Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 38 - Apology

Hai. Oke, saya tahu ini sudah sangat sangat lama sejak terakhir kali saya update. And I'm so sorry for it 🙏 And now, this is for you, 3rb kata lebih. Semoga bisa memuaskan.

Happy reading!

-----------------------------------------------------

38
Apology

"Cinta selalu memberi ruang maaf yang luas bagi segala kesalahan. Asal ada keinginan untuk memperbaikinya." - Guntur Alam

***

"Pa, Nayya mau ketemu Kak Akbar," ujar Nayya saat sarapan di pagi itu.

Alfi dan Afanin sontak menghentikan aktivitas mereka. Saling tatap sebentar, lalu beralih pada anak gadis mereka.

"Kamu yakin?" tanya Alfi lembut, juga sangsi.

Nayya mengangguk. "Nayya tahu Papa sering jenguk Kak Akbar," ujar Nayya tersenyum. "Nayya mau ikut."

Alfi menatap Afanin sekilas, lalu nampak murung. "Tapi dia tidak pernah mau menemui Papa," lirihnya.

Sejujurnya, Alfi merasa menyesal telah membuat Akbar mendekap di dalam penjara. Namun, ia tak bisa apa-apa, karena saat itu ia terlanjur melibatkan polisi. Mereka melihat semua kejadiannya. Meskipun ia tidak menuntut Akbar, Akbar tetap akan diproses secara hukum. Karena itu, mencabut tuntutan dan membebaskannya begitu saja adalah hal yang tidak mungkin. Alfi tidak memiliki kuasa untuk itu. Di mata hukum, Akbar adalah seorang penjahat, dan ia harus mendapat hukuman atas nama keadilan.

Alfi juga ingin membebaskan Akbar. Bagaimanapun, Akbar adalah darah dagingnya. Meski kesalahannya sangat fatal, ia bisa mengerti. Dan apa yang telah dilakukannya, ia ikut andil di dalamnya. Ia tahu, semua terjadi karena dirinya. Karena itu ia berusaha menebus kesalahannya, berusaha memperbaiki hubungan mereka. Ia memaafkannya. Tapi, sepertinya Akbar tak menginginkan hal itu. Ia bisa saja melanggar hukum dengan memberi uang suap. Tapi, ia tak kan melakukan hal kotor seperti itu. Atau Akbar akan lebih membencinya.

"Pa ...."

"Oh. Iya, maaf. Kenapa?" Teguran halus dari Nayya menyadarkan Alfi dari lamunannya.

"Boleh, ya?" pinta Nayya.

"Tapi untuk apa ...? Kamu yakin?"

"Nayya akan baik-baik aja kok, Pa," senyum Nayya. Ia tahu, papanya pasti mengkhawatirkan trauma dirinya.

"Tapi ...."

"Pa, I'm fine. I'll through it." Nayya meyakinkan.

Alfi menatap Afanin, lalu Afanin mengangguk sambil tersenyum pertanda ia mengizinkan keinginan Nayya.

"Baiklah, nanti siang kita ke sana."

Nayya tersenyum. "Makasih, Pa."

Takut. Mungkin Nayya masih merasakan itu. Tapi keinginan untuk bertemu dan melihat kakak laki-lakinya jauh lebih besar dari rasa takutnya. Ia ingin membesarkan hatinya. Sebab, ia tahu, Akbar tidak sepenuhnya bersalah.

Ia bisa mengerti kenapa Akbar melakukan semua ini. Dia sudah banyak terluka. Benar, seperti katanya, mungkin Nayya tak pernah tahu rasanya hidup seperti yang dialami kakak laki-lakinya itu. Tapi melihatnya kemarin, ia bisa merasakan penderitaannya selama ini.

Ia juga sudah tahu tentang hubungan Akbar dan Adel. Mereka bukan hanya teman sejak kecil. Bagi Adel, Akbar adalah dunianya. Dan bagi Akbar, Adel adalah tempat ia pulang. Adel tahu segalanya tentang Akbar. Mereka berbagi rasa sakit sejak dulu, sama-sama melawan rasa sakit dan saling menguatkan untuk bertahan.

Tapi Akbar telah memutuskan untuk membuang segalanya. Ia, memutuskan untuk menghukum dirinya sendiri.

***

Alfi dan Nayya kini berada di perjalanan. Sejujurnya, ia sedikit gugup. Namun, Nayya sudah bertekad untuk memperbaiki semuanya. Ponsel Alfi berdering. Alfi lantas memasang earphone bluetooth, karena ia sedang menyetir. Lalu menggeser tombol hijau.

"Ya, selamat siang. Dengan saya sendiri," jawab Alfi. Nayya melihat nama yang tertera di layar ponsel papanya. Rupanya itu adalah telepon dari kepolisian.

Tiba-tiba Alfi mendadak menginjak rem, membuat Nayya terkejut dan hampir membentur dashboard mobil. Beruntung sabuk pengaman melindunginya.

"Ya Tuhan, Nay kamu nggak papa kan, Sayang?" Alfi bertanya cemas, menyadari Nayya sempat mengaduh.

Nayya mengggeleng. "Ada apa, Pa?"

"Sebentar," ucap Alfi pada Nayya lalu kembali berbicara pada polisi, "Baik, terima kasih. Saya akan ke rumah sakit sekarang." Alfi pun menutup panggilan.

Nayya mengerutkan kening. "Rumah sakit? Tidak jadi ke kantor polisi?"

Alfi tak menjawab, ia langsung menancap gas dan melajukan mobilnya. Nayya bisa melihat wajah papanya yang memucat dan diliputi kecemasan.

"Pa? Ada apa?" tanya Nayya, namun Alfi masih diam. "Pa!"

"Akbar ... dia mencoba bunuh diri ...."

Deg.

Nayya terpaku. Satu kalimat itu membuat raganya melemas sekita. Dan dadanya terasa sesak. "A-apa? Bagaimana bisa ...."

Alfi pun tak tahu bagaimana bisa hal itu terjadi. Padahal ia di dalam penjara, bagaimana ia bisa mencoba bunuh diri? Alfi melirik Nayya yang memainkan jemarinyaㅡgelisah. Ia pun menggenggam tangan Nayya dengan sebelah tangannya. "Semoga dia tidak papa," ucapnya berusaha menenangkan meski dirinya diliputi kecemasan.

Tuhan, jaga dia untuk kami.

***

Ruang IGD di rumah sakit itu dijaga ketat oleh pihak kepolisian. Alfi kini sudah sampai dan berbicara pada salah satu polisi. Sementara Nayya disuruh menunggu. Di sana juga sudah ada orang tua asuh Akbar yang nampaknya telah mereka hubungi terlebih dahulu. Nayya menyalami mereka dan duduk bersama mereka.

"Kami menemukannya di dalam toilet, sepertinya ia sengaja meminum racun," papar polisi tersebut.

"Racun? Bagaimana mungkin! Bagaimana dia bisa mendapat racun?" Alfi sedikit membentak. Ia marah atas kelalaian para petugas.

"Tolong tenang dulu, Pak. Kami juga sedang menyelediki ini. Dugaan sementara kami, ia mendapat barang itu dari tahanan lain yang melakukan penyelundupan."

"Tenang?" Alfi mendengkus. Bagaimana ia bisa tenang jika anaknya hampir mati atau bahkan mungkin tak terselamatkan. "Apa saja yang kalian lakukan! Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi di dalam penjara?"

"Kami memohon maaf atas kelalaian kami," ujar polisi tersebut penuh hormat. Alfi menjambak rambut frustrasi.

Nayya mendengarkan semua itu dalam diam. Rupanya, Akbar benar-benar ingin mengakhiri segalanya. Hal itu membuat hatinya terasa sakit. Terlebih melihat orang tua Akbar yang nampak begitu terluka.

Dalam hatinya yang terdalam, ia sangat menginginkan Akbar menjadi sosok kakak untuknya.

Ia mengerti sekarang. Mungkin, perasaan yang selama ini ia rasakan padanya bukan cinta. Melainkan karena mereka memiliki ikatan darah yang sama. Sebab, setelah apa yang dilakukan Akbar padanya, Nayya tidak bisa membencinya. Malah, ia sangat ingin merangkulnya, memberitahunya jika ada seseorang yang sangat membutuhkan kehadirannya.

Pintu ruang IGD terbuka. Alfi dan beberapa petugas kepolisian langsung menghampiri dokter. Nayya dan orang tua asuh Akbar pun ikut mendekat untuk tahu keadaan Akbar.

"Saya keluarganya, Dok," ucap Alfi dan ayah asuh Akbar begitu melihat dokter seperti mencari siapa yang bisa dia ajak bicara. Mereka saling tatap sejenak. "Kami keluarganya. Bagaimana keadaannya?" tukas Alfi.

"Bersyukurlah, dia masih terselamatkan," ucapan dokter membuat semua yang ada di sana mengucap syukur dan menghela napas lega.

"Beruntung ia cepat dibawa ke rumah sakit, jika terlambat sedikit saja, saya tidak yakin ia bisa selamat. Racun yang ia minum sangat membahayakan tubuhnya, dan hal itu bisa mematikan seluruh fungsi organ tubuhnya. Tapi kami sudah berhasil mengeluarkannya.

"Sekarang dia belum siuman, ada kemungkinan ia tidak bisa menggunakan beberapa fungsi bagian tubuhnya dengan baik, sebagai dampak dari racun yang sempat masuk ke dalam tubuhnya. Karena itu, kami masih harus tetap memantau keadaannya hingga stabil," pungkas dokter tersebut.

Alfi dan semua petugas kepolisian berterima kasih, lalu dokter pun pamit undur diri. Nayya menggenggam tangan ayahnya. Alfi pun menoleh dan tersenyum padanya, mengusap kepala anak gadisnya lalu mengecup keningnya.

Dari sana, Nayya bisa melihat ketakutan yang besar di wajah papanya. Ia tahu, Alfi pasti tidak mau lagi kehilangan seseorang karena dirinya. Terlebih, Akbar adalah darah dagingnya. Nayya tersenyum menyadari jika papanya memiliki kasih sayang yang sama untuk Akbar.

Kini Akbar dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dan ada polisi yang tetap berjaga di depan ruangannya.

Setelah kedatangan Afanin, mereka mengobrol dengan orang tua asuh Akbar. Sementara Nayya memilih memisahkan diri; tidak ingin ikut terlibat. Ia menatap Akbar yang tertidur di dalam ruangan lewat kaca pintu. Sendu.

Kak ... mengapa harus sampai seperti ini? Lebih memilih menghancurkan semuanya dari pada memperbaiki segalanya. Sebegitu putus asanyakah dirimu?

Terdengar suara langkah kaki yang cepat. Nayya menoleh; mendapati Adel yang tengah berlari ke arahnya. Adel berhenti dan mengatur napas begitu sampai.

"Nay ...," ucapnya tersenggal-senggal. Menatap Nayya.

Nayya tersenyum. "Dia sedang istirahat," ucapnya.

***

"Aku sudah dengar semuanya dari Arkan," Nayya berujar. Kini mereka tengah duduk di bangku taman rumah sakit.

Adela menunduk. "Gue minta maaf ...."

Nayya tersenyum. "Semuanya sudah berlalu."

"Gue juga minta maaf atas nama Akbar. Dia gak sejahat yang kalian pikir ...."

"Aku tahu. Aku juga sudah memaafkannya," ujar Nayya menerawang jauh.

"Gue udah berusaha hentiin dia. Tapi, dia sudah memutuskan sendiri apa yang ingin dia lakukan. Dia bilang, dia ingin menghukum dirinya sendiri. Tolong jangan benci dia ...."

Nayya teringat semua kata-kata yang Akbar lontarkan saat Akbar menyekapnya. Semua ungkapan betapa menderitanya ia selama ini. "Aku memahami perasaannya ...," ujarnya. "Aku tidak membencinya. Justru aku ingin dia memaafkan kami. Kami adalah alasan mengapa ia menjadi seperti sekarang ... bahkan, ia berniat mengakhiri hidupnya," sesal Nayya.

"Yang membuat dia sangat membenci kalian adalah Om Ardi, dia yang memberitahu Akbar semua hal tentang yang bokap lo lakuin dulu. Dia selalu menghasutnya, mengatakan kalo bokap lo gak pernah benar-benar nyari dia, sengaja membiarkan ibunya meninggal."

"Om Ardi? Siapa dia?"

"Orang yang membawa Akbar dari Bogor. Dia adalah teman dekat ibunya dulu. Dia melakukan itu karena ia memendam kebencian sama bokap lo karena telah menghancurkan hidup wanita yang dia cintai. Berawal dari sana, dia menawarkan Akbar menggunakan identitas sahabatnya yang meninggal. Dan seperti inilah semuanya berakhir," Adel tersenyum kecut.

"Tapi ... dia bahkan ketemu Papa, Papa juga memberitahunya tentang bagaimana ia berusaha mati-matian untuk menemukannya."

Adela mengangguk. "Ya, Akbar tahu. Dia sudah tahu kalau bokap lo gak sejahat yang dikatakan Om Ardi. Om Ardi pun mengakui semuanya. Ia juga merasa menyesal setelah melihat bagaimana Akbar sekarang, karena itu ia pun berusaha menghentikannya. Namun percuma, Akbar sudah memutuskan segalanya sendiri. Menghancurkan hidupnya sendiri." Adela mulai terisak.

Nayya merasa iba melihat Adela, juga sedih membayangkan bagaimana Akbar tersiksa oleh perasaannya sendiri. Ia pasti ingin memperbaiki segalanya. Tapi, ia memilih menghancurkan daripada memperbaiki. Karena menghancurkan lebih mudah dari pada memperbaiki.

"Ibu gue baru meninggal," ujar Adela lagi masih terisak pelan. "Gue cerita sama Akbar kalo gue bahagia. Gue bahagia ibu gue meninggal, karena dengan begitu penderitaan ibu gue berakhir. Dia gak perlu ngerasain sakit jiwa dan raganya lagi ...," papar Adela.

"Gue penyebab Akbar ngebahayain nyawanya sendiri," Adela semakin terisak. "Ini salah gue, Nay ...."

Nayya terpana, ia mengerti sekarang, ia paham apa yang dikatakan Adel. Nayya merangkul Adel. "Aku turut berduka cita. Tapi, ini bukan salah Kakak," ucapnya. "Kakak sendiri yang bilang, ia yang memutuskan sendiri tentang hidupnya."

"Tapi gara-gara gue, Nay ... andai gue gak ngomong kayak gitu, mungkin Akbar gak bakal nyoba bunuh diri." Adela masih terisak.

"Kak, ini bukan salah Kak Adel. Lagi pula, Kak Akbar berhasil diselamatkan. Kita doakan supaya dia baik-baik saja. Jangan nyalahin diri sendiri lagi ya, Kak. Kakak pasti orang yang sangat berarti buat Kak Akbar." Nayya berusaha menenangkan Adel.

Tangisan Adel mulai reda. "Maafin gue ya, Nay ...."

Nayya tersenyum. "Kakak tahu gak? Dulu aku sempat mengira Kakak suka sama Arkan loh," celetuk Nayya berusaha mencairkan suasana.

Adel menghapus air matanya. "Iyakah? Akting gue berhasil dong?" sahutnya tak kalah ceria.

Nayya mengangguk. "Kayaknya sih gitu, tapi si Arkan-nya lempeng-lempeng aja," Nayya cekikikan.

Adel merenggut. "Iya ih. Nyebelin banget deh tuh orang. Serem kalo deket-deket dia. Kalo bukan disuruh Akbar, gak mau deh gue deketin si Arkan. Dia sih baiknya sama lo doang."

Nayya terkekeh. "Jadi, rencananya Kakak deketin Arkan biar aku bisa deket sama Kak Akbar ya?"

Adela nyengir. Itu memang salah satu rencana Akbar untuk membuat Nayya jatuh cinta padanya. "Maafin ya ...," cicit Adel. Lalu mereka terkekeh.

"Gue lihat lo sekarang kayaknya ada yang bedaa gitu," ujar Adel kemudian.

"Beda gimana?" tanya Nayya penasaran.

"Ya beda, lebih kalem. Lebih dewasa gitu kelihatannya," cengir Adel.

Nayya hanya tersenyum. Mungkin benar, ia juga merasa ada yang berbeda pada dirinya. Baginya ini adalah titik awal perubahannya. Ia ingin menjadi perempuan yang sesungguhnya. Pengalaman buruk kemarin telah mengajarkannya banyak hal. Dan ia akan menjadikannya sebagai batu loncatan untuk dirinya yang lebih baik di masa depan.

***

Akbar merasa seperti berada di suatu tempat asing. Pemandangannya begitu indah. Dan ia merasa ada kehangatan yang menggenggam tangannya. Ia melihat tangan kanannya yang ternyata digenggam oleh seseorang. Ia mengangkat wajah dan mendapati wajah Alfi yang tersenyum sendu padanya. Akbar nampak keheranan.

"Ayo pulang," ujar Alfi.

Akbar mengerutkan kening. "Pulang? Ke mana? Aku tidak punya tempat pulang."

Alfi lalu menolehkan pandangan ke arah lain. Akbar mengikuti arah pandangnya. Ternyata di sana tidak hanya mereka berdua. Namun di sana juga ada orang tuanya, Adela, bahkan Nayya dan Afanin. Semuanya tersenyum padanya.

"Mereka semua menunggumu," ujar Alfi lagi.

Akbar terdiam. Menatap orang-orang di hadapannya yang tersenyum dan memanggil namanya. Mengajaknya untuk pulang.

Afi sudah melangkah namun Akbar masih berdiri di tempat yang sama. Langkahnya terasa berat. Lalu ia mendengar suara lembut memanggilnya. Ia menoleh. "Ibu ...?"

Wanita cantik dengan rambut sebahu itu tersenyum. Akbar berlari menghampirinya. Begitu mudah. Lalu ia memeluk erat perempuan yang selama ini begitu ia rindukan kehadirannya. "Adam kangen, Bu ...."

Wanita itu mengusap lembut kepala Akbar. "Kamu sudah besar, ya ...," ucapnya.

Akbar mengangguk pelan. Matanya masih berair. "Ibu jangan pergi lagi ya?" pinta Akbar.

Wanita itu hanya tersenyum. "Ibu tidak pergi ke mana pun, Ibu selalu ada si sini," ia menyentuh dada Akbar. "Di hatimu."

"Pulanglah Nak, Ibu sudah bahagia di sini."

"Tapi, Bu ...."

"Akbar!" Itu suara Alfi. Akbar menoleh. Mendapati semua orang masih menunggunya. Dan saat ia kembali menoleh ke depan, ibunya tidak berada lagi di sana. Ia kehilangan.

"Bu ...."

"Ibu ...!"

"Akbar, ayo ...." Alfi kembali mengulurkan tangan lalu meraih tangan Akbar dan menuntunnya. Akbar mengikuti tanpa menolak lagi.

Perlahan, Akbar membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah Alfi yang tertunduk.

"Aku memang berengsek ...," ucap Alfi lebih seperti pada dirinya sendiri. Akbar lalu kembali menutup mata. Berpura-pura belum sadar. Membiarkan tangan kekar pria paruh baya itu menggenggam tangannya. Hangat.

"Maafkan Papa, Nak ... maaf ...." Alfi terisak. Begitu menyayat hati. Namun Akbar masih tak berniat membuka matanya.

Alfi mengusap kepala Akbar. "Hiduplah dengan baik ..., ibumu susah payah membesarkanmu, menjagamu, meski tidak sampai kamu dewasa. Ibumu pasti menginginkan kamu bahagia."

Akbar kembali mengingat mimpinya barusan. Ibu ... Apa ibu marah padaku?

Pintu ruangan terbuka, dokter datang bersama perawat. Alfi sedikit menyingkir, memberikan keleluasaan pada dokter untuk memeriksa kondisi Akbar. Sang dokter tersenyum, tahu jika Akbar sudah siuman tapi pura-pura tidur.

Dokter berdeham. Lalu Akbar membuka mata. Alfi nampak terkejut melihat Akbar siuman. Namun ia bersyukur dalam hati. Dokter kembali memeriksa kondisi Akbar. "Bagaimana perasaanmu? Apa terasa ada yang janggal?"

Akbar diam. Dan Alfi memperhatikannya.

"Coba angkat tanganmu," perintah dokter, Akbar pun menurut dan ia bisa melakukannya. "Sekarang, coba kakimu."

Akbar berusaha menggerakkan kakinya namun rasanya begitu berat. Akbar menggeleng. Dokter itu pun mengangguk paham. "Baik, Anda bisa berbicara, kan?" tanya dokter lagi.

"Iya," jawab Akbar.

"Apa yang terjadi, Dok?" tanya Alfi cemas.

"Tidak papa, kakinya hanya mengalami kelumpuhan sementara. Nanti bisa dilancarkan dengan melakukan fisioterapi," jelas dokter. "Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."

"Terima kasih, Dok."

Dokter mengangguk. "Kalau begitu, saya permisi." Lalu meninggalkan Alfi berdua dengan Akbar.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Alfi yang tentu tanpa mendapat jawaban.

Lalu, pintu ruangan terbuka. Orang tua Akbar masuk diikuti Adela, Afanin, dan Nayya. Sepertinya dokter memberitahu mereka jika Akbar sudah sadar, dan mengizinkan mereka semua masuk. Mereka nampak bahagia melihat Akbar yang sudah siuman. Tersenyum haru, mamanya memeluknya, mengecupnya. Semua kekhawatiran yang kini berganti perasaan lega, Akbar melihat semua itu. Ia tertegun. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Dan saat ia melihat Nayya, ada sesuatu yang terasa menggores hatinya. Ia memalingkan wajah dari Nayya.

"Akbar, kamu lihat. Banyak orang yang peduli padamu. Kenapa kamu malah mencelakai dirimu sendiri ...?" Alfi berbicara.

Akbar menutup mata. "Aku ingin istirahat, bisakah kalian semua keluar?" ujarnya parau.

Mereka semua terdiam. Namun mengerti, Akbar baru siuman dan ia butuh ketenangan. Karena itu, mereka semua keluar.

Akbar membuka matanya, mendapati Alfi masih berada dalam ruangan. "Kenapa kau masih di sini?"

"Aku akan tetap di sini, barangkali kamu membutuhkan sesuatu," ujar Alfi. Ia segera memotong Akbar yang akan angkat bicara. "Tidurlah, aku tidak akan mengganggumu."

Akbar tak lagi menghiraukannya. Ia terlalu pusing untuk berdebat. Jadi, ia membiarkannya. Untuk beberapa saat, ruangan lenggang, tak ada percakapan ataupun aktivitas. Hanya kebisuan yang menyelimuti ruangan itu. Dan pikiran Akbar yang terganggu sejak ia melihat orang-orang yang nampak peduli padanya.

"Akbar ...," Alfi berucap. "Atau haruskah aku memanggilmu Adam?"

Tak ada respons. Dan Alfi tak peduli, karena tahu anak itu mendengarnya.

"Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku minta maaf atas semua kesalahanku. Tidak bisakah kau memaafkanku, melupakan kejadian yang telah lalu, dan memperbaiki hubungan kita? Sungguh, aku ingin menebus kesalahanku."

"Adam ...."

"Pergi." Hanya satu kata yang keluar dari mulut laki-laki itu.

Alfi menghela napas. "Apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkan semua kesalahanku?"

Akbar membuka mata, menatap Alfi lurus. "Aku sudah katakan, semuanya sudah selesai. Aku tidak punya lagi urusan denganmu. Kau tidak perlu repot-repot berada di sini."

"Kamu adalah anakku, Adam. Bagaimana mungkin aku tidak memedulikanmu?"

"Bukankah sejak dulu itu yang kau lakukan?"

"Adam ...."

"Kenapa kalian menyelamatkanku?"

Alfi terdiam. Memandang anak laki-lakinya lamat-lamat. "Karena kami menyayangimu. Kami peduli padamu. Apa kamu tidak melihat? Kami semua di sini untukmu."

"Kenapa ...?" Akbar hampir berbisik.

"Karena kamu bagian dari kami."

Akbar terdiam. Lalu pintu ruangan terbuka. Akbar nampak terkejut melihat Nayya yang kembali masuk. Namun dengan cepatnya ia mengubah ekspresi dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

"Kak ...," sapa Nayya. "Aku di sini," ujarnya lagi karena Akbar enggan menatapnya. "Bagaimana keadaan Kakak? Sudah baikan?"

"Untuk apa kamu ke sini?"

"Menjenguk Kakakku," ujar Nayya tanpa ragu.

Akbar tertegun. Namun ia masih mengalihkan pandangannya.

"Kak, masih ingat sama Lisa? Anak panti yang suka Kakak gendong itu, katanya dia rindu sama Kakak." Nayya bercerita tentang anak-anak di yayasan yang sempat bermain dengan Akbar waktu itu. Namun Akbar masih diam.

"Kak ...." Nayya memanggil Akbar. "Emang Nayya sejelek itu ya? Sampe gak mau lihat wajah Nayya?"

Akbar memejamkan mata, mengepal kuat. Ia tidak mengerti apa maksud Nayya melakukan semua ini.

"Kak ... maafin Nayya ya," ucap Nayya lirih. Sedikit bergetar.

Akbar akhirnya menoleh. Mendapati Nayya tersenyum tulus dengan wajah sendu. "Nayya seneng Kakak baik-baik aja," ucap Nayya parau. "Kak Akbar tahu gak, Nayya takut banget pas denger Kakak nyoba bunuh diri. Nayya takut, kehilangan satu-satunya saudara yang Nayya punya." Nayya hampir menangis, namun ia menahannya.

"Kenapa Kakak sebodoh itu sih? Emang mati bakal nyelesein semuanya? Enggak, tahu!" Nayya mulai mengomel. "Mati gak bakal nuntasin apa-apa! Mati hanya awal dari kehidupan baru. Kehidupan akhirat yang kekal. Emang Kakak udah punya bekal buat hidup di sana? Sok-sokan banget mau mati cepet-cepet! Kakak nggak mikirin orang-orang yang bakal sedih karena kakak tinggalin? Dasar jahat!" Nayya terisak.

Akbar tercenung. Melihat Nayya menangis dan mengomelinya seperti itu, ia benar-benar kehilangan kata-kata. Lalu Adela juga masuk, menatapnya sendu.

"Nayya bener. Lo emang jahat, Bar! Kalo lo mau berakhir kayak gini, buat apa dulu lo nyelametin hidup gue? Buat apa? Kenapa waktu itu nggak lo biarin gue mati aja?" Adela menatap Akbar nanar. "Gue sayang sama lo Bar, kita semua sayang sama lo ...."

Lalu orang tua asuh Akbar pun kembali masuk diikuti Afanin di belakang yang langsung menghampiri Alfi. Melihat orang tua yang mengurusnya selama ini, dada Akbar tiba-tiba terasa sesak.

Sang mama menghampirinya, mengusap kepalanya lalu mengecup keningnya penuh kasih sayang. "Mama kangen banget sama kamu, Sayang ...," ucap mamanya parau menahan tangis.

Pertahanan Akbar runtuh, air mata mengalir di pipinya. Sang mama memeluknya. Ikut terisak. "Akbar juga, Ma ... maafin Akbar ...," Akbar berkata lirih dalam isak tangisnya. Berulang kali.

Nayya tersenyum haru dan sedih, ia pun memeluk orang tuanya. Mereka menangis dalam berbagai perasaan, dengan penuh harap. Harapan jika semuanya akan menjadi lebih baik. Karena kita sama-sama memiliki cinta. Bukankah cinta selalu memberi ruang maaf yang luas bagi segala kesalahan. Asal ada keinginan untuk memperbaikinya.

TBC.

Yaa masih TBC aja 😅😂 wkwkwk tenang, satu bab lagi Insyaa Allah 😆 semua kan indah pada waktunya wkwkwk.

Terima kasih sudah membaca!
Semoga gak bosen, dan makasih banget yang udah setia nunggu 😘😘

Salam sayang ❤

Tinny Najmi.

Subang, 10 Juli 2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro