Bab 34 - Regret
P.s.
Masih ingat prolog kan? Jadi bab ini ceritanya setelah prolog ya. :)
Happy reading!
=========================
34
Regret
"Ketika penyesalan hadir, maka seluruh pengandaian pun ikut berdatangan. Pengandaian jika dulu ia melakukan hal yang berbeda."
***
Alfi membereskan semua pekerjaannya tepat pukul delapan malam. Karena ia telah berjanji dengan Rudi. Sebelumnya, Rudi bilang kalau ia sudah berhasil mencari tahu semuanya dan mengumpulkan semua bukti.
Pintu ruang Alfi diketuk tiga kali. "Masuk," sahut Alfi.
Pintu terbuka, menampilkan sosok pria yang selalu berpakaian serba hitam. "Malam, Pak," sapa Rudi.
Alfi hanya mengangguk, lalu mempersilakannya duduk. "Jadi, bagaimana?" tanyanya sambil berjalan menuju sofa. Lalau duduk di hadapan Rudi.
"Ternyata dugaan saya selama ini benar, Pak," ucap Rudi mengawali pembicaraan sambil mengeluarkan semua berkas-berkas yang ia bawa.
Alfi memerhatikan dengan seksama. "Maksudmu?"
"Tentang anak laki-laki itu," ucap Rudi menggantung.
"Akbar?" tanya Alfi dan dijawab anggukan dari Rudi.
"Ternyata dia...ㅡ"
"Sebentar," potong Alfi. Ia mengambil ponselnya yang berdering tanda panggilan masuk. Lantas tersenyum melihat nama yang tertera di layarnya.
"Assalamu'alaikum, istriku...," sapa Alfi.
"Wa'alaikumussalam...," jawab Afanin dari seberang. "Mas, kapan pulang?"
"Aku sudah selesai, tapi aku sedang ada urusan dengan Rudi."
"Bisa pulang sekarang tidak?"
"Kenapa? Tumben ... kangen ya?" tanya Alfi melirik Rudi jenaka.
Mendengar itu, Rudi tersenyum kikuk. Ia tahu bos-nya itu pasti sengaja.
"Emm itu ... Nayya, Mas...." Afanin terdengar ragu.
"Kenapa sama Nayya?"
"Dia belum pulang...," ucap Afanin lirih. Lalu mendesah.
"Apa?" Kening Alfi berkerut dalam. "Ini kan sudah malam. Kamu sudah hubungi dia?"
"Sudah, tapi tidak aktif. Aku juga sudah hubungi Akbar. Dia bilang mereka batal pergi. Katanya dia juga tidak bisa menghubungi Nayya. Perasaanku tidak enak, Mas...."
Lipatan di kening Alfi bertambah. "Lalu dia kemana? Coba kamu tanya Arkan, mungkin dia tahu. Atau teman-temannya. Siapa pun. Kamu tenang, aku pulang sekarang."
Sambungan pun terputus setelah mereka saling mengucap salam. Alfi memijat pelipis. Meskipun Nayya suka membantah, melanggar perintahnya, tapi dia tidak pernah ingkar janji. Dan tidak biasanya ponsel Nayya tidak aktif, apalagi tanpa memberi kabar.
"Ada apa?" tanya Rudi yang sejak tadi menyimak pembicaraan Tuannya.
"Anakku belum pulang, tidak ada kabar, ponselnya juga tidak aktif. Aku harus pulang sekarang."
"Lalu, bagaimana dengan ini?"
"Kita bicarakan nanti. Kau pulanglah," titah Alfi yang disambut anggukan dari pria suruhannya itu.
Alfi bergegas bangkit untuk pulang, dan Rudi mengekorinya.
"Memangnya anak Bapak pergi ke mana?" tanya Rudi begitu mereka keluar dari lift.
"Sebelumnya dia bilang mau pergi ke pameran seni bersama Akbar, dia janji akan pulang sebelum magrib. Karena memang aku tidak pernah mengizinkannya keluyuran malam hari. Tapi sekarang dia belum pulang. Kata Akbar, mereka tidak jadi pergi. Dan Nayya, dia entah ke mana."
Rudi menghentikan langkah sejenak, nampak berpikir hingga membuatnya tertinggal langkah lebar Alfi. Seolah tersadar, ia cepat-cepat mengejar Alfi. "Tunggu, Pak!" cegah Rudi. "Sebentar...."
"Kenapa? Aku harus segera pulang," tukas Alfi.
"Sebentar, anak Bapak pergi bersama Akbar?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Sepertinya Bapak harus tahu tentang satu hal ini."
"Tentang apa?" Alfi semakin heran dibuatnya.
"Soal anak laki-laki itu ..., Akbar. Saya sudah mencari tahu semuanya, dan dugaan saya selama ini benar. Kalau dia adalah Adam."
Alfi tercenung. Keningnya berkerut dalam. "Kamu jangan membuatku semakin pusing. Bagaimana mungkin Adam jadi Akbar? Adam sudah meninggal, kalau kamu lupa."
Rudi menghela napas. "Karena itulah. Saya datang untuk menjelaskan semuanya."
Alfi menghela napas berat. "Baiklah, kamu ikut saya pulang. Jelaskan semuanya di rumah," ujar Alfi yang langsung menuju mobilnya diparkir, diikuti oleh Rudi.
Sementara itu, setelah mendapat telepon dari Afanin, Arkan langsung mencari Nayya tanpa pikir panjang. Ia juga sudah mencoba menghubunginya. Namun, seperti yang Afanin katakan, nomor Nayya tidak aktif. Ia juga mencoba menghubungi Akbar, meskipun Afanin sudah memberitahunya kalau Akbar bilang mereka tidak jadi pergi. Tapi sekarang, nomor Akbar pun tidak bisa dihubungi.
Arkan mencari ke semua tempat yang ia tahuㅡyang kemungkinan didatangi Nayya. Namun nihil, ia tak menemukan apa-apa. Arkan diam sejenak untuk menenangkan diri. Meyakinkan diri kalau Nayya baik-baik saja. Dia bukan perempuan lemah. Dia bisa menjaga dirinya. Ia lalu teringat Safira, berpikir jika mungkin Nayya sedang di rumahnya.
Setelah deringan kedua, panggilannya terjawab. "Assalamu'alaikum, Saf. Kamu lagi sama Nayya nggak?"
"Wa'alaikumussalam. Enggak, Ar. Emangnya kenapa? Dia belum pulang?"
"Iya. Dan nomornya tidak bisa dihubungi. Aku kira dia sama kamu."
"Loh? Coba kamu tanya Kak Akbar. Dia kan pergi sama Kak Akbar."
"Katanya mereka nggak jadi pergi. Nomor Kak Akbar juga nggak aktif."
"Nggak jadi? Tapi pulang sekolah Nayya langsung pergi, kok." Arkan teringat ketika dia melihat Nayya naik taksi. Benar. Dia pergi. Lalu kenapa Akbar bilang tidak jadi?
"Kalo nggak jadi pergi, dia ke mana? Dia kan pergi sendirian. Aku rasa sebandelnya Nayya, nggak mungkin dia kelayapan sendiri apalagi sampai malam begini."
Benar. Dia sangat kenal perempuan satu itu. Lalu dia pergi ke mana? Arkan mengerang frustrasi. "Ya udah Saf, makasih ya."
"Oke. Aku juga coba tanya sama yang lain. Barangkali ada yang tahu. Nanti aku kabarin kalau ada info."
Arkan berterima kasih lalu memutus sambungan. Ia menghela napas. Berpikir ke mana perginya Nayya. Sejenak ia merenung, memikirkan sikapnya yang akhir-akhir ini kembali menciptakan jarak. Bahkan dengan sengaja, ia membuat jarak semakin lebar. Coba saja, dirinya tidak terlalu mengabaikannya.
Arkan mengusap wajah hingga ke rambutnya. Kemudian ia teringat Kei, mungkin dia sedang bersamanya. "Halo, Kei?"
"Ya? Tumben lo nelpon gue, ada apaan?" Kei terdengar keheranan.
"Nayya sama lo, nggak?"
"Nayya? Nggak, kenapa emang?"
"Oh, nggak. Ya udah."
"Eh kenapa kampret! Jangan tutup dulu. Emang Nayya ke mana?"
Arkan menghela napas. "Pergi, gak tahu ke mana. Dan sekarang belum pulang."
"What? Kok bisa?"
Arkan melihat ada notif panggilaan masuk. "Udah dulu, ada panggilan masuk," tukas Arkan lalu memutuskan sambungan dengan Kei begitu saja. Kemudian menjawab panggilan lain yang masuk.
"Assalamu'alaikum, Bi. Apa? Pulang? Nayya sudah pulang?"ㅡkening Arkan berkerut heranㅡ"Terus kenapa Abi nyuruh Arkan pulang? Nayya belum ketemu, Bi. Tapi....ㅡ" Arkan menghela napas. "Iya, paham. Wa'alaikumussalam."
Arkan semakin frustrasi. Tiba-tiba saja Abinya menyuruh ia pulang. Padahal Nayya belum ada kabar sama sekali. Tapi dia menurut. Dan seperti titah orang tuanya, ia langsung menuju rumah Nayya. Di sana orang tuanya berkumpul bersama orang tua Nayya. Dan ada satu orang laki-laki yang tidak ia kenali.
"Assalamu'alaikum...." Semua menoleh pada Arkan yang baru masuk. Setelah menjawab salamnya, semua kembali pada aktifitasnya masing-masing.
"Jadi menurutmu, kemungkinan Nayya bersama Akbar, begitu?" tanya Alfi pada Rudi. Wajahnya nampak begitu kusut. Arkan bisa melihat banyak berkas dan foto-foto di atas meja.
Rudi mengangguk. "Semuanya sudah jelas, bukan? Nomor keduanya sekarang tidak bisa dihubungi. Saya rasa, dia mendekati anak Bapak karena motif tertentu. Tidak menutup kemungkinan kalau dia menyimpan dendam. Setelah semua yang telah dia alami."
"Ya Tuhan ...," Alfi mengusap wajahnya. "Nayya ...."
Sementara Arkan yang tidak tahu apa-apa hanya bisa diam. Saat ia hendak angkat bicara, Arham menahannya. "Ikut Abi," ucapnya meninggalkan ruang tamu diikuti Arkan.
Mereka kini berada di teras, Arkan langsung memberondong abinya dengan berbagai pertanyaan. "Apa maksudnya Nayya bersama Akbar? Dan motif? Motif apa? Balas dendam? Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Arham menghela napas panjang lalu duduk di kursi rotan yang tersedia di teras. "Rumit," ucapnya.
"Bi ... tolong jelaskan semuanya."
"Akbar, ternyata dia adalah anak Alfi."
Arkan diam. Keningnya semakin berlipat. "Maksud Abi?"
"Alfi memiliki anak dari wanita lain," jelas Arhan.
"Apa?"
"Abi juga tidak menyangka sama sekali. Kamu sendiri tahu kebiasaannya dulu," ucap Arham lalu ia kembali menjelaskan inti dari apa yang baru saja ia dengar dari Afanin. Tentang anak lali-laki Alfi yang bernama Adam. Anak dari salah satu wanita yang pernah ia tiduri.
"Apa Nayya tidak pernah bercerita padamu?" Arham bertanya setelah ia menceritakan semua detailnya. Karena sejak tadi, Arkan hanya diam.
Arkan menggeleng tanpa suara. Pandangannya nampak kosong. Ia terlalu terkejut dengan semua fakta itu.
Inikah yang kamu sembunyikan dariku, Nay? Kenapa? Kenapa kamu tidak bercerita padaku? Apa aku sudah tak sebegitu penting untuk tahu masalahmu? Bagaimana kamu bisa menghadapi semua ini sendirian?
Arkan memejamkan mata untuk menangkan hati dan pikirannya. "Lalu? Bagaimana Akbar bisa menjadi anak Om Alfi? Kalau Akbar adalah Adam, lalu siapa yang meninggal saat kebakaran?"
"Tidak ada yang tahu seperti apa kejadiannya waktu itu kecuali Akbar yang tahu segalanya. Untuk memastikannya, kita harus melakukan otopsi. Kami menduga kalau yang meninggal bukan Adam, melainkan Akbar."
Arkan menggeleng. "Gila. Ini benar-benar gila." Ia lalu kembali memasuki rumah tanpa menghiraukan panggilan abinya. Ia langsung menuju meja, melihat semua berkas-berkas yang adalah barang bukti bahwa Akbar adalah Adam.
"Hey!" Rudi berseru karena Arkan mengambil berkasnya begitu saja.
Arham juga mencoba menghentikan anak laki-lakinya, namun Alfi membiarkannya. Membiarkan Arkan melihat semua barang bukti.
"Om, apa maksudnya semua ini?" tanya Arkan pada Alfi.
"Itu adalah Adam dan Akbar," ucap Alfi saat Arkan menatap dua pas foto berukuran 3x4. Lalu ia menyerahkan data yang didapat Rudi dari sekolah dasar tempat dulu mereka menimba ilmu. Di sana jelas tertera foto dan data riwayat hidup kedua anak laki-laki tersebut.
"Dan ini, adalah foto Akbar saat di panti." Alfi kembali menyodorkan selembar foto. Arkan menatapnya dengan seksama. Membandingkan foto tersebut dengan foto yang ada pada data riwayat hidup. Kemudian matanya terbelalak. "Dia ... Adam?" ucap Arkan begitu menyadari jika foto Akbar di panti, adalah orang yang sama dengan foto yang ada di biodata bernama Adam.
"Benar, setelah kebakaran itu, ia menjalani hidup dengan menggunakan identitas Akbar. Atas bantuan seseorang," jelas Rudi.
Arkan merasa pening. Ia tak pernah mengira sama sekali. "Apa Nayya tahu?" tanyanya kemudian.
Alfi menggeleng. "Aku juga baru mengetahui kebenarannya sekarang. Akbar ... anak itu...." Alfi memejamkan mata. Mengingat setiap pertemuannya dengan anak laki-laki itu. Semuanya menjadi masuk akal sekarang.
Arkan menatap Alfi prihatin. Ayah sahabatnya itu pasti sangat terpukul. Dan Nayya ... entah bagaimana kabarnya dia sekarang. Perihal Nayya yang tidak bercerita apa pun pada dirinya, Arkan mencoba mengesampingkan hal itu. Prioritasnya sekarang adalah keadaan sahabatnya yang masih belum ia ketahui. Arkan lalu bangkit dan berjalan keluar rumah.
"Kamu mau ke mana?" tanya Arham.
"Mencari Akbar," ujar Arkan kemudian berlalu.
Alfi membiarkannya. Karena satu-satunya cara mencari Nayya sekarang adalah dengan menemukan Akbar. "Rudi, apa tidak ada kabar dari temanmu?" tanya Alfi.
Rudi menggeleng membuat Alfi semakin mendesah panjang. Ia berpikir apa yang sebenarnya anak itu inginkan? Apa motif dibalik semua kebaikannya selama ini? Mendekati Nayya dan mengaku menyukai Nayya. Alfi memejamkan mata.
"Kalau Om adalah ayahnya, kenapa Om tidak mencarinya?"
Ia teringat percakapannya dengan Akbar tempo hari. Ketika ia meminta Akbar menceritakan kehidupan tentang anaknya. Alfi tertawa kecut. Berarti saat itu dia menceritakan dirinya sendiri?
"Aku tidak membutuhkan orang tua yang telah membuangku."
"Mereka pasti memiliki alasan."
"Alasan? Apa alasan bagi orang tua yang tega membuang anaknya sendiri? Aku tidak membutuhkan orang tua seperti itu."
Kenapa aku tidak menyadarinya...?
Semua kejanggalan dan perasaan aneh tiap kali bersamanya, kini terjawab. Ia tahu kalau dirinya adalah ayah kandungnya. Tapi kenapa? Kenapa dia berbohong? Kenapa dia harus menyembunyikan semua kebenaran dan menjadi orang lain?
"Mas...." Panggilan dan usapan lembut di punggung tangan menyadarkannya. Ia pun menoleh pada wanita yang sejak tadi hanya diam mendengarkan semuanya. Afanin memberi kode akan keberadaan Rudi juga Arham dan Adeeva yang masih berada di sana.
"Oh ya ampun. Maaf. Kalian pulanglah, kamu juga Rudi. Terima kasih banyak sudah membantuku."
Rudi mengangguk. "Saya dan teman saya akan tetap mencoba mencari tahu keberadaan anak Bapak, kami akan segera memberitahu jika sudah mendapat petunjuk."
"Kami juga Al, kami akan memberitahumu kalau Arkan berhasil menemukan Akbar. Bersabarlah. Semoga Nayya baik-baik saja," ucap Arham di aminkan semuanya.
"Nayya anak yang kuat," imbuh Adeeva tersenyum. "Dia pasti bisa jaga diri. Tetap berhusnudzon pada Allah."
Alfi dan Afanin berterima kasih dengan tulus. "Kalau besok dia masih belum kembali, kita lapor polisi," ucap Rudi.
Alfi hanya diam. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Lalu semuanya pun pamit pulang. Kini di ruangan yang lenggang itu tinggal mereka berdua. Dengan berbagai perasaan yang berbaur.
Alfi melijat jam, sudah pukul sepuluh malam. Anak gadisnya belum jiga kembali, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu. Ia sudah menyuruh orang untuk mencarinya dan Adam. Hati kecilnya berharap Nayya pulang dan bercerita kalau dia bermain sampai lupa waktu dan ponselnya low-bat. Tapi ia tahu itu tidak akan terjadi.
Alfi mengusap wajah dengan telapak tangan. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Dulu, di saat seperti ini, pelariannya adalah alkohol. Mabuk sepuasnya, lalu melampiaskan nafsu pada wanita yang bersedia tidur bersamanya. Hal itulah yang membuat hidupnya kacau, bahkan hingga saat ini pun masih meninggalkan akibat.
Akibat dari perbuatan kejinya dulu, telah melukai banyak pihak. Bahkan meninggalkan dendam. Menyesal, mungkin itulah perasaan yang paling mendominasi di diri Alfi saat ini. Ketika penyesalan hadir, maka seluruh pengandaian pun ikut berdatangan. Pengandaian jika dulu ia melakukan hal yang berbeda.
Larasati, maafkan aku.
Adam ... maukah kamu memaafkan pria bajingan ini?
Nayya ... maafkan papa sayang.
Alfi lalu merasakan sentuhan lembut di pundaknya. Ia menoleh, mendapati wanitanya tersenyum untuk menenangkannya meskipun ia tahu, wanita itu sama khawatirnya dengan dirinya. Dan dia, adalah orang yang paling sering ia sakiti hatinya. Alfi bergerak memeluknya, menyurukkan kepala ke bahu sang istri. Kemudian ia menangis. "Maaf ... maafkan aku ...," lirih Alfi di sela isakkannya. Bahunya bergetar hebat. Penyesalan yang begitu hebat kembali ia rasakan.
Mendengar tangisan pilu suaminya, Afanin tak kuasa menahan air matanya. Ia ikut merasakan kepedihan atas semua penyesalan dari prianya. Afanin mengusap punggung Alfi. Mencoba menyalurkan sedikit kekuatannya, karena ia tahu, suaminya sedang begitu rapuh saat ini.
"Kita sholat yuk, minta sama Allah buat jaga Nayya," ucap Afanin setelah tangis Alfi mereda.
Mendengar itu, Alfi mengangkat kepalanya. Menatap wanitanya penuh kekaguman luar biasa. Afanin mengusap sisa air mata di pipi Alfi. "Jangan bersedih," ucaonya tersenyum begitu manis. Alfi ikit tersenyum. Lantas ia usap pipi istrinya, ia kecup keningnya. Beriringan dengan do'a-do'a terbaik untuknya.
***
Nayya masih terpaku menatap sosok pria di hadapannya. Bingung dengan kondisi yang sedang ia hadapi. Ia melihat sekeliling, tidak ada apa-apa. Ruangan itu kosong, hanya ada beberapa barang tak berguna. Dirinya yang diikat di sebuah kursi, dan Akbar yang bersandar pada meja kayu.
Setelah ucapan Akbar barusan, Nayya merasa menggigil. "Kak ... kita sedang apa di sini? Kenapa aku diikat? Kita udah ada di pameran ya? Kakak lagi bermain peran?" Nayya mengatakan hal-hal konyol hanya untuk menepis semua pikiran buruknya. Bertindak seolah-olah tak ingin percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar.
Akbar tertawa meremehkan. "Jadi orang itu jangan bego-bego amat," tukasnya sambil memainkan pemantik.
Nayya menelan ludah susah payah. Pria di hadapannya benar-benar berbeda dari yang ia kenal. "Lalu, apa maksudnya ini...?"
Akbar tak menjawab, ia malah merogoh rokok dari saku jaket lalu menyulutnya. Menghisap rokok seperti menikmati permen loli.
"Aku baru tahu Kakak suka merokok," komentar Nayya yang sejak tadi tak melepas pandangan dari Akbar. Nampak berusaha mencari kebenaran entah pembenaran.
Akbar kembali tertawa sinis, lalu menatap Nayya. "Emang lo tahu apa soal gue? Lo bahkan gak tahu siapa gue."
Nayya terdiam. Tatapan mereka bertemu pada satu garis lurus. "Akbar Fahreza. 13 Juli 1999. Anak tunggal. Pemegang sabuk hitam taekwondo. Mantan ketua OSIS SMA N 101 Jakarta. Mahasiswa UI jurusan tehnik sipil semester dua."
Akbar tertawa sangat keras. "Ainayya ... ternyata lo benar-benar bodoh dan naif," Ia kembali mendekat ke arah Nayya. Berjongkok di depannya yang diikat di sebuah kursi dari kayu. "You belive me like a fool," ucapnya pelan penuh seringai licik. "All you know about me it's a lie ... a lie."
Nayya kehilangan kata-kata. "Termasuk perasaan Kakak padaku?" Suara Nayya kini bergetar. Namun Akbar malah tertawa. Nayya semakin bingung. Bingung apa yang terjadi dengan pria di hadapannya. Ia bukan Akbar. Iya, bukan. Akbar bukan orang seperti itu.
"Love? You believe that?" tanyanya tertawa mencemooh. "Tha'ts not a love, Ainayya."
Tatapan Nayya meredup. "Lalu apa? Apa maksud semua kebaikan dan perhatian Kakak selama ini? Dan kenapa ... kenapa aku di sini dengan keadaan seperti ini?" Nayya lalu teringat kalau sebelumnya ia dipukul dan dibius. Ia tahu, ia diculik. Dan sekarang, ia bersama Akbar. Apa itu artinya, Akbar dalang dibalik semua ini? Nayya menggeleng keras. Menepis pikirannya sendiri.
Akbar lagi-lagi tertawa. "Benar. Gue yang ngerancanain semuanya. Kenapa? Lo gak percaya? Masih percaya gue orang baik?" Ia mendengus. "Semua hal yang gue lakuin selama ini cuma buat lo jatuh ke perangkap gue. Dan ternyata, it's easy. Gue gak perlu repot-repot buat lo percaya sama gue. Lo udah jatuh dengan sendirinya."
Nayya memejamkan mata, mencoba menerima kenyataan dengan logika yang jernih untuk bisa mengerti semuanya. Memahami semua yang terjadi antara dirinya dan pria di hadapannya. Setelah ia merasa memahami semuanya, Nayya membuka mata dan menatap Akbar nanar. Tapi kenapa ...? Kenapa Kakak lakuin semua itu? Kenapa ... apa yang sebenarnya Kakak rencanakan?" Nayya benar-benar tak mengerti apa maksud dari tindakan Akbar ini.
Akbar tersenyum sinis. "Gue cuma mau lihat lo jatuh, lalu hancur. Dan keluarga lo akan merasakan kehancuran yang sama seperti apa yang gue rasain."
Nayya mengernyit bingung. "Kenapa? Kenapa aku? Apa salahku? Apa salah keluargaku?"
"Karena lo,"ㅡAkbar menunjuk dahi Nayya dengan telunjukㅡ"anak dia. Dan gue mau lihat dia hancur, melihat anak kesayangannya hancur."
Sekarang tubuh Nayya menegang. Ia bisa melihat amarah yang teramat sangat di mata pria itu. Dan ucapannya sama sekali bukan main-main. "Dia ... siapa yang Kakak maksud ...?"
Akbar bangkit dan membelakangi Nayya. "Bokap lo," ucapnya sedingin Rinjani. "Gue pengen dia ngerasain apa yang gue rasain."
"Tapi kenapa...? Apa salah Papa? Aku tidak mengerti kenapa Kakak melakukan semua ini."
Akbar tak langsung menjawab. Ia tersenyum sinis. "Kerena dia telah menghancurkan hidup ibu gue."
Nayya semakin tak mengerti. "Bagaimana bisa? Bahkan kalian baru saling mengenal ... Papa tidak mungkinㅡ"
"Larasati Ayu," tukas Akbar. Menghentikan ucapan Nayya. Lantas ia berbalik menghadap Nayya yang terpaku mendengar nama itu disebut. "She's my mother..."
Untuk beberapa detik, sepertinya Nayya lupa bagaimana caranya bernapas. Dadanya sekarang bergemuruh hebat. Jantungnya berdetak tak beraturan.
"Apa...?"
"Wanita yang udah bokap lo ancurin hidupnya, iru ibu gue, Ainayya."
Nayya menggeleng tak percaya. "Kakak bercanda ...," ucapnya dengan suara bergetar.
Akbar menatap Nayya, menegaskan jika ia sama sekali tidak bercanda. Lalu ia kembali berjongkok di depan Nayya. Mendekatkan wajahnya pada Nayya. "Lihat gue baik-baik," ucapnya. "Gue bukan Akbar, Akbar udah mati saat rumah gue kebakaran."
Nayya terbelalak. Lidahnya kelu untuk berkata.
"Gue benci mengatakan ini, tapi guelah anak itu. Anak malang yang terlahir tanpa ayah, dengan seorang ibu penyakitan. Adam Nasrulloh." Setelah mengucapkan itu, Akbar kembali menarik dirinya. Dan Nayya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Karena ia merasa sesak luar biasa. Rasanya seperti seluruh organ tubuhnya berhenti bekerja.
Apa lagi ini, Tuhan ....
Nayya tertawa namun matanya menangis. Ia pun terisak entah untuk alasan apa. Sementara Akbar, ia hanya menatapnya dalam diam. Setitik, timbul perasaan iba. Karena ia tahu, gadis di hadapannya itu tidak tahu apa-apa. Dia sama sekali tak bersalah. Namun, Akbar segera berbalik; memalingkan wajah dan menepis perasaannya.
Tidak. Dia salah. Kesalahannya adalah, terlahir sebagai anak dari pria itu.
Akbar lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan yang cukup luas itu.
Semuanya akan dimulai. Dan aku tidak akan pernah menyesal. Aku janji, Ibu.
***
TBC.
Alhamdulillah, selesai dengan 3rb kata 😅 tuh udah aku kasih panjang sampai pegel ini. Wkwk terima kasih banyak atas semua apresiasi dan keantusiasan kalian. Semoga suka ❤
Salam penuh berkah.
Tinny Najmi.
Subang, 28 Mei 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro