Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24 - Keifer Parsha ; The Fact

24
Keifer Parsha ; The Fact

"Satu fakta lain terungkap, dan lagi-lagi melukai dirinya. Inikah yang selalu disembunyikan kedua sahabatnya itu? Jika ya, maka ia memilih untuk tidak tahu apa-apa."

▫◾▫◾▫


"Nay, ada sekolah yang belum dateng. Urutannya abis yang ini, gimana dong? WO aja?"

Nayya berpikir sejenak. "Jangan, tungguin aja seling dulu sama yang lain. Pindah urutannya aja, tapi harus dengan persetujuan peserta lainnya. Lo ngerti kan maksud gue?"

Cowok itu mengangguk.

"Tapi kalo misalnya berhalangan hadir, ya udah WO," imbuh Nayya.

"Oke!" sahut cowok itu mantap lalu kembali ke panggung yang sedang diadakan lomba pensi antar SMP sederajat.

"Kak Nayya!"

Baru saja ia menghela napas, sudah ada lagi yang memanggilnya. Entah sudah berapa kali dalam hari ini. Ada saja yang mereka laporkan, ada saja masalah yang membuat mereka bingung harus berbuat apa dan bagi mereka menemui Nayya adalah solusi. Karena memang dia yang harusnya bertanggung jawab untuk acara ini.

Untungnya, tidak ada masalah yang serius. Hanya beberapa hal kecil seperti sound yang kurang enak, peserta yang belum hadir, anak-anak yang ribut, siswa yang pingsan di rumah hantu, dan hal kecil lainnya. Dan Nayya masih bisa mengatasi itu semua. Ia mengerti, ia dituntut untuk berpikir cepat dengan keputusan tepat.

Acara pentas seni tahun ini bernama 1001 Art, sengaja ia kutip dari nama sekolahnya SMA 101 Jakarta. Bertema Show Your Creativity, ia berharap para siswa dapat mengembangkan talenta mereka.

Pensi ini digelar selama tiga hari, seminggu sebelum pembagian rapor akhir semester. Mencapai ribuan pengunjung karena terbuka untuk umum dan tidak memasang HTM, membuat siapa pun yang tertarik bisa datang ke acara ini. Dengan memaksimalkan sekolah sebagai venue, tiap ruang kelas mereka sulap jadi ruang instalasi seni. Tiap pengunjung bisa foto-foto di sana. Dan di kelas paling ujung, panitia membuat wahana rumah hantu.

Para siswa juga dengan kreatif memeriahkan pentas seni tersebut dengan cara menampilkan talenta seperti menari, paduan suara, musikalisasi puisi, vokal grup, dan masih banyak lagi. Bahkan tidak hanya anak SMA saja, penampilan tersebut juga dibawakan oleh siswa-siswi dari TK, SD, hingga SMP. Panitia juga membuat gimmick agar acara meriah seperti membagian kupon voting mengapresiasi karya paling keren.

Selain itu, juga terdapat pameran seni yang memamerkan ratusan karya buatan kelas sepuluh dan sebelas. Mulai dari instalasi, lukisan 2D & 3D, sampai mural atau grafiti. Salah satunya adalah Kei. Ia adalah penyumbang lukisan terbanyak. Ia juga membuat stan sendiri seperti pelukis jalanan yang menerima pelanggan untuk dilukis secara langsung, atau minta dibuatkan karikatur. Seperti ide Nayya kemarin dan sepertinya sukses besar karena stan-nya selalu ramai. Galeri lukisan dan fotografi pun banyak dikunjungi pengunjung.

Seelah selesai dengan urusannya, Nayya menghampiri Kei yang sedang asyik menggambar karikatur pasangan suami istri. Ya, bukan hanya anak-anak dan remaja. Banyak orang dewasa dan orang tua yang hadir.

"Ini lukisannya Mbak, Mas," ujar Kei setelah selesai menggambar.

Pelanggan yang menerima itu nampak tersenyum puas.

"Berapa harganya?" tanya pria dewasa itu.

"Seikhlasnya saja, Mas," jawab Kei ramah. Ya, ia tidak berniat mencari uang. Melakukan semua ini pun karena Nayya yang menyuruhnya. Ada yang membayar mahal, ada yang sesuai harga, ada juga yang jauh dari kata pas. Ia tidak terlalu memedulikannya, karena ternyata melukis, menggambar dan melihat pelanggannya puas sudah memenuhi hatinya. Ia baru sadar, rasanya menyenangkan.

Pria dewasa itu memberinya dua lembar lima puluh ribu. Kei menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih banyak," ujarnya lalu mereka pergi.

"Cieee banyak duit nih kayaknya!" seru Nayya yang kemudian duduk di kursi pelanggan.

Kei hanya nyengir lebar. "Berkat lo sih, nanti gue traktir deh!"

"Oke! Janji yaaa...."

"Of course, Princess,"ㅡKei menatap Nayya yang memijit keningㅡ"Kecapean ya?"

"Lumayan sih, tiga hari ini bener-bener nguras tenaga."

Kei mengangguk paham. Bagaimana tidak kalau acara pensinya sebesar dan semeriah ini. Dan ini adalah hari terakhir. Tenaganya tinggal sisa dari dua hari kemarin. "Mau minuman?"

"Boleh," jawab Nayya lalu ia memejamkan mata sejenak untuk istirahat sementara Kei pergi menuju stan makanan. Hingga seseorang membangunkannya.

"Eh, Kak Akbar?" Nayya sedikit kaget. Lalu segera berdiri.

"Ganggu, ya?" tanyanya dengan senyum ranah seperti biasa.

"Eng ... nggak kok, cuma lagi duduk aja," sanggah Nayya lalu menoleh pada dua orang dewasa di samping Akbar.

Mendapati tatapan bertanya dari Nayya, Akbar tersenyum. "Mereka orang tuaku," ujarnya.

Nayya terkejut lalu cepat-cepat menyapa keduanya dan memperkenalkan diri.

"Jadi ini yang namanya Nayya," ujar wanita paruh baya yang ia tahu adalah mama Akbar; tersenyum ramah padanya.

Dalam hati ia berpikir, Mamanya tahu tentangnya? Apa Akbar sering bercerita tentangnya?

"Cantik sekali," puji mama Akbar sambil mengusap kepalanya lembut. Membuat Nayya tersipu. Namun ada sorot lain di matanya yang berbeda yang entah apa.

Sementara itu Kei yang baru saja membeli jus di salah satu stan makanan melihat Arkan, ia menyunggingkan senyum lalu menghampirinya.

"Ar!"

Arkan berhenti dan menoleh. Menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Tolong kasihin sama Nayya ya, gue kebelet pipis nih! Udah gak tahan, oke!"─Kei langsung menyerahkan jus itu ke tangan Arkan tanpa persetujuan darinya─"dia ada di stan gue, kasian kecapean dia. Gak pake lama!" tukasnya lalu berlari menuju toilet seolah benar-benar tidak tahan untuk buang air.

Sementara Arkan, mengerutkan kening heran menatap jus di tangannya. Namun ia tak ambil pusing. Ia hanya perlu menemuinya lalu memberikan minumannya. Tidak sulit sama sekali. Ya, itu mudah.

Sejak kejadian pulang bersama terakhir kali waktu itu. Nayya tak pernah menanyakan atau pun menuntut apa pun lagi padanya. Hampir tiga bulan berlalu sejak saat itu. Sepertinya Nayya sudah menerima keputusan Arkan untuk tetap menjaga jarak dan membuat batasan layaknya laki-laki dan perempuan. Ia bersyukur karena Nayya mengerti maksudnya, namun di sisi lain ia pun merasa kehilangan.

Arkan berhenti melangkah saat dilihatnya Nayya sedang bercengkrama dengan Akbar dan dua orang paruh baya yang ia duga adalah orang tua Akbar. Ia memerhatikan Nayya yang tersenyum manis dan sesekali tersipu. Gelenyar aneh itu lagi. Nyatanya setelah sekian lama pun masih belum berubah.

Ia memutuskan untuk menunggu, karena ia tidak mau mengganggu keluarga yang nampak bahagia itu. Dalam diamnya ia menatap gadis itu, selalu dalam diamnya ia melakukan segalanya. Arkan menunduk. Menatap es jus yang tiba-tiba nampak lebih menarik.

Payah.

Arkan menghela napas lalu kembali mendongak, orang tua Akbar sudah tidak ada. Tinggal Nayya dan Akbar yang masih mengobrol entah apa. Mereka memang semakin dekat akhir-akhir ini walau mereka sudah jarang bertemu karena Akbar sibuk mengurus pendaftaran masuk universitas. Arkan pun berjalan meghampiri keduanya. Nayya yang menyadari kedatangan Arkan pun menoleh.

Arkan menaruh minumannya di meja. "Dari Kei," tukasnya singkat dan hendak kembali pergi. Namun panggilan Akbar menahannya.

"Maen pergi aja, sombong ... nggak nyapa gue?" sapa Akbar menghampiri Arkan.

Arkan berpikir sejenak, sejak kapan kakak kelasnya itu menggunakan kata 'gue'. Ia tersenyum. "Maaf, lagi agak sibuk soalnya."

Akbar berdecak. "Belagunya..., apa kabar? Kayaknya gue jarang ketemu lo, ketos yang super sibuk."

Arkan hanya tersenyum─sedikit dipaksakan. "Kak Akbar kan pernah ngalaminnya sendiri."

Akbar tertawa dan membenarkan perkataan juniornya. "Oh ya, boleh minta tolong gak?"

"Ya?" tanya Arkan.

Akbar mengeluarkan ponsel. "Tolong fotoin aku sama Nayya, bisa kan?"

Mendengar itu, Nayya terbelalak lalu menatap Arkan yang diam saja. Ia tergagap. "Eng ... gak perlu, Kak─"

"Nay ... please. Sekarang aku udah lulus dan bakal susah buat ketemu kamu. Cuma buat kenang-kenangan aja kok. Ya?" pinta Akbar setengah memohon. "Sekali aja. Ya, Nay?"

Nayya kebingungan. Sebenarnya ia tak masalah, toh cuma foto. Dan ia pun sebenarnya menginginkan hal itu. Untuk kenang-kenangan, apa salahnya? Benar kata Akbar. Sekarang kemungkinan mereka bertemu sangat kecil kecuali jika mereka membuat janji. Apa nanti ia akan merindukannya?

"Nay...?" Panggilan Akbar menginterupsi lamunannya. "Kok malah bengong sih? Gak mau ya? Ya udah kalau gitu...." Akbar nampak kecewa.

Nayya salah tingkah, merasa bersalah. Masalahnya adalah ... kenapa harus minta tolong pada Arkan dari semua orang? Terlebih lagi ... ia merasa tidak enak pada Arkan.

Nayya hendak mengatakan sesuatu namun Arkan lebih cepat. "Sini Kak, aku fotoin." Ia meminta ponsel Akbar lalu menoleh pada Nayya yang kini menatapnya. "Cuma foto doang, gitu aja pelit. Udah cepet! Gue sibuk," tukas Arkan dengan wajah datarnya seperti biasa.

Kini Akbar yang menatap Nayya menanti persetujuannya. Nayya menunduk, perasaannya campur aduk. Setelah menarik napas pelan, ia tersenyum cerah. "Ya udah. Awas kalo fotonya nggak bagus!" ujarnya pada Arkan.

Dipaksakan.

Semuanya dipaksakan.

Akbar tersenyum lebar dan segera berdiri di samping Nayya. Mereka bersiap dengan senyum lebar dan bahagia. Dan Arkan bersiap mengabadikan momen bahagia keduanya.

"Satu ... dua...." Arkan memberi aba-aba. Dan pada hitungan ketiga saat kamera siap mengambil gambar. Akbar merangkul bahu Nayya sambil tersenyum lebar. Sementara Nayya menoleh kaget padanya. Dan itulah yang tertangkap kamera.

Arkan menurunkan ponsel Akbar dan menatap Nayya yang sepertinya terkejut. Iya, Akbar memang hanya merangkul bahunya namun nampaknya itu berdampak besar bagi Nayya. Karena sebelumnya tak pernah ada pria yang menyentuhnya seperti itu, meski Arkan sekali pun. Tapi Akbar bersikap biasa saja, tak terlalu memedulikan Nayya yang terkejut, ia menghampiri Arkan untuk melihat hasilnya. Di sana Nayya tertangkap sedang menoleh pada Akbar.

Akbar tertawa. "Wajah kamu lucu, Nay. Sayang, nggak kelihatan. Kok kayak shock gitu sih?"

Nayya diam. Menenangkan debar jantungnya yang menggila. Arkan menahan diri untuk tidak memaki atau pun mengumpat pria di hadapannya.

Itu bukan urusannya.

Itu bukan urusannya.

Batinnya meracau tak jelas. "Aku pamit dulu, ada yang harus aku kerajakan," pamitnya pada Akbar.

"Oh, oke. Thanks ya, Ar!"

Arkan mengangguk kaku. Menatap Nayya yang masih terdiam sejenak, kemudian melenggang pergi. Pelan dan semakin cepat. Menjauh dari keduanya.

"Nay? Are you okay?" tanya Akbar begitu mendapati Nayya yang masih terdiam. "Kamu marah?" tanyanya sedikit takut. "Maaf, tadi aku cuma...."

Nayya tersenyum hambar dan menggeleng. "Nggak kok, nggak papa. Aku nggak marah."

"Bener?" tanya Akbar sangsi. "Terus kenapa murung?"

Nayya diam. Ia juga tak tahu kenapa.

"Arkan?" tebak Akbar.

Nayya mendongak. Tersenyum rikuh. "Ah iya, aku baru ingat aku harus ke ruang lomba musikalisasi puisi. Aku tinggal dulu nggak papa kan?"

"Nggak papa, kamu pasti sibuk. Jangan terlalu kecapean, jangan lupa istirahat," pesan Akbar. "Thanks, buat fotonya." Akbar tersenyum manis.

Nayya tertegun. Sekarang ia tahu mirip siapa senyuman itu. Nayya balas tersenyum. "Terima kasih ya, Kak. Selamat menikmati acaranya," ujarnya lantas pergi setelah melambaikan tangan pada kakak kelasnya itu.

Nayya berjalan menuju ruang kelas yang sepi dan tak terpakai. Cukup jauh dari keramaian. Ya, tadi ia berbohong. Pikirannya kacau dan perasaannya tak jelas. Ia hanya ingin menenangkan diri. Ia duduk di sebuah bangku dan menaruh kepala ke atas meja. Mendesah panjang kemudian menutup mata. Lalu ia mendengar suara yang sepertinya sedang bersitegang. Beradu argumen dan sesekali membentak. Yang membuatnya tertarik adalah, suara mereka adalah suara yang sangat ia kenal.

Ia berjalan mendekat ke sumber suara yang berasal dari ruang kelas sebelah yang juga tak terpakai. Setelah menempel pada dinding, ia yakin itu adalah suara Arkan dan Kei. Di ruangan ini cukup sepi, karena jauh dari panggung pensi. Hanya terdengar samar-samar dari keramaian acara yang sedang berlangsung. Dan ruangan tidak kedap suara membuatnya mudah mendengar percakapan mereka.

"Lo kenapa sih bego banget?" Itu suara Kei.

"Ya, ya, ya ... whatever tentang apa yang agama lo katakan. Larangan dan batasan-batasan bagi laki-laki dan perempuan. Itu alasan lo? Munafik!" Kei lagi yang berbicara. Menekankan pada kata terakhir. Nayya bahkan bisa membayangkan Arkan yang hanya diam dan menggeram tertahan.

"Lo pikir, perasaan lo bisa lo kendaliin seenak jidat? Sesuka ajaran keyakin lo itu? Hah? Lucu!"

"Tutup mulut lo!" Kali ini Arkan berbicara, terdengar geram dan tegas. "Lo nggak tahu apa-apa soal agama gue."

"Ya ... gue emang gak tahu. Tapi coba dong, lo berpikir rasional. Itu hati bukan mobil-mobilan. Kalo suka bilang, kalo ditolak, perjuangin, bukan nyerah dan ngejauh kayak gini." Ada jeda sejenak di sana. "Ah ya ... gue lupa, lo kan pengecut!"

Terdengar suara gedebuk yang sangat keras. Nayya terperanjat. Lalu terdengar makian Arkan pada Kei. Ia tahu mereka pasti berkelahi. Ia pun bergegas menghampiri keduanya di ruang sebelah. Namun saat ia akan membuka pintu, ia urung ketika Arkan kembali bersuara.

"Lo nggak tahu apa-apa! Gue gak perlu cemoohan dan nasehat lo yang gak guna! Lo nggak berhak ikut campur! Ini masalah gue, urusan gue, kenapa lo yang repot? Sial!" Layangan tinju Arkan menggantung di udara. Dengan tatapan tajam. Napasnya memburu penuh amarah.

Kei terkekeh di sudut tembok sambil mengusap darah di sudut bibirnya. Menertawakan Arkan yang tak jadi memukul dan malah menendang kursi sampai terjungkir.

"Gimana rasanya marah-marah? Udah lega? Gue heran, gimana bisa lo nahan semua itu sendirian...," ujar Kei santai. Tak merasa bersalah setelah membuat singa dalam diri temannya mengamuk. Lalu ia bangun.

"Lo cenderung nahan emosi lo. Buat apa? Itu cuma bakal jadi penyakit,"─Kei menekan dada Arkan dengan telunjuknya─"di sini."

Arkan terdiam. Sadar akan maksud Kei mengoceh panjang lebar padanya. Gara-gara Kei menyaksikan kejadian di stan miliknya tadi. Ia tahu Arkan marah dan kesal tapi Arkan selalu diam. Menahan segala emosinya.

Nayya pun terdiam di balik pintu, ia hendak masuk namun kembali tertahan saat ia mendengar Kei mengangkat telepon.

"Apa? Ditangkep polisi? Kok bisa?" Wajah Kei nampak gusar.

Arkan menatapnya penuh minat. Dan Nayya pun mendengarkan penuh ke ingin tahuan.

"Goblok! Udah gue bilang jangan bawa notor sambil mabok! Sial!" maki Kei pada orang yang menelponnya. Kemudian wajahnya memucat.

"Dia ketahuan bawa ganja? Oh God...!"─Kei mengusap wajahnya gusar─"Terus gimana? Dia ngelaporin kita juga?"

"Lo tahu solidaritas dia tinggi. Dia gak bakal neglaporin kita, lo tenang aja. Tapi kita harus waspada sekarang. Bisa aja dia ngelibatin kita."

Kei tampak menutup mata dan menenangkan diri. Lalu membuang napas. "Oke, nanti malem gue ke rumah lo. Udah dulu." Kei menutup panggilan lalu memaki.

Arkan menatapnya serius. "Lo masih make? Gue udah bilang lo harus berhenti ngonsumsi barang itu. Kenapa lo masih─"

"Lo pikir gampang? Kalo gue berhenti gue bisa mati!"

"Enggak Kei, lo masih bisa. Lo bisa ikut rehabilitasi."

"Dan bilang sama semua orang kalo gue make narkoba, gitu!?" Kei kembali emosi.

Brakk!

Pintu terbuka dengan kasar. Mereka terperanjat dan begitu kaget saat mendapati Nayya berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah. Menahan marah dan tangis. Tatapannya tajam dan menghujam. Tertuju pada Kei.

Kei menelan ludah, Arkan pun tak bisa berkutik.

"Apa maksud semua perkataan lo, Kei?" nadanya dingin dan mengintimidasi. Namun agak bergetar.

"Nay ... gue...." Kei mendadak bisu, tergagap seolah tak bisa berkata.

"Sejak kapan lo di sana?" Kali ini Arkan berbicara.

"Gue denger semuanya," ucap Nayya tegas dan dingin. Ia melangkah masuk dan mendekati Kei. "Tell me if it was wrong."

Kei diam.

"Kei...."

Tak ada jawaban.

"Kei!

Kei masih diam. Menunduk. Tak berani menatap sahabatnya.

"Keifer Parsha! Look at me!" seru Nayya frustrasi.

Kei tetap menunduk. Lalu berkata lirih, "That's right ... I'm sorry...."

Dan Nayya luruh ke lantai. Terisak hebat. Sementara Kei dan Arkan terdiam.

"Nay ... gue...."

"Jangan sentuh gue!" sentak Nayya dan Kei menarik tangannya kembali.

Nayya kembali bangun. Menatap Kei nanar. "Gue kecewa sama lo, Kei...."

Sesuatu seolah menghantam ulu hatinya keras-keras. Sakit, perih, dan menyesakkan. Tatapan terluka dari seseorang yang paling berarti baginya begitu melukai hatinya.

Nayya berbalik dan berlari meninggalkan kedua sahabatnya. Kei hendak menyusul namun Arkan menahannya. "Biarin dia sendiri dulu. Biar nanti gue yang bicara sama dia."

Kei tak membantah. Ia tahu suatu saat Nayya akan mengetahui hal ini. Tapi ... waktu, situasi, dan kondisi seperti saat ini, tak pernah ia duga. Dan ia belum siap ... untuk dibenci.

Satu fakta lain terungkap, dan lagi-lagi melukai dirinya. Inikah yang selalu disembunyikan kedua sahabatnya itu? Jika ya, maka ia memilih untuk tidak tahu apa-apa.

***

Tbc.

Assalamu'alaikum, apa kabar?
Semoga selalu dalam keadaan baik ya 😊
This part for Kei ... Akhirnya nyampe juga. HahaYang penasaran dan bertanya apa masalah Kei dan Arkan.
Yeah, that's it.
Sebab Arkan tidak menyukai Kei.
Lalu bagaimana dengan Nayya?
We will see ... later.
Arkannya udah banyakan kan? 😂
Aku heran kenapa kalian pada suka sama Arkan?
Tell me!

Jangan lupa jejak cantiknya ya!

See u next time! 😘

Salam,
Tinny Najmi.

Subang,
20 Februari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro