Bab 32 - Strange
32
Strange
"Ada perasaan aneh dan janggal yang sulit dijelaskan. Rumit dan sulit terurai."
***
"Rudi, saya ada kerjaan buat kamu." Alfi berbicara pada seseorang di telepon.
"Kamu masih ingat, saya pernah menyuruhmu mencari tahu anak yang bernama Akbar Fahreza?" Alfi memandang foto-foto Akbar bersama orang tuanya yang sekarang.
"Saya mau kamu cari tahu siapa dan di mana orang tua kandungnya," ucap Alfi.
"Tidak, bukan. Aku hanya merasa brhutang budi padanya."
"Oke. Kabari saya secepatnya." Alfi memutus sambungan setelahnya. Selama ini, lewat pria bernama Rudi-lah Alfi mencari informasi. Dia sudah tahu banyak tentang kehidupannya.
Semenjak Alfi mengobrol dengan Akbar waktu itu, ada perasaan iba saat anak laki-laki itu berkata jika orang tuanya telah membuangnya. Meskipun ia mengelak tidak ingin bertemu mereka. Mata tak pernah bisa berbohong. Siapa pun pasti ingin melihat orang tua yang telah membuat kita terlahir di dunia. Dan Alfi, hanya ingin membatunya.
***
Hari itu Nayya berjanji bertemu dengan Akbar di yayasan milik mamanya. Kebetulan mamanya tidak datang ke yayasan, melainkan ke butik Inayah. Nayya juga menyuruh Akbar mengajak Adela, agar mereka tidak hanya berduaan. Dan di sanalah mereka, bermain bersama anak-anak. Awalnya Akbar nampak kaku berinteraksi dengan anak-anak, namun berkat Adela yang sangat menyukai anak-anak, mudah baginya mengakrabkan Akbar dengan mereka. Nayya hampir lupa tujuan mereka bertemu untuk apa.
"Kak," panggil Nayya pada Akbar yang kini asyik tertawa bersama gadis kecil yang Nayya tahu bernama Lisa. Akbar pun menoleh. "Bisa bicara sekarang?"
Akbar mengangguk lalu dia berpamitan dan menyuruh mereka bermain bersama Adela.
"Pinjem dulu Kak Akbar-nya ya...," ujar Nayya lalu dia bersama Akbar, menuju halaman belakang yayasan dan duduk di tepi kolam ikan. Akbar duduk sekitar satu meter dari Nayya.
"Jadi, apa yang mau kamu tanyakan soal Adam?" Akbar memulai pembicaraan. Sebelumnya Nayya sudah bercerita tentang masalah ini.
"Beritahu aku semua tentangnya yang Kak Akbar tahu ...."
"Kenapa nggak tanya sama papa kamu?"
Nayya diam beberapa saat. "Aku tidak nyaman membicarakan tentang hal itu dengan Papa," ujarnya menunduk; menatap kakinya yang ia masukkan ke dalam kolam.
"Bagaimana perasaanmu setelah tahu semua itu?" Akbar kembali bertanya. Nayya hanya tersenyum ketir. "Kamu ... bisa memaafkan papamu?"
Nayya menoleh dan tersenyum tulus. "Tentu, bagaimanapun dia tetap ayahku. Dan aku menyayanginya."
Untuk beberapa saat, Akbar terpaku menatapnya lalu ia mengalihkan pandangan ke depan. Menghela napas dan mulai menceritakan tentang Adam sama seperti yang ia ceritakan pada Alfi tempo hari.
"Dia juga sangat pencemburu, dan emosional," ujar Akbar setelah cerita panjang lebar. Nayya menatapnya penasaran. "Kalau ibunya perhatian padaku, dia pasti merajuk, pernah sampai ngambek dan tidak mau bicara padaku." Akbar terkekeh. "Seolah aku akan merebut harta berharganya."
Nayya tersenyum membayangkan sosok kakaknya itu. "Papa juga pencemburu dan emosonal. Apa dia juga keras kepala?" Nayya setengah bercanda.
"Sepertinya iya,"─Akbar sedikit tertawa─"hanya itu yang aku ingat," pungkas Akbar setelahnya.
"Dia pasti tampan seperti Papa," gumam Nayya nampak menerawang jauh. Dan Akbar hanya mengangguk samar.
"Oh ya, Kak Akbar nggak berniat nyari tahu di mana orang tua kandung Kakak?"
Akbar tersenyum, menggeleng. "Untuk apa? Aku sudah memiliki orang tua yang menyayangiku dengan tulus."
Nayya diam. Memainkan kakinya di dalam air. Pikirannya berkecamuk. Berantakan. Penuh pengandaian.
"Bagaimana jika kakakmu masih hidup?" tanya Akbar tiba-tiba.
Nayya menoleh. "Maksudnya?"
"Seandainya, dulu papamu bisa menemukan Adam, dan dia masih hidup sampai sekarang. Bagaimana menurutmu? Apa kamu bisa menerimanya?"
"Tentu saja," jawab Nayya tanpa ragu. "Aku selalu menginginkan seorang adik. Tapi keadaan Papa tidak memungkinkan ...." Nayya tersenyum getir. "Jika Kak Adam masih hidup, aku akan sangat senang. Aku memiliki seorang kakak laki-laki. Bukankah itu hebat?" ujar Nayya tulus dengan mata yang berbinar.
Akbar tersenyum. "Meskipun dia anak dari wanita lain?"
"Itu bukan salahnya, kan? Tidak ada alasan untuk aku membencinya," ujar Nayya tersenyum. "Justru aku akan sangat bahagia. Tapi, kenyataan tak seindah hayalan...."
Akbar hanya diam setelah itu. Suasana pun menjadi hening, hanya terdengar suara jeritan anak-anak yang ramai bermain.
"Makasih ya Kak, udah mau cerita. Aku beneran nggak nyangka kalau Kak Akbar teman kakakku. Dunia memang sempit ya," celotehnya berusaha tertawa.
"Ya, aku juga. Tidak menyangka sama sekali ...," ucapnya tersenyum samar.
"Kak Akbaaar! Ayo main lagiii!" seru beberapa anak yang mengintip dari balik pintu jendela, di sana juga ada Adela yang nampak berusaha menghentikan mereka.
"Duh, sorry ya. Mereka susah dicegah. Tahu aja sama orang ganteng," tukas Adela membuat Nayya tertawa geli.
"Nggak papa, Kak. Udah selesai, kok," ujar Nayya lalu menyuruh Akbar menemui para fans-nya. Padahal mereka baru bertemu sehari.
Akbar pun menemui anak-anak, sementara Adela yang nampak kelelahan menggantikan posisi Akbar dan duduk di tepi kolam. Lalu merebahkan tubuhnya. "Gila ya, anak-anak kalo maen gak ada capeknya," celotehnya.
Nayya tersenyum. "Kalo gak gitu, bukan anak-anak namanya...."
"Iya sih, duh capek juga gue."
Nayya tak menyahut lagi. Lalu hening sejenak. "Nay...," panggil Adel.
"Ya, Kak?"
"Lo suka sama Akbar ya?"
Blush. Pipi Nayya memerah seketika. Adela tertawa. "Langsung merah gitu, ya ampuun."
Nayya tak menjawab, tapi sibuk menyembunyikan wajahnya.
"Kenapa?"
"Huh?"
"Apa yang buat lo suka sama dia?"
Nayya nampak berpikir. Sebenarnya ia juga tidak tahu alasan pastinya. Yang ia tahu, ada hal yang berbeda saat melihat wajahnya atau berada di dekatnya.
"Aku menyukainya sejak aku melihatnya di klub taekwondo. Awalnya aku hanya penggemarnya. Tapi kami jadi sering ketemu dan ngobrol, semakin aku mengenalnya, aku semakin menyukainya," ucap Nayya jujur.
"Hanya itu?"
Nayya kemballi terdiam. "Dia mirip dengan Papa...," ucapnya kemudian. "Melihatnya selalu mengingatkanku pada Papa. Saat bersama dengannya seperti tadi pun, aku merasa aman entah untuk alasan apa...."
Adela terdiam. Lalu ia menoleh dan mendapati Akbar yang ternyata diam mendengarkan.
"Duh, Kak. Maaf ya malah ngelantur!" Nayya mencoba tertawa.
"Nggak papa," ujar Adela tersenyum simpul. Lalu mereka terdiam. Hanyut dalam pikiran masing-masing, juga karena tidak tahu apa yang harus mereka bicarakan. Sampai tiba-tiba suara tangisan seorang anak terdengar. Nayya dan Adela segera bangkit untuk melihat apa yang terjadi.
Akbar nampak mencoba memangku gadis kecil yang sepertinya terjatuh, dan dagunya berdarah. "Ya ampun, Lisa ...," ujar Nayya menghampiri gadis kecil dengan rambut tipis sepunggung. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku blazer untuk mengelap darah di bagian mulut dan dagu gadis itu. Akbar nampak tertegun. Ia mengenal sapu tangan itu, sapu tangan berukirkan namanya yang ia berikan saat ulang tahun Nayya dulu.
"Non ... ada apa toh? Kok ada suara yang nangis?" Bunda Asri─pengurus yayasan─tergopoh menghampiri mereka.
"Tadi Lisa jatuh saat bermain," jelas Akbar yang menyerahkan Lisa ke pangkuan Bunda Asri.
"Ya ampun, kasihan anak Bunda. Sampai berdarah, kumur dulu ya, Lis...." Bunda Asri mengusap kepala anak asuhnya lalu pamit membawa Lisa ke dalam.
"Abis ini mau ke mana?" tanya Adel. "Jalan yuk! Bertiga. Mau nggak, Nay?"
Nayya melirik Akbar sekilas. Lalu berpikir.
"Ayolah ... nggak bakal gue tinggalin lagi kayak dulu, kok," cengir Adel. "Kan jarang-jarang kita jalan bareng, ayo dong, Bar...."
"Gue sih oke, gimana Nay?" tanya Akbar.
"Emm ... tapi pake mobil aku aja ya, Kak."
Akbar dan Adela setuju. Mereka pun berpamitan pada anak-anak. Lalu pergi bersama di antar Pak Gigih. Nayya melakukan itu atas pesan Alfi yang tidak boleh pergi sendirian. Jadi ia harus bersama Pak Gigih agar ada yang memantaunya.
"Jadi lo ke mana-mana ama supir, Nay?" tanya Adel yang duduk di sebelah Nayya. Sementara Akbar di kursi depan.
"Enggak sih...," Nayya meringis. "Biasanya sama Arkan."
Adel mengangguk. "Kok sekarang nggak?"
Nayya tak langsung menjawab. Tidak mungkin dia mengajak Arkan sementara dia akan bertemu dengan Akbar. Lagi pula Arkan tidak tahu tentang masalah ini. Kalau dia yang antar, bisa repot. Dia pasti curiga dan bertanya ini itu.
"Dia lagi nggak bisa," ucap Nayya. Ia juga tidak tahu kenapa mesti berbohong.
Hari itu pun ia menghabiskan waktu bersama kedua kakak kelasnya dulu. Itu pun setelah ia mendapat persetujuan Alfi. Dan ia harus sudah pulang sebelum petang. Ya, hidupnya memang penuh aturan. Aturan dari pria yang paling ia sayangi seumur hidupnya.
***
Liburan semester lima sudah berakhir, Nayya kembali masuk sekolah seperti biasa. Kei pun kembali beraktivitas seperti anak normal lainnya. Semua anak kelas tiga disibukkan dengan mengejar nilai, persiapan ujian, les, try out, dan soal tes masuk universitas. Belum lagi ujian praktik. Semua itu membuat kepala Nayya serasa ingin pecah. Namun yang paling membuat Nayya pusing adalah sikap Arkan padanya.
Semenjak hari itu, Arkan memang tidak berubah, juga tidak menjauhi Nayya seperti dulu. Namun sekarang, entah hanya perasaannya atau bukan, Arkan seperti kembali membuat batas di antara mereka. Ia tidak lagi sesering dulu menasehati Nayya ini itu, atau melarangnya ini itu. Tidak memaksa kalau Nayya tidak mau bercerita, juga tidak masalah kalau Nayya berhubungan dengan Akbar sekalipun. Hal itu membuat kepalanya pening entah untuk alasan apa. Ia seperti kembali kehilangan sahabatnya.
Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin ia juga yang membuatnya jadi seperti ini. Dirinya terlebih dahululah yang tidak mau berbagi cerita pada Arkan. Jadi, Arkan hanya membantu menjaga privasinya. Tidak ada yang salah dengan Arkan.
Saat pulang, Nayya melihat Arkan berjalan menuju tempat parkir. Ia pun menghampirinya.
"Kan!"
Arkan yang memang sedang melamun, terkejut mendengar suara Nayya yang tiba-tiba memanggilnya. Ia berhenti untuk menunggu Nayya.
"Udah mau pulang?" tanya Nayya.
"Iya," jawab Arkan singkat.
"Kita mau maen nih ke rumah Sadiya sama anak-anak. Mau ikut, nggak? Lumayan refreshing bentar sebelum UN."
Arkan nampak berpikir sejenak. "Hmm, kayaknya nggak. Itu kan acara kelas kalian," tolak Arkan yang alasannya memang masuk akal.
"Ya nggak papa, mereka juga kenal lo. Lo juga deket ama kita. Apa salahnya gabung?"
"Iya, tapi tetep nggak enak. Gue kan bukan siapa-siapa dan gak tahu apa-apa, yang ada gue terabaikan karena gak tahu apa yang kalian bahas."
Nayya diam. Anehnya apa yang dikatakan Arkan terdengar ambigu di telinganya.
"Lagian gue udah janji mau nganter Ummi nanti sore," imbuh Arkan.
"Oh, oke. Ya udah," Nayya berusaha tersenyum. "Kalo gitu gue duluan."
Arkan mengangguk. Lalu Nayya berjalan meninggalkannya. Dilihatnya kembali Arkan yang kini menaiki motornya. Ada perasaan janggal yang tidak bisa ia jabarkan. Sedih namun ia tak mengerti alasan kenapa ia merasa seperti itu. Aneh dan rumit untuk diurai.
"Ah, sudahlah! Gak usah baper. Dia juga punya urusannya sendiri," celotehnya pada diri sendiri lalu berjalan cepat menyusul teman-temannya yang sudah menunggu di depan gerbang.
"Mana si Arkan?" tanya Sadiya saat Nayya gabung.
"Gak ikut."
"Tumben?" Kali ini Kei yang berbicara.
Nayya mengedikkan bahu. "Mau nganter nyokapnya katanya."
"Oh. Ya udah. Kita berangkat," ujar Sadiya lalu menyalakan motornya diikuti yang lain.
***
"Ada yang aneh, Pak," ucap seorang pria berpakaian serba hitam yang duduk di hadapan Alfi.
"Aneh bagaimana maksudmu? Kamu bilang sudah menemukan orang tuanya?" tanya Alfi heran.
"Iya memang benar, tapi pernyataan mereka berbeda," jelas pria suruhan Alfi yang bernama Rudi itu.
"Jelaskan semuanya," perintah Alfi dengan rasa heran yang tidak bisa ia tahan.
"Waktu itu saya dan Alex menyamar sebagai petugas kepolisian untuk menemui mereka dan menanyakan perihal hilangnya anak mereka. Saat kami memberitahukan nama Akbar, mereka nampak kaget. Mereka bilang itu memang nama anak mereka. Tapi kata Bapak, mereka yang meninggalkan anak itu, bukan?"
"Ya," jawab Alfi.
"Tapi mereka bilang, justru mereka kehilangan anak mereka yang bernama Akbar. Mereka tidak pernah meninggalkan apalagi membuang anak mereka sendiri," jelas Rudi.
Jelas, Alfi nampak kaget mendengarnya. "Lalu?"
"Katanya anak mereka hilang saat terjadi kebakaran di rumah tetangganya. Sejak saat itu mereka tak pernah melihat anak mereka lagi."
Kening Alfi berlipat. Lalu, kenapa Akbar mengatakan jika orang tuanya yang meninggalkannya?
"Ini jelas berbeda dengan apa yang Bapak sampaikan sebelumnya. Jadi saya berinisiatif memperlihatkan foto anak bernama Akbar itu. Dan mereka dengan yakin mengatakan jika dia bukan anak mereka. Meskipun mereka terpisah bertahun-tahun lamanya, tidak mungkin seorang ibu melupakan wajah anaknya sendiri."
Alfi terdiam. "Kamu tidak salah menemui orang kan? Mungkin mereka bukan orang tuanya?"
Rudi menggeleng tegas. "Tidak. Saya yakin. Nama mereka yang tertera di data milik Akbar saat di panti asuhan. Rasanya tidak mungkin ada dua pasangan suami istri yang namanya sama dan pernah tinggal di daerah yang sama, juga kejadian yang sama yaitu kebakaran."
Alfi membenarkan dalam hati. "Jadi maksudmu, salah satu dari mereka ada yang berbohong?"
Rudi mengangguk. "Menurut saya begitu, tapi ... menurut saya anak itu yang berbohong."
"Maksudmu? Akbar?"
"Ya."
"Alasannya?"
"Coba Bapak pikir, mereka tidak mengenal kita, untuk apa mereka berbohong pada saya yang seorang polisi dan mencoba menemukan orang tua dari anak yang hilang?" Rudi mengemukakan pendapatnya. "Dan anak itu, saya rasa terlalu misterius. Banyak yang janggal dalam datanya."
Alfi nampak berpikir keras. Jarinya mengetuk-ngetuk pinggiran sofa. Apakah benar Akbar berbohong padanya? Tapi utuk apa? Apa tujuan ia berbohong?
"Pak?" Rudi menegur Alfi yang malah melamun.
"Oh, ya. Kenapa?"
"Jadi, bagaimana? Apa saya tetap mencari tahu kebenaran soal ini?"
Alfi mengangguk. "Kalau mereka memang benar orang tua Akbar. Kita harus mencari tahu kebenarannya." Alfi kembali mengetukkan jari-jarinya, khas ketika dia berpikir keras. "Kalau memang benar anak itu berbohong, apa alasannya berbohong?" Lalu Alfi teringat sesuatu. "Apa mereka tidak memiliki foto Akbar saat kecil? Mungkin bisa disandingkan dengan fotonya saat di panti asuhan. Jika mereka berbeda, berarti anak itu memang berbohong. Dan aku harus tahu alasan dia berbohong tentang masa lalunya."
Rudi mengangguk. "Kalau begitu saya akan kembali ke Bogor dan mencoba mencari tahu di tempat mereka bersekolah dulu. Pasti ada pas foto."
Alfi mengangguk.
"Oh ya," kata Rudi. "Mereka sempat berkata kalau mereka seperti mengenal foto anak laki-laki yang aku perlihatkan pada mereka. Katanya anak itu mirip dengan tetangganya yang meninggal saat kebakaran itu."
Alfi terenyak. "Maksudmu...? Adam?"
Rudi mengangguk. "Tapi mereka sendiri tidak yakin. Setelah saya mendapatkan foto masa kecil mereka, kita bisa mengetahui kebenarannya."
Alfi hanya mengangguk kaku. Perasaannya mendadak tidak enak. "Kapan kamu akan ke Bogor lagi?"
"Mungkin besok pagi, saya masih harus mencari tahu di mana mereka bersekolah dulu."
Lagi-lagi Alfi hanya bisa mengangguk. "Aku mengandalkanmu," ucapnya tersenyum.
Rudi balas tersenyum. "Sudah tugas saya, Pak," ucapnya. "Kalau begitu saya permisi," pamitnya kemudian beranjak dari sofa ruang kerja Alfi.
"Rudi," panggil Alfi.
"Ya, Pak?" Rudi berhenti dan kembali berbalik.
"Terima kasih banyak," ucap Alfi sungguh-sungguh. Pria itu sudah melakukan banyak hal untuknya. Meskipun ia membayarnya, Rudi sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
"Tidak perlu berterima kasih, saya sudah dibayar untuk itu," ucapnya.
"Berapa umurmu? Aku lupa," ujar Alfi lagi. Membuat Rudi berdiri lebih lama.
"27," jawabnya.
Alfi mengangguk. "Jangan hanya mencari uang dan melakukan pekerjaan ini itu, jangan lupa menikah," ucapnya.
Rudi hanya tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuk. "Saya pamit, Pak," ujarnya lalu pergi setelah mendapat anggukan dari Alfi.
Alfi kembali merenung setelah kepergian Rudi. Memikirkan semuanya. Akbar. Sejak awal ia memang merasa ada yang tidak beres dengan anak itu. Namun saat berbicara berdua dengannya kemarin, ada perasaan lain yang ia sendiri tidak bisa mengerti apa. Ada yang aneh, dan janggal. Rumit dan tak bisa dijabarkan.
Mengapa ia harus berbohong?
***
Tbc.
Yeey! Sorry for late post! 🙏
*sudah biasaaa
Hehee. 😆 yang penting kan update. Wkwkwk. Soalnya udah sini aku harus rada mikir jadi lama *alasan mulu 😂
Hahaha pokoknya enjoy it, gak sabar sama ending. Wkwkk
M
aaf jiga kalau banyak typo 👀
Makasih dah nungguin cerita gaje ini.
See you later! 😘
Tinny Najmi.
Subang,
30 April 2018.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro