoshr-pangeran kedua-beserta di hadapan seluruh rakyat yang hadir di istana, sang Raja mengumumkan bahwa Artha Azzavier de Eltras adalah putri kedua dari selir pertama sang Raja.

Artha yang tengah berdiri di depan singgasana dengan dipapah oleh Kay, ditatap dengan pandangan beragam oleh rakyatnya. Bisikan demi bisikan diterimanya. Bibir mungil Artha hanya bisa tersenyum lebar, meski dalam hati ia ingin menangis, memeluk Satin walaupun sang dayang tidak akan menggubrisnya. Gadis kecil yang bahkan belum dewasa itu harus dihadapkan pada kenyataan; bahwa tak hanya keluarga kerajaan yang seharusnya menjadi 'keluarga' sebenarnya, para rakyat juga membencinya. Sungguh memalukan. Seorang putri Eltras yang seharusnya disegani malah dibenci rakyatnya sendiri.

Itu adalah awal mengapa Artha menjadi putri yang diasingkan, dijauhi dari kehidupan istana yang sebenarnya. Bahkan, kehidupannya berbeda dari saudara-saudarinya yang lain. Ketika mereka menikmati kasih sayang keluarga, Artha hanya bisa memeluk Satin dan Kay yang ia anggap keluarga-sungguh, itu lebih baik daripada keluarga asli Artha. Sang Raja tak menganggapnya putri, sekalipun ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Sementara itu, selir pertama-ibu Artha-tiada saat melahirkannya.

Empat tahun berlalu. Selama itu pula ia dikekang, diabaikan, dijauhi. Tak ada seorang pun yang ada untuknya, kecuali Satin dan Kay. Namun, di umur itu pula, Artha akhirnya menemukan setitik harapan.

🌸🌸🌸

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro