un
Edisi revisi (untuk kesekian kalinya). Ada banyak yang ditambahkan kok! Jangan lupa baca sampai habis ya.
Mungkin akan membingungkan bagi yang belum baca full versionnya Buy My Life. Jadi, baca aja dulu Buy My Life sampai tamat ya!
Yang sudah baca full Buy My Life nya, plisplisplis jangan kasih spoiler
#dirumahaja
¤ ¤ ¤
-Aimee-
Mata kelabuku sibuk menatap layar laptop. Sedangkan barisan gigiku sibuk mencacah campuran daun selada, tomat serta jagung yang memenuhi mulutnya. Seketika, kupelankan gerakan rahangku.
Hell! Ini sangat lezat!
Kemudian kuturunkan kelopak mataku, seakan mencoba untuk lebih meresapi rasa yang kutemukan di tumpukan 'rumput' di mangkuk makananku. Sebuah potongan daging asap. Aku seperti menemukan sebuah harta karun!
"Aimee!" pekik seorang pria yang sedikit berusaha untuk melembutkan suaranya seperti seorang wanita. Pria itu lalu menyodorkan sebuah kantung kertas berwarna cokelat kepadaku. "Muntahkan!" perintahnya.
Aku mencoba terlihat tak mengerti apa yang diperintahkan pria gemulai yang ada di hadapanku, Terry Dressler. Secara profesional ia adalah asisten pribadiku. Tapi bagiku ia adalah teman satu apartemenku, tukang bersih-bersih, penata rambutku, penyusun semua jadwalku serta yang terpenting adalah partnerku dalam berbagi gosip bintang televisi.
"Aku tahu, aku melewatkan sesuatu. Sepotong keju atau daging asap?" Terry menebak dengan tepat. Ia mendekatiku dan hampir saja merampas mangkuk saladku yang dibelinya di supermarket.
Dengan cepat kuselamatkan mangkuk saladku dari Terry. "Jangan mendekatiku ketika aku sedang menonton acara favoritku, Terry. Ingat perjanjiannya! Tiga puluh inchi, Terry! Tiga puluh inchi!" yang kulakukan hanyalah terus mengomel. Namun, pada kenyataannya aku hanya terlihat seperti itu untuk mengalihkan pandangan Terry di mulutku. Sigap, aku langsung menelan daging yang sebelumnya kukunyah.
"Lagi-lagi kau mengalihkan pembicaraanku! Kau menelannya! Argh!" gerutu Terry kesal sembari membuang pandanganya dariku. Lalu ia menjauhiku sembari berlenggak-lenggok sedangkan tangannya sibuk meremas kantung coklatnya.
"Ini hanya sepotong daging asap. Ayolah Terry! Aku tak akan terbunuh karena memakannya! Aku bersumpah itu hanya potongan kecil," kucoba membela diri.
"Kau memang tak akan terbunuh. Tapi karirmu yang akan terbunuh. Aku tak ingin kau kehilangan kontrak pemotretan produk pakaian dalam itu! Kita membutuhkan uangnya untuk berlibur ke Bali akhir tahun," ucap Terry sembari mengambil apel yang ada di kitchen island. Lalu ia mengarahkan apel itu ke mulutnya. Namun dengan sigap, tanganku menyambar apel itu dan meletakkannya kembali ke tempat semula.
"Ini plastik," ucapku.
"Eww," balas Terry.
"Sejak kapan kau membiarkanku menyimpan makanan di apartemenku," sindirku.
"Oh Tuhan! Aku hanya membantumu, Nona Kurzmann. Aku ingin karirmu terus menanjak. Berat badanmu harus terkontrol."
"Dan membantu dirimu sendiri untuk ke Bali." Tak bosan-bosannya kulemparkan sindiran pada Terry. "Kenapa tak di Malava Islands saja? Tak perlu ke luar negeri dan itu murah."
"Huh!" dengus Terry sembari mengamati barisan kuku jemarinya yang jauh lebih mengkilap dibandingkan milikku. Ketika sedang kesal, ia selalu melarikan tatapannya ke sana.
Jelas Terry tak setuju dengan ideku untuk tetap di negara ini, Malava Island saat akhir tahun. Malava Island yang merupakan negara dengan potensi pariwisata nomor satu di Eropa. Tidak, bahkan nomor satu di dunia. Sebagai pembuktiannya banyak orang asing rela menunggu bertahun-tahun untuk dapat menikmati waktu liburan mereka di negara kami.
Berbeda denganku, Terry selalu merasa liburan ke luar negeri jauh terlihat berkelas dibandingkan hanya menghabiskan waktu di negara ini. Disisi lain, hal tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menopang karirku. Sebuah pencitraan. Memamerkan foto liburan di luar negeri pada halaman sosial media akan sangat membantu untuk memperlihatkan bagaimana model berkelas sepertiku memiliki kehidupan yang 'berbeda'. Terry memang tak sepenuhnya salah.
"Jangan merajuk Terry. Kau seperti anak sekolah jika seperti itu!" ledekku sembari merangkul pria gemulai itu dengan manja. Dan yang terus dilakukan Terry adalah menjauhiku.
"Aku akan membelikan scarf yang kau incar di butik. Kau boleh membeli dua motif yang berbeda." Akhirnya kulayangkan senjata terakhir. Sebuah sogokan berupa barang-barang bermerek biasanya menjadi senjata yang sangat ampuh untuk meredam kekesalan Terry.
"Aku tidak mau! Aku ingin ke Bali. Dan aku hanya ingin hal itu!" ucap Terry.
Atau tidak. Kali ini hal itu tak berhasil untuk membujuk Terry. Sepertinya, hanya perjalanan ke sebuah pulau tropis di Asia itulah yang ia inginkan saat ini, bukan beberapa helai scarf.
"Baiklah aku mengalah. Kita akan ke Bali akhir tahun." ucapku menyerah. Aku berharap Terry tak lagi kesal kepadaku. Karena nyatanya aku lebih banyak membutuhkan Terry untuk mengatur banyak hal dibandingkan Terry membutuhkan uangku.
"Dan..." ucap Terry. Seperti biasa ia menodongku untuk berjanji kepadanya. Atau lebih tepatnya memaksa.
"Aku tak akan memakan daging ataupun keju untuk satu bulan ke depan," kuputar kedua bola mataku sembari berbicara padanya. "Aku berjanji Terry Sayang!"
Atau mungkin tidak. Karena tanpa sepengetahuan Terry, kusilangkan jari telunjuk dan jari tengahku.
"Dan aku tetap menagih scarf-ku!" ucap Terry sembari tersenyum menang.
"Oh hell Terry!"
***
Terry membukakan pintu mobilnya untukku. Kemudian jemari lentiknya merapikan rambut pirangku yang menjadi hasil karyanya satu jam yang lalu. Sejauh ini Terry memang cukup sigap melayaniku, meskipun ia sangat menyebalkan ketika sedang kesal.
"Tak perlu mengantarkanku ke dalam," pintaku. "Aku akan menemui Tuan Paul."
"Baiklah." ucap Terry. "Kau sangat cantik."
"Sampai jumpa esok pagi." ucapku sembari berjalan masuk ke sebuah gedung model agency tempatku bernaung.
"Bersenang-senanglah Aimee," samar, aku menangkap apa yang baru saja keluar dari mulut Terry.
Dan aku tahu betul bahwa ada makna tersembunyi dari kata 'bersenang-senang' yang diucapkannya.
Pikiran pria itu pasti menyimpulkan bahwa ada sesuatu dibalik pertemuanku dengan Tuan Paul, seorang pria tua tak berambut yang merupakan petinggi agensiku. Wajar saja, siapapun orang itu, jika tahu bahwa aku cukup sering bertemu dengan Tuan Paul setiap dua minggu sekali pada malam selarut ini pasti akan berpikirin bahwa aku menjual tubuhku demi bertahan di industri ini. Tapi bukan itu kenyataannya. Ada sesuatu yang lebih rahasia dan gelap dari itu.
Ketika aku memasuki bangunan ini,
hanya melihat lampu pada lorong-lorong dan sebuah ruangan di lantai tiga gedung ini saja yang menyala. Dan tak lain, itu adalah ruangan Tuan Paul, tujuan utamaku.
"Kau sudah datang?" ucap seseorang tepat ketika kakiku melangkah masuk ke ruangan Tuan Paul.
Orang itu duduk di executive chair besar yang menghadap ke arah jendela. Meskipun ia membelakangiku, aku tahu siapa orang bersuara berat itu, Tuan Paul tentunya.
"Kau selalu mengetahui kedatanganku bahkan tanpa melihatnya," ucapku sembari berjalan lebih dekat ke arah meja kerjanya.
"Cepat atau lambat, Si Tua Brannigan akan segera menemui ajalnya," Tuan Paul beranjak dari kursinya, namun pria itu masih menghadap jendela, berbicara tanpa memandangku sebagai lawan bicaranya.
"Apa ia terkena penyakit parah? Wajar saja jika seperti itu. Kita semua tahu jumlah umurnya," celetukku.
Pria itu memutar kursinya, menampakkan dirinya yang berbalut setelan kemeja berwarna hitam. Ia terlihat stylish untuk ukuran pria berumur lima puluh tahunan. "Berhati-hatilah dalam menggunakan mulutmu! Jika didengar orang lain, dalam beberapa jam kau dapat berubah menjadi si mayat tanpa nama," ancamnya.
Aku membisu. Entah bagaimana bisa aku berkata seperti itu ketika bersama dengan Tuan Paul? Sepertinya kebiasaan Terry yang cukup sering berbicara sembarangan menular kepadaku. Seharusnya aku tau, meskipun aku cukup dekat dengan Tuan Paul, namun tak ada ruang setitik pun untuknya menyinggung seorang salah satu petinggi di organisasi besar itu.
Aku hanya berpura-pura merapikan pakaian yang kukenakan dan mencoba terlihat sedikit santai. Namun nyatanya tak bisa. Aku terlalu sibuk memikirkan kalimat 'Si Mayat tanpa Nama'. Yang pasti itu akan jauh lebih buruk dibandingkan apa yang pernah kupikirkan.
"Kau memiliki hutang besar kepada organisasi ini, jadi jaga sikapmu dengan baik," sambungnya.
"Bagaimana kau bisa mengetahui jika Pria itu akan meninggal dengan cepat?" tanyaku.
"Seseorang meretas sistem keamanan di rumah tanpa sepengetahuannya. Dan kami belum dapat mendeteksi siapa yang melakukannya. Ia menggunakan proteksi berlapis. Mungkin saja teroris atau pemberontak. Jika memang benar orang itu berniat untuk menghabisi Si Tua Brannigan, ia bahkan akan lebih cepat terbunuh sebelum kita menemukan pelaku peretasannya."
"Bagaimana dengan mengerahkan sekelompok pasukan terlatih untuk mengawalnya?" Aku mencoba memberikan sebuah usulan. Dengan harapan ia segera melupakan hal yang tak pantas yang baru kukatakan itu.
"Tidak perlu. Biarkan saja dia mati. Lagipula banyak petinggi yang tak begitu menyukainya. Termasuk diriku," dengan mudahnya Tuan Paul mengatakan hal tersebut.
Aku terdiam. Sembari berpikir, bagaimana jika aku berada di posisi Tuan Brannigan? Apakah ia akan tetap membiarkanku mati? Walaupun separuh dari diriku yakin bahwa aku akan tetap aman jika selalu menurutinya dan protokol organisasi.
"Bagaimana jika ia mengetahui bahwa kita membiarkannya?" tanyaku.
"Ia tidak akan tahu. Kami sangat yakin."
"Jika hal itu terjadi, ini akan menjadi berita yang cukup besar."
"Karena itulah aku memanggilmu lebih cepat dari jadwal yang seharusnya," ucap Tuan Paul sembari melipat kedua lengan di dadanya. "Lakukan seperti biasa, kelabui semua media."
"Baiklah, akan kulakukan seperti biasa," aku penuh percaya diri mengatakannya.
"Mungkin berita Nona Kurzmann yang mengalami perampokan di apartemennya akan cukup mengalihkan semua orang."
"Aku akan mengaturnya, dan kupastikan tak ada seorangpun yang mengetahuinya," balasku.
"Tapi itu hanya jika pembunuhan Si Tua Brannigan terjadi dan dilakukan oleh teroris, pemberontak ataupun pembunuh bayaran. Ada sebuah kemungkinan lain yang para petinggi takutkan. Tapi itu hanya kemungkinan yang sangat kecil," ucap Tuan Paul bertambah serius.
"Maksudmu?"
Tuan Paul kemudian mengambil dua gelas wiski, menuangkannya dan memberikan salah satunya untukku. "Yang kami takutkan adalah jika seseorang yang melakukan pembunuhan itu adalah orang luar yang mengetahui mengenai organisasi ini."
Aku sedikit tertawa kecil sembari membuka sarung tanganku sebelum kuambil gelas wiski dari tangan pria itu. "Itu sangat tidak mungkin," aku begitu percaya diri.
"Kami pun berharap seperti itu," ucap Tuan Paul sembari sedikit mengangkat gelas wiski miliknya, mengajakku bersulang.
"Hidup Malava Islands Serikat!" ucap kami bersamaan.
***
Tbc.
Ada yang ingat siapa Tuan Brannigan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro